Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Dua kali dibredel rosihan anwar:

Rosihan Anwar terjun ke dunia kewartawanan karena kebetulan. kemudian ia menjadi pemimpin redaksi mingguan siasat dan harian pedoman -- yang kemudian dibredel. pernah menjadi ketua umum pwi (1970-1973), ketua pembina pwi pusat (1973-1983), ketua dewan kehormatan pwi (1983-1988). ia menerima penghargaan bintang kerajaan tunisia (1955) karena mendukung perjuangan kemerdekaan tunisia lewat pedoman. dari pwi ia menerima pena mas (1978) dan dari presiden soharto memperoleh bintang maha putera utama (1973). ia juga aktif di dunia perfilman dan sastra. kini ia masih anggota dewan film nasional (dfn). ia dianugerahi bintang rizal (1977) dari pemerintah filipina karena dianggap berjasa menerjemahkan sajak-sajak filipina ke dalam bahasa indonesia. rosihan mengisahkan sebagian riwayatnya pada wartawan tempo priyono b. sumbogo.

23 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMULA saya hanya mendengar keindahan alam Kubang Nan Duo dari Ibu saya. Baru ketika berusia 63 tahun, secara khusus saya mengunjunginya bersama beberapa pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan wartawan Sumatera Barat. Kebetulan waktu itu saya sedang menatar wartawan di Padang. Setelah saya lihat, Kubang Nan Duo memang cocok dengan yang diceritakan oleh Ibu. Tempat itu cantik. Pemandangan alamnya mengingatkan saya pada negeri Swiss. Di sana ada pohon pinus. Hawanya sejuk. Pada zaman Hindia Belanda tempat ini dipakai oleh pejabat-pejabat Belanda untuk istirahat. Mr. Muhammad Yamin dilahirkan di sana. Di Kubang Nan Duo itulah 70 tahun silam saya dilahirkan, tepatnya 10 Mei 1922. Dewasa ini daerah itu merupakan kelurahan di Kabupaten Solok. Pada zaman Belanda ia adalah standplaats -- tempat kedudukan pegawai pamongpraja. Ayah memang seorang Ambtenaar Binnenlands Bestuur -- pamongpraja di pemerintahan dalam negeri. Di Kubang Nan Duo, Ayah berpangkat asisten demang. Ketika saya dilahirkan, Ayah sudah menjadi asisten demang di situ. Namanya Anwar gelar Maharaja Soetan. Sewaktu berkunjung ke sana, saya bertanya pada lurah, di mana tempat tinggal asisten demang dulu. Saya ingin melihatnya karena di rumah itulah saya lahir. Rupanya, rumah itu terletak di sebuah bukit, tapi kini sudah tak ada bekasnya. Tempat itu dibakar oleh tentara kita sewaktu terjadi aksi militer Belanda. Saya tidak ingat pada aksi militer I atau II. Bapak beternak sapi perah. Menurut Ibu, ketika kecil saya minum susu dari sapi itu -- tentunya susu hasil perahan, bukan langsung dari sapinya. Tidak jauh dari situ ada dua pohon kubang yang mirip pohon beringin, yang disebut "kubang nan duo". Itu sebabnya daerah itu disebut Kubang Nan Duo. Rumah tugas Ayah berada di bukit. Pak Lurah kemudian mencari orang-orang tua yang mungkin masih ingat nama Demang Anwar. Salah seorang di antaranya ingat. Dia bercerita, "Demang Anwar dulu terkenal sebagai orang yang bagak, berani." Cocok dengan yang diceritakan oleh ibu saya. Menurut cerita, menjelang kelahiran saya, Ayah berkelahi dengan tahanan dari penjara di Sawahlunto. Tahanan itu, dulu, dinamai orang rantai, karena dirantai. Dia melarikan diri lalu merampok pembawa pos di tengah jalan. Sebagai orang yang bertanggung jawab atas keamanan Kubang Nan Duo, Ayah menemui perampok yang dianggap jagoan itu. Mereka berkelahi. Tiga jari tangan ayah saya putus. Beliau hampir mati. Tentang perampok itu sendiri beredar dua versi. Ada yang bilang ia mati di tangan ayah saya. Ada juga yang mengatakan ia cuma luka parah, lalu ditangkap oleh Belanda dan dibawa ke Padang. Adapun Bapak, ia dibawa ke rumah sakit di Sawahlunto untuk dioperasi. Dokter yang mengoperasi namanya Saleh Mangundiningrat, bapak Soedjatmoko. Adalah sebuah kebetulan bila kemudian, tahun 1946, saya bertemu dengan Soedjatmoko, dan selanjutnya kami berkawan baik. Koko -- biasanya kami memanggilnya demikian -- empat bulan lebih tua daripada saya. Ia salah seorang intelektual Indonesia yang dihormati di dunia internasional, yang sebelum meninggal pada Desember 1989 di Yogyakarta sempat menjadi rektor Universitas PBB di Tokyo. Malam harinya, beberapa jam setelah Bapak diangkut ke rumah sakit, saya lahir. Persis ketika terang bulan di Kubang Nan Duo. Beberapa hari kemudian Ayah yang masih dalam perawatan di rumah sakit dikabari bahwa anaknya yang keempat sudah lahir. Ayah diminta memberi nama. Kebetulan beliau suka membaca koran yang memang ada di kademangan. Beliau gemar mengikuti perjuangan bangsa Turki yang diduduki Yunani setelah kalah dalam Perang Dunia I. Di antara pemimpin tentara Turki ada yang bernama Jenderal Rozehan Pasha. Dalam Bahasa Turki -- juga ada dalam kosa kata Persia dan Urdu -- rozehan berarti sinar atau cahaya. Ayah mengambil nama itu untuk saya. Ditambah dengan nama Ayah, maka nama saya menjadi Rozehan Anwar. Waktu saya sekolah di Hollands Inlandse School (HIS) -- sekolah Belanda setingkat SD -- "z" diganti dengan "s". Maka, jadilah Rosehan Anwar. Dalam perkembangan berikutnya nama saya adalah Rosihan Anwar, sampai sekarang. Keluarga saya sebenarnya bukan asli Kubang Nan Duo, melainkan asli Kota Padang. Ketika usia saya baru dua tahun, Ayah dipindahtugaskan ke Sijunjung, dekat Sawahlunto. Jadi, saya sama sekali tidak sempat mengagumi keindahan tempat kelahiran saya itu. Di Sijunjung pun kami tidak lama. Tahun 1926 Ayah dipindah lagi ke Dangung-Dangung di dekat Payakumbuh. Setelah itu masih dipindah ke beberapa tempat lagi, Jalu, Maninjau, Sungaipenuh, sampai akhirnya pindah ke Padang dengan pangkat demang (Eerste Klas II) -- setingkat bupati sekarang. MENJADI WARTAWAN KETIKA duduk di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) -- setingkat SMP -- di Padang, saya belum tahu akan menjadi apa kelak. Saya belum punya bayangan apa pun. Tatkala duduk di kelas tiga MULO, Ayah -- yang waktu itu menjadi Demang Kerinci di Sungaipenuh -- menginginkan saya supaya melanjutkan sekolah di Middelbare Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaren (MOSVIA) di Bandung. Beliau ingin betul salah seorang anaknya mengikuti jejaknya sebagai pamongpraja Belanda di pemerintahan dalam negeri. Saya tidak tertarik menjadi pamongpraja. Saya memilih melanjutkan ke Algemene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta sejak 1939. Saya mengambil bidang kesusastraan klasik Barat. Ini mungkin karena sejak di HIS di Padang saya senang membaca sastra. Teman sekelas saya antara lain Usmar Ismail dan S. Tasrif. Usmar (meninggal tahun 1970) kemudian terkenal sebagai sutradara, dan Tasrif (meninggal tahun 1991) sebagai wartawan dan pengacara. Di Yogya, saya indekos pada guru saya Dr. Tjan Tjoe Siem, lulusan Universitas Leiden. Ia seorang ahli bahasa Jawa yang juga mampu berbahasa Arab. Tinggalnya di Wirogunan, di belakang gedung Taman Siswa. Beliau mengajar bahasa Jawa di Bagian Ketimuran. Guru saya itu memiliki perpustakaan sendiri. Dia kan pakar bahasa Jawa, ahli filologi. Macam-macam buku kesusastraan ada di situ, umumnya berbahasa Belanda. Saya bebas membacanya. Berbagai karya sastra saya baca. Dua kali seminggu dia juga mengajar saya bahasa Arab. Itulah salah satu faktor yang membuat saya tertarik pada kesusastraan. Di situlah muncul ide untuk menjadi ahli bahasa. Saya ingin melanjutkan studi ke Universitas Leiden. Namun, cita-cita tersebut batal karena pecah Perang Dunia II. Negeri Belanda diduduki oleh Jerman. Sementara itu, tentara Dai-Nippon menduduki Indonesia. Belanda lari. Praktis pendidikan formal saya kacau. Hubungan dengan orangtua di Sumatera pun putus. Saya tidak lagi mendapat pos wesel. Saya harus berdiri sendiri. Tapi dengan ijazah darurat dari AMS, tidak mungkin saya menjadi pegawai negeri di bawah Jepang. Saya pergi ke Jakarta, hidup berpindah-pindah dari asrama satu ke asrama lain, yakni asrama untuk menampung pelajar-pelajar seberang yang terdampar di Jakarta. Di kota ini saya berkenalan dengan dr. Abu Hanifah -- seorang budayawan. Ketika itu saya sudah mulai menulis puisi dan cerita pendek. Di tengah kebimbangan tersebut, ada teman yang menyarankan supaya saya mengikuti kursus kehakiman untuk menjadi jaksa. Saya mengikuti seleksi, lulus, dan siap mengikuti kursus. Tapi sesungguhnya saya tidak pernah tertarik untuk menjadi jaksa. Kursus kehakiman itu pun tidak sampai saya ikuti, karena suatu hari Abu Hanifah memberi tahu saya bahwa koran Asia Raya membuka lowongan bagi tenaga muda yang mahir dalam bahasa Indonesia. Dia menawari saya bekerja di situ. Saya pikir, mengapa tidak. Awal April 1943 saya mulai bekerja di Asia Raya. Di situ saya bertemu dengan B.M. Diah. Usia kami berbeda lima tahun. Dia lebih tua. Tugas saya mula-mula adalah pembantu pribadi Yoshio Nakatani, juru bahasa Pemerintah Balatentara Dai-Nippon dan salah seorang anggota Sendenbu -- Barisan Propaganda Jepang. Ia ditugaskan menjadi pengawas di Asia Raya. Pekerjaan saya adalah mengoreksi dan memperindah bahasa Indonesia yang disusun oleh Nakatani. Tiga bulan kemudian saya magang sebagai wartawan. Saya diperbantukan di rubrik luar negeri yang dipimpin oleh B.M. Diah. Pekerjaan saya meringkas berita-berita kawat dari kantor berita Jepang Domei. Tak lama kemudian saya pindah ke rubrik dalam negeri, lalu rubrik kota. Dalam waktu kurang dari setahun saya menjadi wartawan yang bisa diterjunkan langsung ke lapangan. Meskipun pada mulanya pekerjaan jurnalistik tidak begitu menarik buat saya, lambat laun saya bisa menghargai segi-segi positifnya, dan akhirnya tertambat di sana for the rest of my life -- selama hayat masih di kandung badan. MEREBUT ASIA RAYA DAN MENDIRIKAN "MERDEKA" JEPANG dikalahkan tentara Sekutu. Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan berlangsung di mana-mana. Pemuda-pemuda kita merebut senjata dan menduduki bekas kantor-kantor yang semula dipakai Jepang. Kami para wartawan Asia Raya juga ambil bagian. Kami duduki kantor Asia Raya, kami rebut percetakannya, lalu kami ubah namanya menjadi Merdeka. Sebagian besar wartawan tetap yang itu-itu juga. Bedanya, dulu di bawah Jepang dan harus menyuarakan kepentingan Jepang, sekarang menjadi bagian dari Republik yang baru lahir. Orang pertamanya juga berubah. Dulu Sukardjo Wiryopranoto, sekarang B.M. Diah. Ia pemimpin redaksi merangkap pemimpin umum. Sedangkan saya orang kedua, sebagai managing editor. Saya yang menentukan isi dan membawahkan sekitar 40 wartawan. Usia saya waktu itu baru 23 tahun. Setelah satu setengah tahun Merdeka berjalan, terjadi konflik. Yakni ketika kami akan membuat badan hukumnya, termasuk akta notaris. Hal ini belum sempat kami pikirkan waktu merebutnya dari Jepang dulu. Maklum, zaman revolusi. Nah, B.M. Diah menganggap koran itu miliknya. Saya bilang, "Tidak bisa. Ini milik bersama. Nggak boleh begitu, dong.... Merdeka adalah surat kabar kita bersama untuk mendukung perjuangan Republik." Kemudian B.M. Diah menyebarkan berita bahwa saya memberontak kepadanya. Saya malas membantah. Yang pasti, semua tuduhan tersebut tidak benar. Sebenarnya saya senang bekerja di sana. Namun, karena berbeda pendapat dan tidak cocok dengan Diah, pada akhir tahun 1946 saya keluar. Untuk sementara saya terputus dari dunia jurnalistik. MENERBITKAN "SIASAT" SEKELUAR dari Merdeka, saya tak punya pekerjaan. Lontang-lantung. Suatu kali saya ditawari oleh Kementerian Penerangan RI untuk mengawal Lord Killearn, perantara dari Inggris dalam Perjanjian Linggarjati di Kuningan, Jawa Barat, pada akhir 1946. Saya terima tawaran itu. Tugas saya menemani Lord Killearn kalau dia ingin jalan-jalan, atau melayani kebutuhannya selama perundingan berlangsung. Seperti jongos, begitu. Kami tidak bicara mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perundingan atau hubungan Indonesia-Belanda. Ketika Kementerian Luar Negeri mengadakan kursus untuk mendidik konsul, saya ikut. Ini kursus yang pertama kali diadakan dan dipimpin langsung oleh Sutan Syahrir sendiri yang waktu itu menjadi perdana menteri merangkap menteri luar negeri. Di antara yang ikut ada Soedjatmoko, Sudarpo, Hadi Thayeb (bekas duta besar di Inggris), Artati Soedirdjo (pernah jadi sekretaris jenderal Departemen Luar Negeri). Ternyata saya tidak cocok menjadi diplomat. Saya belum sempat bekerja di Kementerian Luar Negeri. Sebelum kursus selesai, saya sudah keluar. Soedjatmoko masuk, dan pada tahun 1947 ia dikirim ke New York, jadi diplomat di sana. Saya kembali jadi wartawan. Ceritanya begini. Ketika masih mengikuti kursus, Soedjatmoko mengajak saya untuk mendirikan majalah. Tanpa banyak pikir langsung saya terima, dan saya tinggalkan kursus diplomat. Tanggal 4 Januari 1947 terbitlah mingguan Siasat. Saya pemimpin redaksi, sedangkan Soedjatmoko tetap di Kementerian Luar Negeri sambil acap kali menulis untuk Siasat. Misalnya, ketika ia ikut Perdana Menteri Syahrir ke India, ia menulis reportase. Modal awal Siasat hanya empat rim kertas lembaran yang hanya cukup untuk empat kali terbitan. Kami juga memperoleh dana dari Kementerian Penerangan sebanyak 3.000 rupiah Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Tenaga redaksi cuma lima orang dan tenaga administrasi empat orang. Oplah Siasat mula-mula hanya 3.000 eksemplar (empat halaman). Tiga bulan kemudian mencapai 12.000, jumlah yang terbilang besar untuk zaman itu. Pembacanya tersebar ke luar Pulau Jawa. Di Sulawesi, Sumatera, dan sebagainya. Bandingkan dengan koran, yang rata-rata oplahnya hanya 2.500 eksemplar sekali cetak, paling banyak 3.000 eksemplar. Bila dulu Asia Raya mencapai 15.000 eksemplar, itu karena didukung dana Jepang. Mengapa Siasat bisa begitu maju? Mungkin, karena kami membawa suara Republik. Waktu itu Indonesia kan terpecah menjadi daerah yang dikuasai Republik dan Belanda. Nah, Siasat sebagai majalah politik, meliput berbagai peristiwa politik, dan tentu saja berada di pihak Republik. Meskipun Belanda menduduki Jakarta, dan ibu kota Republik pindah ke Yogyakarta, Belanda tidak melarang berbagai media yang terbit di Jakarta, termasuk Siasat. Haa... selain ada media yang pro-Republik, di Jakarta juga ada media yang menjadi boneka Belanda. Misalnya, majalah Panji Rakyat, koran harian Fadjar. Wartawannya orang Indonesia, tapi diterbitkan oleh Belanda. Ada semacam perang pena waktu itu. Sering kali dua kubu wartawan itu bertemu di lapangan. Maka, yang terjadi adalah saling cemooh. Saya sering perang pena dengan wartawan Nica-Belanda itu. Setelah penyerahan kedaulatan tahun 1949 wartawan-wartawan Nica-Belanda itu mencari selamat. Entah bagaimana Almasawa, pemimpim redaksi harian Fadjar, menjadi diplomat di New York, di bagian penerangan. Bahkan, salah seorang wartawan harian Fadjar pada 1955 ada yang menjadi tangan kanan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. O, ya, saya kenal Soedjatmoko sejak di Konperensi Malino, Sulawesi Selatan, pada Juli 1946. Konperensi ini diadakan oleh Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook, dengan kaki tangan Belanda di Indonesia Bagian Timur. Tujuannya adalah untuk menimbulkan kesan di luar negeri seolah-olah Republik yang dipimpin Soekarno-Hatta hanya didukung di Jawa dan Sumatera. Nyatanya, tidak semua pemimpin rakyat di Indonesia Bagian Timur mendukung Belanda. Raja Suppa Muda, putra raja Bone, misalnya, meminta kami menyampaikan salam kepada Bung Karno dan Bung Hatta bahwa ia tetap setia kepada perjuangan Republik. Raja Suppa menitipkan dua helai tikar sembahyang dan sarung buatan Bugis. Benda-benda itu kemudian kami -- saya dan Soedjatmoko -- serahkan kepada Bung Karno dan Bung Hatta di Yogyakarta. Semula saya tidak mengenal Soedjatmoko, meskipun pernah mendengar namanya. Dia juga tidak kenal saya. Tapi selama di Malino kami sekamar. Waktu itu saya masih wartawan Merdeka dan Soedjatmoko adalah pemimpin redaksi majalah berbahasa Belanda Het Inzicht terbitan Kementerian Penerangan RI. Di Malino-lah kami mulai akrab. Kami sering berdiskusi. Ternyata cocok, banyak kesamaan pikiran di antara kami. Cocok dalam arti sesuai dengan kecenderungan para pemuda di zaman perjuangan. Punya cita-cita untuk mempertahankan kemerdekaan. Usia kami pun sama, masih 24 tahun. Biarpun kami masih muda, bicara kami sudah menyinggung-nyinggung soal filsafat. Ya ... agak sinting-sinting sedikitlah. Soedjatmoko itu orang pintar. Meskipun tidak sepintar dia, sedikit-sedikit bisalah saya mengimbanginya. Dan ternyata kami memang cocok. Sampai akhirnya sama-sama mendirikan Siasat. MENERBITKAN "PEDOMAN" Saya menjadi pemimpin redaksi Siasat sampai tahun 1957. Selanjutnya saya serahkan kepada yang muda, karena waktu itu saya juga menjadi pemimpin redaksi Pedoman. Ceritanya begini. Suatu hari saya diajak oleh R.H.O. Djunaedi, pemilik percetakan koran Pemandangan. Koran ini terbit sebelum Perang Dunia II dengan pemimpin redaksi Mr. Sumanang. Meskipun tidak terbit lagi, percetakan Pemandangan masih ada, letaknya di Jalan Senen Raya, Jakarta. Ketika Indonesia terpecah menjadi wilayah republik dan daerah yang dikuasai oleh Belanda, Mr. Sumanang, yang berada di Yogya, meminta Djunaedi mendirikan koran untuk mendukung Kaum Kiblik -- orang-orang Republik. Kemudian Djunaedi mengajak saya, dengan catatan nama koran itu harus berhuruf awal "P". Saya pikir boleh juga. Karena kalau dikaitkan dengan keadaan waktu itu, yakni keadaan berjuang, berperang, dampak politik sebuah koran yang terbit setiap hari akan lebih besar daripada mingguan. Maka, tanggal 9 November 1948, tiga minggu sebelum Belanda menyerang Yogya dalam Clash II, terbitlah Pedoman di Jakarta. Wartawan-wartawannya diambil juga dari Siasat. Oplahnya mula-mula hanya 3.000 eksemplar. Waktu itu itu di Jakarta baru ada Merdeka dan koran Nica-Belanda harian Fadjar. Suasana politik di akhir 1948 semakin tegang. Komisi Jasa-Jasa Baik (Committee of Good Offices) yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia -- disebut juga Komisi Tiga Negara -- tidak berhasil meredakan konflik antara Pemerintah Republik dan Kerajaan Belanda. Tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan Clash II. Yogyakarta, ibu kota Republik, diserang dan diduduki. Bung Karno, Bung Hatta, dan anggota kabinet ditangkapi. Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan gerilya. Sudah barang tentu, sebagai koran Kaum Kiblik, Pedoman menyiarkan perlawanan TNI. Dalam rubrik "Pojok" dan "Tajuk" saya tunjukkan bahwa perjuangan Republik tidak mudah ditundukkan. Jawatan Penerangan Belanda (Regerings Voorlichtings Dienst) tidak senang pada pemberitaan dan sikap editorial Pedoman. Pada 31 Januari 1949, Pedoman dibredel. Siasat tetap boleh terbit. Bulan Mei 1949 berlangsung perundingan Roem-Van Roijen. Perundingan ini melancarkan jalan ke arah Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Negeri Belanda. Juga membuka kesempatan untuk terbitnya kembali Pedoman. Juni 1949, koran ini kembali terbit, dengan wajah dan cetakan yang lebih baik. Oplahnya meningkat menjadi 5.000 eksemplar. Saya tetap menjadi pemimpin redaksinya. Ketika itu Pedoman sudah lebih besar daripada Merdeka. Suatu hari, saya bertemu dengan B.M. Diah. Dia bilang, "Sayang, kita berpisah, ya ...." Saya jawab, "Sudahlah. Kamu jalan sendiri, saya jalan sendiri." Pada masa Demokrasi Liberal, partai-partai politik mendirikan koran sendiri. Masyumi punya Abadi, PNI punya Suluh Indonesia, PKI punya Harian Rakyat, dan sebagainya. Partai Sosialis, tidak. Nah, saya menawarkan diri untuk menggunakan Pedoman mendukung cita-cita partai ini. Partai ini kebetulan tidak membikin koran. Tetapi, bukan berarti Pedoman milik partai ini. Pedoman tetap independen dan saya sendiri tidak masuk partai Bung Syahrir ini. Kami hanya mendukung cita-citanya lewat berita yang kami siarkan. Saya tertarik pada cita-cita Sutan Syahrir. Dia seorang sosialis. Yakni sosialisme-demokrasi yang menitikberatkan pada cita-cita meningkatkan martabat manusia. Untuk mengembangkan cita-citanya ia mendirikan Partai Sosialis -- kemudian berubah menjadi Partai Sosialis Indonesia (PSI). Tahun 1955, ketika Indonesia mengadakan pemilihan umum pertama, saya dan Soedjatmoko diajukan oleh PSI untuk duduk di Konstituante. Soedjatmoko terpilih, saya tidak. Itulah satu-satunya pengalaman saya terlibat di partai politik, meskipun tidak sepenuhnya. Saya tetap tukang koran. Saya sebetulnya tidak mau menjadi anggota PSI. Sebenarnya, Soedjatmoko juga hanya simpatisan partai ini. Terus terang saya tidak tertarik untuk terlibat aktif di partai politik. Mungkin karena saya punya sedikit jiwa seniman, ikut teater, dan sebagainya. Saya tidak suka diatur-atur. Keterlibatan saya dalam politik secara sukarela. Begitu pula di masa Orde Baru. Menjelang pemilu 1971 saya membantu kampanye Golongan Karya di Sumatera Barat, meski saya bukan anggota Golkar. Karena saya melihat dibandingkan dengan partai-partai peserta pemilu lainnya, Golkarlah yang paling sesuai untuk mengatasi keadaan ketika itu, terutama keadaan ekonomi. Mungkin karena itu saya dipilih Golkar untuk menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketika tahun 1973, kalau tak salah, Golkar membuka kesempatan bagi siapa yang ingin menjadi anggotanya, saya tidak ikut mendaftar. Bukan berarti saya menentang Golkar. Mungkin karena tadi itu, saya ini punya jiwa seniman yang tidak suka diatur-atur. Harus begini, harus begitu pada atasan. Jadi wartawan saja, mengurus Pedoman saja. TAJUK HAJI WAANG SAYA dilahirkan di kalangan keluarga dan lingkungan masyarakat Islam. Waktu kecil, selain tetap sekolah di HIS, sekolah Belanda, saya juga belajar di Madrasah di Minangkabau. Sore pergi ke surau. Tapi waktu sekolah di AMS Yogya saya terpengaruh oleh lingkungan. Waktu itu orang Yogya, orang Jawa, makan babi. Saya juga ikut makan babi. Pokoknya kacau. Pada zaman Jepang saya tidak puasa lagi, tidak salat lagi. Selanjutnya saya boleh dibilang kafirun. Bila istri saya puasa, saya cuek saja. Buat apa? Tuhan rupanya menghendaki saya insaf dengan cara yang tak terduga. Suatu hari, dalam sebuah resepsi, saya berseloroh pada Sekretaris Jenderal Kementerian Agama. Kafrawi namanya, orang Madura. Ia kawan baik saya. "Kafrawi, you kapan memberi saya kesempatan naik haji?" Sebenarnya, saya hanya asal omong saja. Maklum, lidah tak bertulang. "Betul?" sahutnya. Kata saya, "Tentu." Itu tahun 1957. Saya masih pemimpin redaksi Pedoman. Pada suatu sore, sepulang main tenis, Kafrawi menelepon. "Bung, kamu jadi mau pergi naik haji? Kalau mau saya beri peluang memimpin rombongan haji. Bung cuma membayar ongkos selama di Mekah. Ongkos kapal terbang pulang-pergi, Kementerian Agama yang membayar," katanya. Kaget juga saya. "Kapan mesti kasih jawaban?" "Sekarang juga! Saya mesti memproses surat-suratnya," sahut Kafrawi. Tanpa pikir panjang saya bilang, "Oke!" Sepuluh hari kemudian saya berangkat. Memimpin 30 jemaah rombongan "Haji Terbang" -- sebutan waktu itu. Naik kapal terbang Garuda yang kecil itu. Dua hari. Thek ethek ethek ethek ethek .... Di kapal terbang saya terus membaca manasik, tata-cara melakukan ibadah haji, sambil merenungkan masa lalu saya yang kafirun. Waktu menginjakkan kaki di Jedah saya langsung wudu, salat. "Ya, Allah ... saya sembahyang lagi," begitu kata saya pada Tuhan. Kemudian ke Mekah, melakukan ibadah haji. Pulang dari Mekah saya menulis buku Mendapat Panggilan Nabi Ibrahim -- kisah perjalanan. Mula-mula saya siarkan di Pedoman, kemudian dibukukan. Eh, ternyata menarik perhatian masyarakat. "Ada orang PSI bicara soal Islam," kira-kira begitu tanggapan orang. Sejak saat itu pula setiap hari Jumat saya menulis Tajuk Rencana. Pedoman memiliki dua tajuk. Satu di atas satu di bawah, seperti Kompas sekarang. Nah, tajuk yang kedua (di bawah) setiap Jumat saya isi "Renungan Wak Haji" -- percakapan antara Wak Haji dan Haji Waang. Haji Waang itu tidak lain adalah saya sendiri. Waang dalam bahasa Padang artinya kamu. Julukan ini saya angkat dari gurauan Buya Hamka almarhum. Suatu hari saya bertemu Hamka, omong-omong mengenai berbagai hal menyangkut haji, termasuk perihal saya yang sudah lama kafirun tapi tiba-tiba naik haji. Saya tanya pada Buya, "Saya ini haji apa?" Dia jawab sambil berseloroh, "Haji Waang sajalah. Haji kamu." Julukan yang bernada mencemooh itulah yang saya abadikan dalam tajuk di Pedoman setiap Jumat. Tapi Buya memang cuma bermaksud bergurau, bukan mencemooh. Beliau senang saya menulis buku Mendapat Panggilan Nabi Ibrahim itu. Buku itu menarik perhatian dan simpati kalangan Islam, karena "Saudara telah kembali," katanya. Hari-hari selanjutnya saya semakin serius berbicara tentang Islam. Hingga kini saya sudah empat kali menunaikan haji besar, 1957, 1977, 1981, dan 1982. Umroh sering sekitar tujuh kali. Misalnya, 1982, sebagai orang Dewan Film saya diutus Ali Moertopo (menteri penerangan waktu itu) ke Afrika untuk mempromosikan film-film Indonesia di Senegal, Pantai Gading, Maroko, Aljazair, Nigeria, Etiopia. Sepulang dari sana saya singgah di Jeddah. Langsung ke Mekah. Umroh. Saya juga menulis buku tentang Islam. Salah satunya berjudul Islam dan Anda (1962), kemudian menjadi Ajaran dan Sejarah Islam untuk Anda, diterbitkan oleh Pustaka Rakyat (1979). Isinya berupa dialog tentang dasar-dasar Islam, misalnya Rukun Islam, Rukun Iman, Muamalah, dan Tarikh. Buku itu saya buat sesederhana mungkin agar mudah dimengerti oleh mereka yang mengaku Islam tapi tak mengerti dan menjalankan ajarannya. Saya kan punya kawan-kawan hasil didikan Belanda yang "Islam KTP" -- Islam yang cuma tercantum di Kartu Tanda Penduduk. Misalnya, Soedjatmoko. Nah, untuk merekalah saya tulis buku Islam. Saya mencoba bertindak sebagai dai dengan bahasa dan cara yang mereka mengerti. Mengapa sasarannya mereka? Pokok pikiran saya waktu itu (tahun 1960-an) simple saja. Islam di Indonesia ini akan maju dan berkembang bila dua syarat berikut ini terpenuhi. Pertama, kaum terpelajar, kaum intelektual, mesti kembali ke aqidah, ke agama. Artinya, dia harus tahu hukum Islam itu apa, muamallah apa, dan sebagainya. Dia mengerjakan syariat Islam. Sekarang ini sudah bagus. Banyak intelektual yang Islam. Itu syarat pertama. Syarat kedua, kiai mesti kembali pada sejarah. Jadi, kiai-kiai itu harus tahu sejarah Islam. Mereka jangan berpikir hanya hidup di zaman sekarang. Dari zaman Nabi, sampai jatuhnya Islam juga harus tahu. Haa ... sekarang sudah kelihatan. Forum Demokrasi yang dibuat Abdurrahman Wahid -- Ketua Umum PBNU -- sebenarnya merupakan salah satu usaha untuk menempatkan diri dalam perpektif sejarah. Dia mengkritik sikap sektarianis, kita mesti modern, jangan takut Kristenisasi. Sejarah Islam kan juga begitu petunjuknya. HAJI WAANG DI PANGGUNG KESENIAN MESKIPUN lebih dikenal sebagai wartawan, saya juga mengarang fiksi, main film, dan menulis skenario. Kegiatan menulis fiksi bahkan saya lakukan sejak sebelum Jepang masuk (1942), sebelum menjadi wartawan. Mula-mula saya menulis dalam bahasa Belanda. Waktu itu saya memang lebih fasih berbahasa Belanda daripada Melayu, mungkin karena latar belakang pendidikan saya adalah sekolah Belanda. Baru setelah pendudukan Jepang saya mulai menulis dalam bahasa Indonesia. Karena kosa kata bahasa Melayu saya tidak cukup untuk melahirkan karya sastra, saya ngebut membaca karya-karya dalam bahasa Melayu. Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, dan banyak lagi karya pengarang Angkatan Balai Pustaka, habis saya baca. Enam bulan kemudian, saya merasa cukup siap untuk mulai menulis fiksi, baik sajak maupun prosa, dalam bahasa Melayu. Salah satu cerita pendek saya memenangkan hadiah ketiga dalam sayembara mengarang cerita pendek yang diadakan oleh majalah mingguan Djawa Baroe -- majalah yang diterbitkan oleh kelompok surat kabar Jepang Asahi. Judul cerpen saya Radio Masyarakat. Itu yang dimasukkan oleh H.B. Jassin dalam antologi sastra Gema Tanah Air. Di samping itu, saya pun menerjemahkan karya sastra asing. Misalnya pada tahun 1943 saya terjemahkan sajak-sajak Filipina. Sebagai penghormatan atas usaha saya tersebut, tahun 1977 Filipina memberi saya Bintang Rizal. Sejak bekerja di Asia Raya, saya juga aktif di panggung sandiwara. Kebetulan kantor saya berdekatan dengan kantor Usmar Ismail yang menjadi pegawai di Pusat Kebudayaan bagian kesusastraan -- semacam Taman Ismail Marzuki sekarang. Di situ ada bagian sandiwara, seni suara, seni lukis, dan sebagainya. Kantor kami berdekatan. Sering saya mampir ke kantornya. Kami diskusi tentang berbagai hal yang menyangkut kesenian. Tahun 1944 saya dan Usmar Ismail membentuk kelompok sandiwara amatir, Maya namanya. Kami sering pentas di gedung yang sekarang dinamakan Gedung Kesenian, di Pasar Baru, Jakarta. Usmar menulis lakon, menjadi sutradara, saya menjadi aktor bersama H.B. Jassin, Cornel Simanjuntak, dan lain-lain, termasuk Mien Sanawi yang kemudian menjadi istri Usmar Ismail. Ida Sanawi, adik istri Usmar, juga ikut main. Ida aseli Betawi dan masih kemenakan M. Husnie Thamrin, yang kini diakui sebagai pahlawan Betawi itu. Di Asia Raya Ida bertugas di sekretariat redaksi. Gadis inilah yang kemudian saya nikahi pada tanggal 25 April 1947. Kami dikaruniai tiga anak. Dua perempuan, satu laki-laki. Pengetahuan saya di bidang teater bertambah manakala saya mendapat tawaran belajar ke Amerika Serikat dari Yayasan Rockefeller. Tawaran itu saya peroleh ketika saya berada di Negeri Belanda dalam rangka meliput Konperensi Meja Bundar, tahun 1949. Seusai meliput KMB saya langsung ke AS. Saya mengikuti workshop tentang drama di Universitas Yale. Dari situ kemudian ke Broadway, New York, selama dua-tiga bulan. Total saya berada di luar negeri selama delapan bulan. Apa yang saya peroleh dari AS sangat berguna sampai sekarang. Hampir saban tahun saya ini menjadi juri Festival Film Indonesia. Sedikit banyak saya memiliki pengetahuan bagaimana menganalisa drama, bagaimana menganalisa film. Dengan alat-alat analisa yang saya peroleh, saya menilai sebuah film. Meskipun bagi dramawan-dramawan seperti W.S. Rendra, Asrul Sani, Riantiarno, Putu Wijaya, cara pandang saya dalam menilai suatu naskah drama dianggap terlalu ketat, kuno. Saya menganalisa drama -- termasuk film -- berdasarkan konsep klasik Yunani yang mementingkan pikiran pokok atau premisse sebuah lakon. Yaitu apakah pikiran pokok itu tercermin dalam pelaku-pelakunya. Makanya, protagonis harus begini, antagonis harus begitu. Apakah konfliknya digambarkan dengan jelas lewat jalan cerita. Pokoknya, kritik yang serba jelas, yang oleh dramawan seperti Rendra, cara analisis drama begini ditolaknya. Bidang perfilman bagi saya juga tidak asing lagi. Pada zaman Jepang saya satu teater dengan Usmar Ismail di Maya. Tahun 1950 Usmar mendirikan perusahaan filmnya sendiri, Perfini. Mula-mula ia menggarap film Darah dan Doa. Saya ikut main sebagai kepala staf Divisi Siliwangi. Di samping itu saya juga ikut membantu di bidang produksinya, bukan hanya sebagai aktor. Shooting pertama dilakukan tanggal 30 Maret 1950 di Subang, Purwakarta. Saya terlibat aktif di Dewan Film Nasional (DFN) baru sejak zaman Orde Baru. Ketika Ali Moertopo menjadi menteri penerangan saya diangkat menjadi anggota Dewan Film, begitu pula sewaktu Harmoko jadi menteri penerangan. Salah satu pekerjaan saya adalah mempromosikan, mencarikan pasar film-film Indonesia di luar negeri. Antara lain mengikuti festival film Berlin, Cannes (Prancis), Mifed Milano, dan lain-lain. Di samping itu kadang-kadang saya masih sempat main. Misalnya, di Tjut Nya Dien garapan Eros Djarot beberapa waktu lalu. Hobby-lah begitu. Saya pun pernah menulis skenario. Contohnya, Lagi-Lagi Krisis (1956), disutradarai Usmar Ismail. Saya sendiri main di dalamnya. Saat ini saya Ketua Dewan Kehormatan PPFI. Tetapi, film dan teater hanyalah sambenan -- sampingan. Saya tetap wartawan for the rest of my life. PEMBREDELAN "PEDOMAN" DAN MATINYA "SIASAT" Pada awal-awal kemerdekaan hingga kira-kira tahun 1956 saya berteman baik dengan Bung Karno. Saya kenal dia sejak zaman Jepang. Ketika itu saya sudah wartawan Asia Raya. Yang menarik bagi saya, Bung Karno itu modern. Demokrat. Dia berpendidikan Barat seperti saya. Kalau dia bicara saya bisa memahami. Kalau saya bicara dia juga paham. Referensi kami sama. Orangnya terbuka. Kalau dia menyatakan diri sebagai orang Indonesia, betul-betul Indonesia, tidak ada sosok kejawa-jawaan. Kami berbicara dengan akrab, bahkan sampai ke soal seks. Akhir Maret 1950 saya kembali dari Amerika. Suatu hari saya bertemu dengan Bung Karno di Istana Negara. Pertanyaan pertama yang dilontarkannya adalah tentang wanita-wanita Spanyol yang saya tulis, ketika saya mengunjungi negeri ini seusai Konperensi Meja Bundar. "Kamu baru pergi ke sana, ya? Bagus-bagus, ya?" Cukup sering saya -- sebagai wartawan -- mengikuti perjalanan rombongan Bung Karno di dalam maupun di luar negeri. Ke luar negeri misalnya ke Filipina. Kadang-kadang ketika tidak ada acara, kami berbincang-bincang santai mengenai berbagai hal, termasuk soal seks itu. Tahun 1951, saya mengikuti rombongannya ke Aceh dan Sumatera Utara. Ketika kami menginap di rumah residen di Kota Raja (sekarang Banda Aceh), Bung Karno mengundang saya ke kamarnya. Kami bicara. Dia memakai piyama. Apa yang kami bicarakan? Ya ... perkara seks, perempuan. Diajarinya saya. Misalnya begini. "Hei, Rosihan, kamu mesti banyak makan toge, supaya kuat," katanya. Pokoknya, sampai sejauh itulah keakraban kami. Apa yang ingin saya katakan adalah, di masa mudanya Bung Karno menyenangkan. Modern. Demokrat. Haa ... waktu mulai tua terjadilah pengapuran. Ini susahnya. Dia mulai menunjukkan sikap kepemimpinan diktaktor seperti raja. Dia main mata pula dengan Partai Komunis Indonesia. Semakin berkuasa dan tua, makin petentang-petenteng. Lalu, muncul Nasakom. Kehidupan pers dikekang. Wah, nggak cocok buat saya. Saya menjadi oposisi. Berpisah kita. Saya anti-PKI, juga menentang Soekarno. Saya tulis pendirian itu di Siasat dan Pedoman. Nah, dibredellah Pedoman pada 7 Januari 1961, bersama sejumlah media lainnya. Pada waktu itu Siasat pun kami hentikan sendiri sebelum dibredel. Mengapa? Karena kami akan tetap anti-PKI dan menentang Soekarno. Saya mesti fair. Bukan cuma Bung Karno saja yang mengekang kehidupan pers. Ia didukung oleh partai-partai yang menyetujui gagasan Nasakom, terutama PKI. Bahkan, dalam soal pers TNI pun berada di pihak Bung Karno, manifestasinya terdapat dalam diri KSAD Mayor Jenderal Nasution. Mereka inilah yang menghambat pertumbuhan pers. Mereka tidak menginginkan pers berekspresi secara bebas. Mengapa? Kalau sekarang disebut tidak bertanggung jawab. Liberal. Maka, pers dibenahi, diatur. Keadaan itu berlangsung sejak 1959. Tahun 1961, lembaga pers yang tidak menurut dibredel. Yang tinggal "pak turut" saja. Pedoman habis, Indonesia Raya habis, Abadi habis. Usaha melawan dari pihak pers tidak ada. Juga tidak ada yang membela. PWI memang ada. Tapi mereka membiarkan saja tindakan-tindakan yang diambil terhadap surat kabar yang tidak "pak turut" itu. Kalau percetakan sudah disita, disegel, kita sudah nggak bisa apa-apa. Kalau tentara yang datang, pintu ditutup. Kita bisa apa? Setelah Pedoman dibredel dan Siasat dihentikan, saya tak punya koran lagi. Saya bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di bidang mesin perkapalan, Indo Marine namanya. Kadang-kadang pada zaman Orde Lama itu saya memang masih menulis kolom, tapi memakai nama samaran. Misalnya tulisan-tulisan tentang agama Islam di majalah Gema Islam. Nama samaran saya Al-Bahist (Pembahas). Terkadang saya juga memakai nama Al-Muwahid (Yang Satu) untuk tulisan di Pembina. Kemudian masyarakat maupun Pemerintah mengetahui juga siapa dua nama itu. Tapi dibiarkan saja, tidak diapa-apakan. Pada zaman Orde Baru saya menulis kolom di Business News, Kompas, Kami, atau Angkatan Bersenjata. Saya juga menjadi koresponden media luar negeri -- pekerjaan yang saya lakukan sejak 1966-1985. Misalnya, di World Forum Features (London) tahun 1966-1968 dan The Age (Melbourne) pada 1967-1968. Pengalaman menjadi koresponden luar negeri ini saya tuangkan dalam sebuah buku yang akan diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti, judulnya Indonesia 1966-1983. Praktis hingga 1968 saya tidak punya koran dan tidak terlibat aktif dalam persoalan pers di dalam negeri. Saya cuma jadi pengamat, memperhatikan apa yang terjadi menjelang lahirnya Orde Baru. Ada yang anti-PKI, tapi tidak mau mengatakan anti-Bung Karno, namanya BPS (Barisan Pendukung Soekarnoisme) yang dipimpin oleh Adam Malik bersama B.M. Diah. Di dalamnya berhimpun wartawan-wartawan muda, termasuk Harmoko, Menteri Penerangan sekarang. Kelompok kedua ini bilang, "Kami pendukung Soekarnoisme, ajaran Soekarno, tapi kami menentang PKI." Saya tidak ikut di mana-mana. Saya berjuang sendiri, dengan cara saya sendiri. Saya konsekuen. Anti-PKI, dan anti-politik Bung Karno. Saya tidak mau memisah-misahkan keduanya. Bung Karno selalu mempertahankan PKI. Setelah G30S-PKI, misalnya, Bung Karno tetap membela PKI. Dia keras kepala teruuusss .... Sampai akhirnya turun Surat Perintah 11 Maret 1966. Meskipun saya menentang Bung Karno, saya tidak sampai masuk penjara seperti Mochtar Lubis, pemimpin redaksi Indonesia Raya. Alhamdulillah, tidak. Saya cuma satu kali masuk penjara, yakni waktu Clash I Belanda (1947). Dibui di penjara Bukit Duri, tapi tidak lama, cuma satu hari. Saya berjuang sebisa-bisanya, demi keyakinan saya dengan cara yang saya bisa, tapi jangan sampai masuk penjara. Dan alhamdulillah selamat. Mungkin karena profil saya tidak tinggi. Kan ada orang yang profilnya rendah, ada juga yang tinggi. Yang tinggi tampil di atas pentas, berkata, "Hai ... aku begini ...!" Meskipun Pedoman sudah mati, badan penerbitnya, PT-nya, masih ada. Begitu Orde Baru lahir pada 1966, kami berusaha menerbitkannya lagi, tapi tidak memperoleh izin. Menteri Penerangan, waktu itu B.M. Diah, tidak berani memberikannya. Mungkin karena situasi masih bersifat dualisme. Meskipun arus politik berubah, toh Soekarno masih Presiden. Baru dua tahun kemudian, 1968, dia berani memberikan. Maka, keluarlah Surat Izin Terbit (SIT) untuk Pedoman, Indonesia Raya, Abadi, Nusantara. Pokoknya, semua yang pernah dibredel Soekarno. Nah, karena Pedoman terbit lagi, saya menjadi pemimpin redaksinya. Di samping itu saya masih menjadi koresponden harian lain, Hindustan Times (New Delhi, India), 1968-1969. Ketika Pedoman terbit lagi, keadaan sudah berbeda. Pembaca Pedoman yang dulu telanjur pindah ke koran lain, termasuk ke koran baru seperti Kompas dan Sinar Harapan. Bertahun-tahun keadaan Pedoman tidak sehat. Merugi tidak, tapi untung juga tidak. Gaji buat wartawannya pun tidak begitu baik. Saya mulai berpikir, kalau begini terus lama-lama tidak tahan juga. Waktu terjadi gerakan mahasiswa pada 1974, yang dikenal dengan Peristiwa Malari, oplah Pedoman naik. Koran kamilah yang paling gencar meliput gerakan-gerakan mahasiswa. Oplah Pedoman sempat mencapai 60 ribu eksemplar, meskipun masih di bawah Kompas. Pokoknya, menimbulkan harapan. Tapi kami terpeleset menyiarkan pamflet mahasiswa IKIP yang mempertanyakan saham-saham Ibu Tien Soeharto di Astra, dan di perusahan-perusahaan ini itu. Kompas tak mau menyiarkan. Saya dipanggil ke Binagraha. Tiga hari kemudian Pedoman ditutup. Habis cerita. Ya, sudah. Nasib namanya. Haa ... kalau dulu saya pernah berkata Pedoman lebih maju daripada Merdeka karena nasib baik saya, tentu sekarang B.M. Diah bisa bilang, "Nasib saya ternyata lebih baik." Soalnya, Pedoman tak ada lagi, Merdeka jalan terus. TETAP MENULIS AGAR TAK DILUPAKAN SEKARANG saya kembali tidak punya koran. Pekerjaan saya sekarang ini lebih banyak di Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI). Di sini saya sebagai anggota pimpinan harian. Tugas saya antara lain merancang latihan-latihan di bidang sumber daya manusia. Juga bertugas mengurus publikasi, menerbitkan hal-hal yang patut dipublikasikan. Tapi yang terakhir ini sudah lama tidak saya lakukan karena tidak ada dana. Dulu YTKI juga bekerja sama dengan PWI melatih wartawan. Ini pun sekarang tidak lagi. Ya, karena tidak ada dana. Saya masih Ketua Komisi Sosial Budaya di Dewan Film Nasional. Tugas saya memperhatikan masalah-masalah sosial budaya, turut menyeleksi film-film yang akan diikurtsertakan dalam festival film di luar negeri. Lalu, memikirkan upaya meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap film Indonesia, bagaimana memperbaiki mutu film. Di PWI saya tidak aktif lagi. Dulu saya Ketua Umum PWI (1970-1973). Lalu, Ketua Pembina PWI Pusat periode 1973-1983 dan Ketua Kehormatan PWI periode 1983-1988. Sejak Kongres PWI di Samarinda, 1988, boleh dibilang saya tergusur dari organisasi ini. Tak dipakai lagi. Namun sayalah satu-satunya yang diberi pengahargaan Pena Mas lewat kongres PWI. Yakni pada Kongres Nasional PWI di Padang tahun 1978. Biasanya Pena Mas diberikan oleh pengurus pusat, misalnya kepada sejumlah gubernur. Tapi, bukan berarti saya lepas sama sekali dari dunia kewartawanan. Sejak Pedoman dibredel untuk ketiga kalinya pada 1974, saya menulis kolom di koran Pos Kota, Suara Karya, Kompas, Suara Pembaruan. Dulu bahkan saya menulis di sejumlah koran daerah. Mulai dari Bali Post (Bali), Surabaya Post (Surabaya), Banjarmasin Post, koran di Medan, Padang, Ujungpandang, dan lain-lain. Belakangan ini saya mengurangi produksi dan lahan. Sebabnya, di samping saya sendiri mulai capek, saya pun bingung mencari topik. Dan terus terang saja, belum tentu semua koran mau memuat tulisan saya. Yang terang di Pos Kota setiap hari Selasa, kini Rabu, masih ada rubrik saya "Hallo DKI". Dua kali sebulan tulisan saya pun muncul di Suara Karya -- dulu sekali seminggu. Sekali seminggu di Business News. Lalu, kadang-kadang di harian Pikiran Rakyat (Bandung), di Angkatan Bersenjata (Jakarta), Kompas, dan sebagainya. Dan sesekali ada media luar negeri yang meminta tulisan saya. Kalau Anda bertanya apakah kita bisa hidup dari menulis buku? Jawabnya, tidak. Honornya nggak seberapa. Kalau sekali menulis kolom dibayar Rp 150.000 atau Rp 100.000, itu sudah lumayan. Percaya tidak, sampai sekarang ada koran yang membayar saya Rp 15.000. Bahkan ada yang membayar Rp 5.000. Tapi saya bilang, alhamdulillah. Begitu pula menulis buku. Saya telah menghasilkan hampir 30 (tiga puluh) buku. Antara lain Raja Kecil (novel, 1967), Sejarah Pergerakan Nasional dan Islam (1972), Menulis Dalam Air (otobiografi, 1983), Sebelum Prahara (1981), Kisah-Kisah Zaman Revolusi (1975), dan lain-lain. Banyak buku saya itu dibayar lump sum saja, Rp 1 juta atau Rp 1,5 juta, bukan royalti. Kalau rugi penerbit yang menanggung. Sebaliknya, kalau untung, dia pula yang menikmati. Ada satu buku saya Sebelum Prahara yang dibayar secara royalti dan kebetulan laku keras. Saya memperoleh royalti sampai Rp 4 juta. Tapi, itu kan jarang. Menulis sastra tidak lagi. Saya kira karena saya sudah tumpul. Padahal, mestinya semakin banyak pengalaman semakin mudah menulis. Tapi, seperti saya katakan tadi, selain mungkin sudah tumpul, saya malas. Ya, malas. Bukannya saya mata duitan. Tapi honornya terlalu kecil. Ada juga honor dari skenario film yang kadang-kadang di belakang layar masih saya tulis. Karena belum tergolong penulis skenario top, saya mendapat Rp 5 juta. Untuk orang seperti Asrul Sani kabarnya Rp 10 juta sampai Rp 15 juta. Teguh Karya lebih tinggi lagi. Nah, kalau dari tulis-menulis dapat Rp 1 juta sebulan, itu sudah lumayan. Dulu, bisa sampai segitu. Sekarang, nggak. Taruhlah rata-rata Rp 500.000 sebulan. Jadi, kalau hanya mengharapkan hidup dari menulis, jelas tidak cukup. Alhamdulillah, saya masih mendapat honor tetap dari YTKI. Pensiun, saya tak punya. Saya kan bukan pegawai negeri. Meskipun demikian, saya akan terus menulis. Tujuan saya adalah supaya jangan dilupakan. Sebab, buat kolumnis, seorang penulis, seorang wartawan -- apalagi wartawan free lance -- satu kali dilupakan namanya, dia tidak laku lagi, sulit untuk kembali masuk pasar. Jadi, saya ingin terus menulis, memelihara nama supaya tidak dilupakan. Dan yang penting, jangan sampai masuk penjara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus