Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GARUDA DI DADAKU
Sutradara: Ifa Isfansyah
Skenario: Salman Aristo
Pemain: Emir Mahira, Aldo Tansani, Ikranagara, Ari Sihasale
Produksi: SBO Films dan Mizan Productions
SETIAP Juni, para orang tua sibuk melongok kocek dan membolak-balik agenda. Anak-anak libur dan menuntut haknya untuk bersenang-senang setelah gedebukan di sekolah. Di sinilah produser film memanfaatkan kepusingan orang tua, terutama bagi orang tua yang tak cukup duit untuk menerbangkan anak berli-bur ke Hong Kong atau Bali. Dan untuk itu, para orang tua pasti berterima kasih, karena film Garuda di Dadaku, seperti juga film-film keluarga yang berniat baik, bukan hanya akan menghibur anak-anak remaja yang gelisah karena adrenalinnya baru mekar, tetapi ternyata orang tua pun bakal ikut meloncat: Gol!!
Bayangkan, bagaimana film ini bisa membuat mereka yang tak gemar sepak bola—seperti saya dan jutaan kaum minoritas lain—tiba-tiba melihat sepak bola sebagai dunia yang asyik, yang seru, yang mengocok darah. Sepak bola menjadi sebuah tujuan; artinya dia menjadi sebuah konsep impian; sebuah dunia yang dikejar seorang anak bernama Bayu (Emir Mahira). Bayu, 12 tahun, hidup sederhana di bawah naungan ibunya, Wahyuni (Maudy Koesnaedi) dan Usman, sang kakek (Ikranagara) yang dominan, keras, dan mengangkat diri sebagai kepala rumah tangga. Kematian anak lelakinya—ayah Bayu—muncul berkelebatan dalam mimpi Bayu. Dari kelebatan itu, tebersit kesan, ayah Bayu adalah seorang ayah yang hangat, yang memperkenalkan sepak bola dan lagu kebanggaan Garuda di Dadaku.
Dari awal, penonton sudah diberi tahu persoalan film ini. Sang kakek tidak suka melihat cucunya main bola. ”Tidak elite,” demikian alasannya. Penonton harus sabar untuk menanti alasan yang lebih mendasar daripada sekadar masalah perbedaan kelas.
Ini sebetulnya resep lama. Film Bend it Like Beckham (2002, Gurinder Chada) dan sebuah film televisi produksi Miles Films Bekisar Merah (Lasya Fauzia) sama-sama mengisahkan seorang anak (perempuan) yang gandrung pada bola bundar itu dan ingin masuk sebuah tim. Tentu saja ada halangannya. Untuk film Bend it Like Beckham, persoalannya kultur: anak perempuan India pada usia tertentu sudah harus memikirkan jodoh, bukan bola. Sedangkan untuk film televisi Bekisar Merah, masalah yang diajukan adakah betapa sulit mencari tim pemain perempuan.
Lalu, bagaimana Salman Aristo, penggagas cerita ini, mencari tantangan bagi Bayu dan kawannya, Heri (Aldo Tansani)? Ya, kakeknya itu.
Ya, sudahlah, soal kakek yang cerewet kita tinggalkan dulu. Yang menarik dari debut sutradara baru Ifa Isfansyah ini, dia mampu menarik penonton (awam bola seperti saya) ke pinggir kursi. Film ini menggelinding dengan lincah, selincah kaki-kaki Bayu di lapangan hijau. Tokoh yang ditampilkan semua magnetik dan unik. Heri, si ”manajer kecil” , yang gemuk, hidup di atas kursi roda yang paling bersemangat mendorong Bayu ikut seleksi masuk tim nasional; Bang Dulloh (ditampilkan dengan baik oleh Ramzi), sopir Heri yang setia mengawal sinyo ke mana-mana; Zahra (Marsha Aruan), teman baru, anak penjaga kuburan yang mengizinkan kedua anak bandel ini menggunakan lahan kuburan sebagai tempat berlatih bola.
Tantangan kedua anak sekolah dasar itu adalah mencoba menyelipkan jadwal latihan sepak bola dengan serangkaian les yang dihamburkan oleh sang kakek: les melukis, les main drum, les matematika, dan seterusnya. Berat. Tapi Bayu dan Heri tetap nekat, karena mereka ingin punya ”garuda” di dadanya.
Hampir semua pemain tampil bagus. Dengan dialog yang segar—simak humor tentang penghuni kuburan—penyajian pemain, penataan kamera Roy Lolang, penataan artistik Eros Eflin, serta musik Titi dan Aksan Sjuman saling mengisi dengan kompak. Lagu yang disajikan Netral juga asyik. Sutradara membagi peran dengan pas, tak ada yang berlebih; tak ada adegan yang mubazir, semuanya efektif dan berhasil membuat penonton bertahan hingga akhir karena memang ingin bertahan, bukan karena terpaksa bertahan.
Persoalan utama dari film ini justru pada plot cerita Salman Aristo. Sikap resistansi sang kakek tidak cukup meyakinkan pada abad yang sudah sangat terbuka dan demokratis seperti sekarang. Apa betul hare gene masih ada kakek-nenek atau orang tua yang kelojotan seperti itu menghadapi hobi cucunya yang positif? Kalaupun memang demikian, mungkin para penonton harus diberi suatu alasan yang jauh lebih kental dan kuat tentang ”trauma” sang kakek pada sepak bola. Celakanya, resistansi sang kakek inilah yang menjadi inti cerita. Soal lain, ada beberapa bagian yang rada heroik, terutama pada bagian akhir.
Tetapi, ini soal kecil. Ini Juni, bulan liburan. Anak-anak berhak mendapatkan hiburan bagus. Tentu saja nanti ada pesaing seperti Star Trek dan Harry Potter and the Half-Blood Prince. Para orang tua yang koceknya tak terlalu dalam pastilah akan ikut gembira dengan film keluarga yang asyik ini. Ifa adalah sutradara yang menjanjikan, dan karya berikutnya layak ditunggu.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo