Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wawasan dan pergaulan luas mengantarkan Cornelis Lay menjadi seorang intelektual berpengaruh di Partai Demokrasi Indonesia.
Cornelis bisa menjadi sahabat dekat Megawati karena “sikap bebas” yang terus hadir sebagai sosok pemikir-intelektual.
Cornelis menampik berbagai tawaran kekuasaan yang diberikan kepadanya.
SUATU sore di sebuah kafe di pinggir kanal Kota Leiden, Belanda, pada 2010. Kami berdua sama-sama memesan cokelat hangat dan croissant butter untuk menghalau hawa dingin yang beringsut menyapa kulit tropis kami ketika langit beranjak gelap. Kami berdua saja: aku dan Cornelis Lay, dosen senior di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang saat itu sedang menjadi peneliti tamu di KITLV Leiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski bekerja di kampus dan fakultas yang sama, kami jarang punya kesempatan berbincang panjang berdua saja seperti saat itu. Hari itu kebetulan aku punya kencan dengan supervisor proyek disertasiku, Profesor Henk Schulte Nordholt, yang juga Direktur Riset KITLV dan pemimpin proyek riset di mana Mas Cony atau CL—begitu Cornelis dipanggil di lingkungan dekatnya—terlibat sebagai salah seorang penelitinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain membahas isu akademik, kami lebih banyak mengobrol tentang topik yang selama ini jarang kami sentuh: gosip dan biografi. Ihwal gosip, meski seru, sayang, sebagian besar tak pantas ditulis di sini. Yang akan kutulis di sini adalah sekeping narasi biografis CL yang sebagian kemudian ditulisnya dalam artikel berjudul “Growing up in Kupang” (bersama Gerry van Klinken) yang diterbitkan dalam buku berjudul In Search of Middle Indonesia: Middle Classes in Provincial Towns (Brill, 2014).
CL kecil lahir dari keluarga miskin di Kota Kupang. Ia bertumbuh di Kampung Dendeng, sebuah perkampungan kelas bawah di jalan buntu menghadap bukit di pinggiran Kupang. Orang tuanya pedagang kecil di Pasar Kupang dan CL bertumbuh sebagai bocah pasar yang ditempa kehidupan pasar yang keras serta berwarna.
Jerat kemiskinan akut dicoba diurainya saat ia meninggalkan Kupang pada 1979 untuk kuliah di Yogyakarta berbekal uang koin hasil membobol celengan bambu milik ibunya. Di Yogya, ia ngenger di rumah pamannya, Drs Josef Riwu Kaho, dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM yang belakangan menjadi guru dan mentor akademiknya. Saat itulah untuk pertama kalinya CL mengenal “sarapan pagi”, yang tidak pernah dikenalnya di Kupang lantaran kemiskinan.
Untuk melepas ketergantungan ekonomi dari sang paman, CL mencari uang dari kecakapannya menulis artikel. Kecerdasannya terlihat dari banyak artikelnya yang dimuat di koran-koran lokal ataupun nasional. Ketajaman analisisnya makin terasah dengan keterlibatannya dalam aktivisme melalui Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.
Kerja keras, kecerdasan, dan aktivisme kampus mengantarkan pengagum Bung Karno itu menjadi dosen saat lulus kuliah pada 1987. Menganyam aktivisme dengan tugas akademik, CL menulis skripsi tentang pergulatan Partai Demokrasi Indonesia bersiasat melawan rezim otoriter Orde Baru. Skripsi tebal itu belakangan dibukukan berjudul Melawan Negara: PDI 1973-1986.
Wawasan dan pergaulan luas kemudian mengantarkannya menjadi seorang intelektual berpengaruh di partai nasionalis tersebut. Dalam sebuah percakapan, ia bercerita bahwa keterlibatannya membantu Megawati Soekarnoputri diawali melalui Penelitian dan Pengembangan PDI bersama dua mentornya: Eros Djarot dan Kwik Kian Gie.
Hubungan rapat yang dibangun sejak “zaman perjuangan” itulah tampaknya, selain kedalaman pengetahuannya tentang ajaran Bung Karno dan kecocokan personal, yang membuat relasi CL dan “Mbak Ega”—demikian biasanya ia memanggil Mega—relatif awet dan dalam.
Demikianlah, ketika Megawati menjadi wakil presiden dan berlanjut menjadi presiden, CL ditarik ke Jakarta. Pada 2002-2004, ia menjadi Kepala Biro Politik dan Pemerintahan di Istana Wakil Presiden. Ia menjadi salah satu penulis pidato presiden dalam berbagai acara.
Kedekatan CL dengan Megawati juga dituturkan oleh Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan, pada saat memberikan sambutan di rumah duka menjelang pemakaman. Ia menceritakan bahwa CL sering berdiskusi berdua saja dengan Mega selama berjam-jam hingga tengah malam. “CL bisa menjadi sahabat dekat Ibu Megawati justru karena ‘sikap bebas’ CL yang terus hadir sebagai sosok pemikir-intelektual. Ia tidak melibatkan diri dalam jabatan kekuasaan politik praktis,” ujar Hasto.
Meski menjadi sosok penting di Istana, CL tetap bersahaja. Ia dikenal jarang menggunakan fasilitas kenegaraan dalam kesehariannya. Penulis pernah berjumpa dengan CL di Bandar Udara Soekarno-Hatta pada saat ia masih bekerja di Istana Wapres. Kami terbang bersama dari Yogya dan kemudian bersama naik bus Damri dari bandara menuju tujuan kami di tengah Kota Jakarta.
CL juga menampik berbagai tawaran kekuasaan yang diberikan kepadanya. Sebaliknya, ia mendukung sejumlah tokoh yang dinilainya kredibel untuk menempati kursi tersebut. Seorang dosen UGM yang juga aktivis Himpunan Mahasiswa Islam pernah bercerita bahwa dia menjadi komisaris di sebuah bank badan usaha milik negara atas “katebelece” dari CL.
Seusai masa kepresidenan Megawati, CL kembali ke kampus. Ia dikenal sebagai dosen favorit dengan gaya mengajar santai dan bahkan urakan tapi inspiratif. Bercelana jins dan berkaus oblong serta duduk di atas meja sambil mengajar bukan hal ganjil baginya. Meski demikian, CL dikenal sangat serius menyiapkan bahan perkuliahannya, termasuk ketika ia bolak-balik ke Jakarta. Mas Guru CL, demikian panggilan hormat sejumlah juniornya.
Selain sibuk mengajar, CL terus merawat jejaring akademik dan politiknya di Jakarta. Selain di lingkungan PDIP, CL aktif terlibat dalam kelompok kerja reformasi sektor keamanan yang dipayungi oleh Pro Patria. Marcus Mietzner, associate professor di Australian National University, menulis kesaksian di Facebook tentang peran penting CL di kalangan aktivis dan akademikus pegiat reformasi sektor keamanan di masa awal Reformasi.
Kesibukan tinggi plus kebiasaan merokok berat dan begadang membuat kondisi kesehatannya turun. Pada 2011, CL terkena serangan jantung serius meskipun bisa tertolong. Dalam kondisi kesehatan menurun, ia terus mengawal PDIP menjelang pemilihan presiden tahun 2014. Dalam pilihan sulit untuk mendukung kembali Megawati menjadi calon presiden atau mendukung sosok muda potensial Joko Widodo, CL memainkan peran penting menghela biduk tanpa terantuk karang.
PDIP akhirnya membuat keputusan besar: memberikan mandat kepada Jokowi, seorang warga biasa bukan petinggi partai, menjadi calon presiden dari partai terbesar. CL pun tampil sebagai Ketua Tim Ahli serta Pakar Politik Tim Pemenangan dan Perumus Pasangan Calon Presiden-Calon Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla. Nawa Cita, 9 Agenda Prioritas Strategis Jokowi-JK untuk Indonesia, merupakan salah satu produk tim yang dipimpin CL.
Ketika kabinet Jokowi diumumkan, sejumlah sobat dekat CL masuk lingkaran inti: Andi Widjajanto sebagai Menteri Sekretaris Kabinet dan Pratikno sebagai Menteri Sekretaris Negara. Pratikno bahkan sudah diumumkan menjadi Mensesneg mendahului para menteri lain untuk menyiapkan pelantikan kabinet baru.
Beberapa mantan anggota “Tim 11” juga ikut masuk Istana, seperti Jaleswari Pramodhawardani, Teten Masduki, dan Ari Dwipayana. Belakangan, karena desakan politik dari PDIP, Andi Widjajanto akhirnya ditarik keluar kabinet dan digantikan oleh Pramono Anung, mantan Sekjen DPP PDIP. CL sendiri lebih berperan di balik layar.
Serangan jantung lebih akut pada 2015 membuat CL menjauh dari pusaran politik di Ibu Kota. Sejak itu, nyawanya ditopang jantung buatan yang dicangkokkan ke tubuhnya dan mengandalkan baterai untuk terus bekerja. Akibatnya, CL tidak boleh jauh dari saluran listrik, bahkan saat tidur.
Menjauh dari pentas utama politik kekuasaan membuat CL sangat produktif secara akademik. Lonjakan cepat publikasinya, baik di tingkat nasional maupun internasional, membuatnya diangkat sebagai guru besar pada awal 2019. Dalam pidato yang dihadiri banyak pejabat tinggi itu, CL menyampaikan pidato berjudul “Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan Kemanusiaan”.
Pidato itu betul-betul mencerminkan pergumulan empiris dan teoretis panjang CL sebagai seorang “pemikir-pejuang dan pejuang-pemikir”; akademikus yang juga terjun di kancah sosial-politik demi kemanusiaan. Ia menolak dua kutub intelektualisme; baik yang menampik maupun yang tunduk terhadap kekuasaan. Ia memilih “jalan ketiga”: bisa terlibat dalam kancah kekuasaan secara “bebas dan otonom” tapi menolak tunduk menjadi perkakas kekuasaan.
Namun Rabu subuh, 5 Agustus lalu, “jalan ketiga” CL harus berakhir. Ia terbaring di ranjang Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, saat ajal menjemputnya pada usia 61 tahun.
Selamat jalan, Mas Guru CL, anak pasar yang meninggalkan jejak besar....
NAJIB AZCA, DOSEN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA, MANTAN JURNALIS TABLOID DETIK
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo