Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejak muda Hasyim Wahid menaruh perhatian besar terhadap negara-bangsa Indonesia yang kemerdekaannya ikut diperjuangkan oleh ayah dan kakeknya.
Gus Im adalah kawan, kakak, dan guru bagi banyak aktivis pergerakan angkatan 80-an dan 90-an.
Meski besar sebagai anak mantan menteri, Gus Im punya hobi keluyuran ke tempat-tempat kaum underdog.
PUBLIK sangat mengenal Gus Dur, tapi amat sedikit yang mengenal Gus Im. Padahal kakak-adik anak founding father dan tokoh Nahdlatul Ulama, Kiai Haji Wahid Hasyim bin Hasyim Asy’ari, tersebut ibarat satu keping mata uang dalam sisi yang berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lahir di Jakarta, 30 Oktober 1953, enam bulan setelah ayahnya meninggal dalam kecelakaan mobil yang ia yakini sebagai operasi intelijen, Gus Im, yang bernama lengkap Hasyim Wahid, adalah sosok misterius. Ia menyukai buku, tapi juga menggilai keris dan senjata. Ia jago aljabar dan matematika, tapi juga menggeluti dunia klenik dan metafisika. Ia sangat rasional dalam sebuah kesempatan, tapi bisa konspiratif dalam kesempatan berbeda. “Im adalah adikku yang paling susah dimengerti,” kata Gus Dur, suatu kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski besar sebagai anak Menteng dengan ayah mantan menteri dan kakek Rais Am Nahdlatul Ulama, Gus Im hobi keluyuran ke tempat-tempat kaum underdog. Sejak usia sekolah menengah pertama dia sering bermain ke Pasar Jatinegara, sebuah kebiasaan yang ia lakukan hingga masa tuanya. Ia berteman dengan para penjual batu akik serta preman-preman di sana. Ia akrab dengan buku, tapi juga hobi mengutak-atik sesuatu. Tak puas dengan karambol yang dibeli kakaknya, ia membuat karambol sendiri yang lebih baik kualitasnya. Craftsmanship adalah salah satu hobi dan keahliannya, yang masih terlihat hingga masa tuanya lewat aktivitas membuat keris.
Seperti Gus Dur, Gus Im dikenal cerdas oleh teman-teman atau saudaranya. “Ia bisa memecahkan soal aljabar dengan rumusnya sendiri,” ucap Amanda Damayanti, temannya di sekolah menengah atas. Saat teman-teman SMP-SMA-nya asyik dengan bacaan remaja, ia sudah berkutat dengan memoar Gandhi dan puisi-puisi Pablo Neruda. Namun, dengan kecerdasannya tersebut, ia tidak pernah menyelesaikan kuliahnya. Ia pernah masuk Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung serta Psikologi dan Ekonomi Universitas Indonesia, tapi tiga-tiganya hanya dijalani sebentar. Tiap kali ditanya mengapa, ia hanya menjawab pendek: “Enggak cocok aja.”
Sebagai orang yang 20 tahun lebih mengenalnya dan juga sebagai orang yang tidak berbakat kuliah, saya bisa memahaminya. Gus Im adalah seorang defian, outlier, ikonoklas, subversif. Ia pintar sekaligus punya mental pembangkang. Dalam sebuah puisinya, ia menyebut diri sebagai “penganggur terselubung dan pembangkang terbuka”. Ia tak bisa dikungkung dan dibatasi oleh kotak-kotak sosial atau spesialisasi pengetahuan yang diciptakan oleh tradisi modern.
Seperti Gus Dur, ia juga penikmat musik yang di atas rata-rata. Sementara Gus Dur lebih menyukai genre klasik—baru kemudian blues—Gus Im lebih menyenangi rock dan blues—baru kemudian klasik. Ia menggilai Jimi Hendrix setinggi langit dan tergila-gila pada lirik “permisi, biarkan aku mencium langit” dalam Purple Haze. Ia banyak mengagumi musikus flower generation, seperti Jimi Hendrix, Janis Joplin, Bob Dylan, dan Led Zeppelin, tapi juga penikmat sejati Guns N’ Roses dan Metallica. Sebelum YouTube mengemuka dan covering musik bisa dinikmati sedemikian mudahnya, ia sudah mengoleksi seratus lebih versi Knockin’ on Heaven’s Door yang dinyanyikan secara berbeda.
Saya beruntung termasuk orang yang sering dibagi kopian koleksinya. Saya menonton konser album No Quarter Jimmy Page dan Robert Plant dalam format DVD dari dia. Saya mengenal gitaris jazz fusion John McLaughlin juga dari Gus Im. Belum lagi lagu-lagu Metallica yang juga saya sukai. Ia memang royal dalam soal berbagi musik, film, atau buku kepada teman-temannya. Ia pernah membeli buku—terutama berbahasa Inggris—hingga ratusan juta rupiah dan sebagian dibagikan kepada teman-temannya. Saya masih ingat terakhir kali diberi buku Oligarki karya Jeffrey Winters olehnya.
Sudah sejak muda Gus Im menaruh perhatian besar terhadap negara-bangsa Indonesia yang kemerdekaannya ikut diperjuangkan oleh ayah dan kakeknya. Tak satu pun kesempatan pertemuan kami yang luput membicarakan Indonesia. Ia akrab dengan anak-anak muda angkatan 1980-an dan 1990-an yang aktif dalam gerakan prodemokrasi di era Orde Baru. Banyak kawan yang pernah terlibat diskusi dengannya. Ia banyak hadir dalam forum dan komunitas aktivis mahasiswa. Ia sering muncul di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau PIPHAM, dua markas yang sering dijadikan tempat berkumpul aktivis penentang Orde Baru, selain nongkrong di Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama, tempat nongkrong aktivis muda NU. Namun, tidak seperti Gus Dur yang kehadirannya selalu mengundang tatapan mata, kehadiran Gus Im sering tak menarik perhatian.
Dia tidak suka tampil dan memilih “berdiri di belakang” serta berfokus pada orang-orang yang ia anggap bisa diajak bergerak bersama. Seperti talent scout sepak bola, Gus Im mendekati aktivis-aktivis yang dia anggap satu frekuensi dan bisa memainkan peran dalam gerakan yang ia bayangkan. Tidak seperti leader yang tampil dan memimpin di depan, ia lebih seperti guru yang tut wuri handayani dan kawan yang ing madya mangun karsa. Ia adalah kawan, kakak, dan guru bagi banyak aktivis pergerakan angkatan 1980-an dan 1990-an. Ia akrab dengan aktivis-aktivis Front Aksi Mahasiswa Indonesia yang ditangkap dan dipenjarakan Orde Baru karena menuntut Presiden Soeharto mundur pada 1994. Gus Im juga berada di tengah-tengah massa saat terjadi demo menentang penyerangan kantor Partai Demokrasi Indonesia pada 27 Juli 1996.
Pengetahuannya tentang geopolitik yang luas menjadi sumbangan penting bagi perspektif internasional kami semua. Dan semua disampaikan tidak dalam cara yang menggurui dan superior, melainkan dalam mode brainstorming dan diskusi dialektik yang sangat egaliter. Dalam soal metode, Gus Im bisa dibilang seorang sokratik, yang alih-alih menyampaikan gagasan lewat presentasi panjang memilih pendekatan brainstorming dan dialog mendalam lewat beragam pertanyaan.
Karena ia lebih banyak menyampaikan gagasan lewat dialog langsung yang tidak direkam, pengetahuan dan pandangan-pandangannya hanya dinikmati oleh mereka yang mengenalnya secara langsung. Satu-satunya buku yang boleh dibilang mencerminkan pandangannya terkait dengan geopolitik adalah buku kecil berjudul Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia yang diterbitkan LKiS pada 1999, yang menurut dia perlu di-update sesuai dengan perkembangan terbaru. Saat muda, ia—bersama Gus Dur—juga menerjemahkan karya Syed Hossein Nasr, Islam: Dalam Cita dan Fakta.
Di luar keterlibatannya dalam penerjemahan karya Hossein Nasr, Gus Im memang tidak banyak berbicara tentang keislaman seperti Gus Dur, dan hidupnya tidak bisa dibilang islami dalam arti konvensional. Namun, seperti Gus Dur, pandangan hidupnya banyak dipengaruhi oleh tradisi Qurani. Ia banyak memaknai dunia lewat insight yang dikemukakan ayat-ayat Quran. Ia mencintai para sufi dan sempat menuliskan puisi untuk Al-Hallaj, sufi yang dihukum mati karena keyakinannya dianggap sesat.
Di luar penampilannya yang urakan dan gaya omongannya yang seperti preman, Gus Im menyimpan kelembutan dan hatinya selalu untuk mereka yang disingkirkan dan dikorbankan. Buku kumpulan puisinya, Bunglon, sarat kritik sosial dan solidaritas bagi orang-orang yang tertindas serta yang bangkit melawan. Ia tidak menyukai tirani dan hegemoni. Hidupnya praktis dihabiskan untuk menentang tirani (Orde Baru) dan hegemoni (Amerika Serikat), bahkan olah spiritual dan kegiatan metafisikanya diarahkan ke sana. Melebihi Gus Dur, ia bisa berminggu-minggu menjelajahi makam-makam atau tempat keramat di Jawa—untuk berzikir atau menebar rajah—demi keruntuhan Orde Baru atau keselamatan Indonesia. Tidak masuk akal sepertinya, tapi di situlah keunikan Gus Im. Ia tak ubahnya manusia multidimensional, yang tak mudah diidentifikasi dalam ragam identitas yang kita kenal.
Sabtu, 1 Agustus lalu, Gus Im telah pergi. Dia menyusul kakak yang sekaligus ia anggap sebagai ayahnya, Abdurrahman Wahid. Bukan hanya kaum nahdliyin yang kehilangan, tapi juga komunitas pergerakan.
MOHAMAD SYAFI’ ALI, GENERASI MUDA NAHDLATUL ULAMA DAN EKS AKTIVIS 1998
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo