Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Warisan dari presiden cory untuk presiden baru

Presiden baru filipina mau tak mau harus menghadapi warisan cory: dari soal tentara sampai kemiskinan.

23 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FIDEL Ramos atau Miriam Santiago. Atau siapa pun yang menang dalam pemilihan presiden Filipina, yang resminya akan diumumkan Senin pekan depan, akan harus menghadapi pemandangan seperti ini. Suatu hari menjelang pemilihan umum pekan lalu, di kawasan Tondo, salah satu bagian dari Metropolitan Manila. Sebuah gunung sampah tampak mengepulkan asap. Berjalan di gunung sampah itu seorang gadis kecil dengan keranjang menggantung di pundak kirinya. Gadis itu mengaisngais sampah, memilih benda-benda buangan yang bisa didaur ulang. Ia bekerja dengan cekatan walaupun hanya mengenakan sandal jepit bekas yang sudah tipis. Andai saja ia terpeleset, ia akan jatuh ke dasar sampah 20 meter di bawah yang penuh dengan potongan kaca dan logam, bara yang menyala, dan tumpukan kotoran manusia yang penuh dengan lalat hijau. Tak berapa jauh dari situ terdengar suara laki-laki yang memerintahkan mundur, maju, kiri, kanan kepada sopirsopir truk pengangkut sampah. Kemudian terdengar deru sampah yang dituangkan. Para pemulung yang sudah menunggu hanya mundur beberapa langkah saja sebelum mereka menyerbu barang-barang bekas, plastik, dan sisa-sisa makanan orang kota. Padahal, kalau mereka tak sigap menyingkir sampah itu bisa mengubur mereka. Seorang pemabuk setengah gila dengan baju lusuh berteriak-teriak bahwa pemilu akan berjalan lancar. Itu, katanya, lantaran pemerintahan Marcos sudah tamat dan Presiden Aquino telah berbuat baik bagi rakyat. Ferdinand Marcos memang sudah tak bernyawa dan jandanya, Imelda Marcos, hanya menjadi pecundang di antara tujuh calon presiden kini. Dan mungkin Presiden Qorazon Aquino memang sudah berbuat baik untuk rakyat. Tapi masalahnya, kemiskinan di negeri 66 juta rakyat berpenghasilan per kepala per tahun US$ 660 itu tak mudah ditaklukkan. Soalnya, kekayaan beredar hanya di antara sejumlah keluarga tuan tanah kaya raya sehingga 60% rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Tidak mudah, kata David G. Timberman, Direktur Studi Pusat Yayasan Asia untuk Masalah Asia Pasifik di Singapura, bagi pemerintah Filipina untuk menggoyang para tuan tanah agar sebagian kekayaannya jatuh ke bawah. Presiden Cory Aquino pun, tulis Timberman dalam bukunya, Changeless Land, Continuity dan Change ini Philippine Politics, terpaksa menyurutkan niat baiknya melaksanakan undang-undang pembagian tanah. Ada yang sulit digugat dalam tradisi politik Filipina, yakni begitu ada sebuah perubahan akan membuat kaum kaya berkurang kekayaannya, dengan segala dalih perubahan itu akan ditangguhkan. Soalnya, kekuasaan di Filipina adalah permainan para elite yang sebagian besar adalah anggota para keluarga kaya itu. Inilah warisan besar yang mesti dihadapi presiden yang baru. Dari kemiskinan inilah segala sesuatu bisa terjadi: keresahan, ketidakstabilan pemerintahan, atau lebih jauh lagi kudeta. Tak kurang dari enam kali percobaan kudeta, dengan atau tanpa korban, muncul pada masa pemerintahan Presiden Cory. Soalnya, di tengah kemiskinan itu, gemerlap kekayaan sebagian orang memang menyilaukan. Lihat saja, sekitar 30 km dari wilayah kumuh Tondo itu, berdirilah sebuah shopping mall megah yang diberi nama Galleria. Di sana ada restoran mewah, butik mahal, dan toko-toko kecil yang menjual ayam goreng, snek Prancis, dan segala minuman impor. Tak jauh dari situ kelihatan sebuah hotel mewah, sebuah video arcade yang dipenuhi anak-anak muda berpakaian ngetrend: celana kedodoran warna-warni dan Tshirt merek paling keren, yang harganya tak terbayangkan oleh gadis kecil pencari sampah itu. Tentu saja, pada masa kampanye beberapa waktu lalu, para kandidat presiden bukannya tak memperhatikan nasib rakyat kecil yang mengenaskan. Ketujuh kandidat tak melupakan kesenjangan sosial antara yang berkerumun di tempat sampah Tondo dan yang berkumpul di Galleria. Istilahistilah yang cukup dikenal dalam kamus kemasyarakatan mereka lontarkan dengan suara lantang: pengangguran, hak asasi manusia, undang-undang pembagian tanah, dan demokrasi ekonomi. Ketika Corazon Aquino memulai jabatannya pada 1986 ia mewarisi suatu perekonomian yang sedang karam, terutama lantaran salah pengelolaan selama tiga tahun terakhir kediktatoran pemerintahan Marcos. Pendapatan nasional perkapita turun drastis sebanyak 16% dari indeks tahun 1982, tahun yang dianggap mencatat perekonomian terbaik Filipina. Itu diperburuk lagi dengan larinya sebagian besar modal ke luar negeri dan utang nasional yang mencapai angka US$ 26 milyar. BUMN yang berjumlah sekitar 300 buah bangkrut atau hampir bangkrut akibat salah urus dan korupsi. Maka membalikkan keadaan supaya lebih baik adalah tujuan pokok pemerintah baru. Perbaikan ekonomi yang dilaksanakan dengan cepat sangat diperlukan oleh administrasi Aquino untuk memberi kesan kepada rakyat bahwa ia lebih mampu ketimbang pemerintahan Marcos. Itu juga diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan kalangan bisnis di kota-kota besar dan golongan menengah pada umumnya. Kesan tentang adanya ekonomi yang lebih baik juga penting untuk rakyat miskin, terutama untuk mengimbangi pengaruh kaum komunis di kalangan bawah dan di pedesaan. Khusus di pedesaan diperlukan pengaturan kembali hak pemilikan tanah atau landreform untuk mengkonsolidasikan dukungan petani. Pentingnya perhatian terhadap langkah-langkah untuk memperbaiki ekonomi ini juga penting untuk menarik perhatian dunia. Dengan demikian, para donor, penanam modal, dan kreditor akan melihat sesuatu yang punya prospek cerah sehingga mereka mau membantu pemerintah di Manila. Pendeknya, perbaikan ekonomi sangat menentukan kelangsungan pemerintah baru. Sejauh ini usaha pemerintahan Aquino belum menggembirakan. Pendapatan nasional Filipina memang meningkat, tahun 1988 menjadi 7% lebih besar daripada tahun 1986. Sedangkan inflasi dan angka pengangguran bisa ditekan. Tapi dibandingkan dengan ekonomi Filipina tahun 1982, upaya Cory masih berada di bawahnya: pendapatan nasional hanya 90% dari pendapatan tahun 1982. Hanya ada satu hal yang sangat perlu dicatat, yakni Cory Aquino telah memperkecil campur tangan pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Sedang Cory secara spesifik mengatakan bahwa ia akan meninggalkan kebiasaan memberikan hak-hak istimewa kepada kelompok-kelompok tertentu. Ia menjanjikan pemerataan, penghapusan nepotisme dan monopoli, menekankan pada efisiensi dan keadilan sosial. Untuk itu langkah pertama yang diambil adalah melepaskan pengawasan yang selalu dipraktekkan oleh pemerintah atas sektor-sektor kunci di bidang ekonomi. Misalnya penghapusan monopoli dalam perdagangan gula dan kelapa. Penghapusan monopoli ini telah memberi kehidupan lebih baik kepada 15 juta petani kelapa. Kebijaksanaan yang sama kemudian dilakukan dalam bisnis gula, kedelai, gandum, dan impor daging. Tahap kedua adalah swastanisasi berbagai BUMN. Semula diputuskan untuk menswastakan hampir 120 perusahaan negara. Tapi jumlah itu kemudian dikurangi menjadi 86 saja karena banyak dari kelompok orang kaya yang menguasai ekonomi secara tradisional dan mendapatkan keuntungan dari BUMN yang tak efisien memprotesnya. Tapi Cory teguh dengan keputusannya dan sampai tahun 1989 tak kurang dari 150 BUMN telah diswastakan. Filipina adalah sebuah negara agraris. Sekitar 35 juta jiwa atau 60% dari jumlah penduduk tinggal di pedalaman dan lebih dari 10 juta atau hampir 50% dari angkatan kerjanya hidup dari pertanian. Bertani adalah suatu usaha yang risikonya cukup tinggi karena ia sangat tergantung kualitas dan keluasan tanah, banyaknya hujan, irigasi, benih, pupuk, dan pestisida. Semua faktor itu saling berhubungan dengan erat sehingga kekurangan satu hal saja dari yang disebutkan di atas bisa menggagalkan panen. Malangnya bagi petani Filipina, perkembangan yang tak menguntungkan terjadi dalam tahun-tahun terakhir ini, misalnya, kekurangan lahan pertanian, pemilikan tanah yang sangat kecil, sehingga yang terjadi adalah pengangguran di kalangan angkatan kerja pedalaman. Belum lagi disebut adanya ketimpangan dalam pemilikan tanah. Untuk mengatasi tumpukan persoalan di pedesaan itu, yang dilakukan pemerintah Aquino adalah melancarkan reformasi agraria atau landreform. Tapi itu tak berjalan mulus dan di kalangan badan-badan perwakilan masih saja terjadi perdebatan mengenai perlu tidaknya reformasi agraria. UU pembagian tanah kepada para penggarap, misalnya, masih terus diperdebatkan dan sampai sekarang belum kelihatan implementasinya. Soal yang juga cukup serius adalah perpecahan di dalam angkatan bersenjata. Bagaikan sebuah partai politik yang dihadapkan pada suatu masalah pelik, di dalam Angkatan Bersenjata Filipina juga terjadi faksionalisme. Gejala itu sebenarnya telah tumbuh jauh-jauh hari sebelum Cory naik ke kursi kepresidenan, atau tepatnya di hari-hari terakhir pemerintah Marcos. Sebagai reaksi terhadap berbagai ketimpangan, salah urus, korupsi, dan kebusukan-kebusukan lain pemerintahan Marcos, di dalam militer muncul para perwira yang merasa terpanggil untuk memperbaiki keadaan. Mereka juga sangat kecewa dengan politik pecah-belah Marcos yang memberi kedudukan empuk kepada perwira yang menjilat kepadanya dan menempatkan mereka-meraka yang dianggap tak setia pada posisi-posisi yang sulit. Ketika itulah muncul gerakan reformasi tanpa bentuk dalam militer atau yang mulamula lebih dikenal dengan julukan Reformed Army Movement (RAM). Para pendiri dan tokoh-tokoh utamanya antara lain Jose Almonte, Juan Ponce Enrille, Fidel Ramos, Eduardo Kapunan, dan Gringo Honasan. Revolusi 1986, yang menjatuhkan Marcos dan mendudukkan Cory Aquino, memberi kesempatan kepada RAM untuk memainkan peranan penting dalam pemerintahan. Cory sebaliknya tak ingin mencampuri urusan militer. Ketika itu pula perpanjangan dari singkatan RAM diganti menjadi Rebolusyanaryong Ayansang Makabansa yang berarti Aliansi Revolusioner Tentara. Tujuannya juga menjadi lebih luas: dari hanya terbatas pada masalah-masalah dalam militer menjadi berskala nasional. Pemerintahan Cory memperoleh dukungan penuh dari militer. Mereka berharap agar pemerintah baru mampu mematahkan oligarki ekonomi dan politik yang menjajah Filipina selama ini. Tapi setelah pemerintahan Cory berjalan beberapa lama muncullah berbagai masalah. Banyak rintangan di bidang ekonomi, misalnya, masih belum bisa diatasi karena sistem oligarki belum dapat dipatahkan. Lalu ada tokoh Joker Arroyo, yang menjabat Mensesneg, cenderung mendikte Cory untuk campur tangan dalam masalah militer. Lebih celaka lagi, Arroyo menganjurkan Cory berkompromi dengan kaum komunis yang memberontak. Lalu terjadilah percobaan kudeta Honasan pada 1987. Arroyo dengan perantaraan tangan Cory memerintahkan Pangab Jenderal Ramos dan Menhan Rafael Iloto untuk membantai Honasan dan kawan-kawan yang menduduki stasiun siaran tv saluran 7. Tapi Ramos menolak. Ketika itu menjadi jelas bahwa tentara terpecah antara mereka yang radikal, diwakili oleh kelompok Honasan, dan yang moderat. Kelompok yang disebut belakangan dipimpin antara lain oleh Jenderal Almonte yang sekarang memimpin Biro Intelijen Penyidikan Ekonomi. Dewasa ini tampaknya tak ada bahaya kemungkinan adanya kudeta militer. Soalnya Honasan, yang sekarang masih buron, tidak mendapat dukungan kuat dari masyarakat sipil dan dari kalangan militer sendiri. Tapi, seperti juga diakui oleh Almonte dalam wawancara dengan TEMPO, RAM sebenarnya masih punya kesempatan mendapat dukungan banyak tentara. Almonte mengisyaratkan secara tak langsung bahwa ia masih suka bertemu dengan Honasan. "Honasan adalah sebuah elemen dalam sebuah situasi yang membuat dinamika revolusi berjalan terus," kata Almonte. Beda antara RAM dan tentara pada umumnya adalah soal sabar atau tidaknya mereka melihat usaha perbaikan dalam negeri. Masalah ketiga yang tak kurang mendesak untuk diatasi adalah soal Mindanao. Tuntutan kaum muslim di pulau selatan itu masih saja menggebu-gebu. Mereka merasa memiliki kebudayaan, tradisi, dan agama yang berbeda dengan penduduk Filipina di wilayah-wilayah lainnya. Atas dasar kekhasan itulah mereka menuntut hak-hak otonomi sosial, politik, dan ekonomi yang lebih besar. Mereka yang lebih radikal bahkan mencita-citakan berdirinya sebuah republik Islam di Mindanao yang sama sekali terpisah dari pemerintah pusat di Manila. Untuk itu mereka tak segan-segan mengangkat senjata. Dengan demikian, siapa pun yang menjadi presiden nanti, masalah wilayah selatan itu menunggu penanganan secara tuntas dan bijaksana. Ramos menganggap ia bersahabat dengan muslim Filipina (lihat Saya Akrab dengan Kaum Muslim), tapi ia juga tak ingin melihat Filipina terpecah belah. Satu sikap yang rasanya kontradiktif dan bisa membuat gerilyawan Moro kembali aktif. Itulah antara lain warisan Cory untuk presiden baru. A. Dahana (Jakarta) dan Leila S. Chudori (Manila)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus