OTHER PEOPLE'S MONEY Pemain: Danny DeVito, Penelope Ann Miller, Gregory Peck Skenario: Alvin Sargent Sutradara: Norman Jewisonz UANG. Tak ada yang bisa membuat jantung Larry Garfield berdegup lebih cepat daripada uang. Tidak barang mewah, atau donat-donat yang dilahapnya tanpa henti. Juga tidak wanita. Yang terakhir ini baru merasuk pikiran Larry setelah Kate Sullivan, pengacara bertubuh seksi berotak pembunuh, melangkah ke kamar kerjanya. Other People's Money memang diawali dan diakhiri dengan komedi, kendati sutradara Norman Jewison lebih dikenal sebagai pembuat film serius (A Soldier's Story dan Agnes of God). Penelope Ann Miller (Kate) dan Danny DeVito (Larry) merupakan kombinasi jitu untuk memancing tawa: yang satu berkaki jenjang, bersuara merdu, dan berpihak pada yang lemah lainnya pendek, gendut, dan orang jahat yang bawel. Di balik berbagai lelucon, film ini ingin menyampaikan pesan penting. Kate, misalnya, mengemban tugas berat: menyelamatkan New England Wire and Cable Company dari tangan rakus Larry. Perusahaan keluarga milik Jorgy Jorgenson (Gregory Peck) ini memang ketinggalan zaman, tapi bersih utang dan mampu bertahan menghadapi "resesi, depresi ekonomi, dan dua perang dunia". Toh Larry Garfield bukan sembarang bencana. Di Wall Street ia dijuluki "sang penghancur" Larry adalah karikatur para "perompak perusahaan". Dan Dany DeVitto badut serakah dalam film Romancing the Stone, Ruthless People, dan Twins memang pas sebagai raksasa berukuran mini. Bangun pagi, yang pertama disentuhnya adalah Carmen, komputer yang memberi informasi tentang perusahaan-perusahaan yang siap dicaplok. Masalahnya, orang macam Larry "tidak pernah menghasilkan, membangun, ataupun mengurus apa-apa". Larry membeli untuk menjual lagi, dengan nilai saham yang lebih tinggi tentunya. Dan New England Wire and Cable mangsa empuk: asetnya gemuk, tapi bisnisnya tak terlalu mencuat. Perusahaan ini cuma sebuah nama yang dipertahankan demi tradisi dan loyalitas pada karyawan yang mengabdi hampir tiga generasi. Aktor tua Gregory Peck menjadi personifikasi dari nilai-nilai usang ini. Sedangkan Larry, dengan alasan mengoptimalisasi nilai sahamnya, ingin mengenyahkan divisi yang rugi dan mendapatkan uang banyak dari aset yang terjual. "Perasaan memiliki lebih penting daripada benda yang dimiliki," kata Larry. Di rumahnya yang mewah, karya Gauguin dan Picasso berdampingan dengan foto cewek yang menampik lamarannya di SMA dulu. Pada akhirnya, Other People's Money bukanlah soal uang. Atau tentang Larry dan Kate yang beradu kecerdikan bak dua serigala dalam birahi. Film yang diangkat dari naskah drama ini berbicara tentang nilai yang selalu bertentangan dalam diri manusia. Di tingkat yang paling rendah, dualisme ini sumber humor. Larry, yang pagi-pagi menghancurkan masa depan ribuan pekerja, berubah romantis di malam hari. Bahkan, permainan biolanya yang mengiris telinga hampir meluluhkan hati Kate. Contoh lain adalah perbedaan antara Jorgy yang konservatif dan Larry si kapitalis modern. Jorgy merasa perlu memegang teguh motto "In God we trust" yang terukir di setiap lembaran dolar, sementara Larry cuma ingin tahu berapa jumlah nol yang tertera di lembaran tersebut. Namun, pesan yang penting hanya satu: manusia cuma bisa berusaha menjadi malaikat, tapi menghadapi godaan setan ia akan memilih jalan yang paling pintas ke neraka. Dalam duel terakhir, Jorgy memohon pemilik saham menggunakan suara mereka demi masa depan karyawannya. Omong kosong, jawab Larry. "Siapa peduli pada manusia?" tanyanya. "Satu-satunya alasan orang menjadi pemilik saham adalah untuk membuat uang." Larry adalah iblis dari jenis yang berani menantang Tuhan. "Beri aku kesempatan," ujarnya, "dan kubuktikan bahwa manusia akan mengkhianati-Mu." Dan Jorgy akhirnya dikhianati bukan cuma oleh pemegang saham, tapi juga presiden perusahaannya sendiri. Sebab, dengan Larry pemilik saham justru merasa nyaman: selama kita sama-sama kotor tidak ada masalah salah atau betul, demikian kira-kira filsafatnya. Sayangnya, akhir Other People's Money terlalu mulus. Jorgy kalah dan perusahaannya ditutup. Larry menang, tapi murung karena kehilangan Kate. Padahal, dalam naskah drama yang asli, Larry menikahi Kate yang melahirkan sepasang anak kembar. Ini terlalu pahit bagi penonton yang sekadar mencari hiburan. Persembahan Norman Jewison lebih hitam putih. Bahkan, pada akhir cerita, semua berakhir bahagia: sebuah perusahaan Jepang bersedia memodali New England Wire and Cable. Larry, yang diajak berunding oleh Kate, menjadi ceria kembali. Yang luput bukan cuma penjelasan tentang hubungan aneh Kate dan Jorgy. Karena Jewison membuat perbedaan antara dosa dan hukuman terlalu simpel, kita cuma melihat Jorgy sebagai korban dan Larry penjahatnya. Kita jadi lupa bahwa setan itu perlu. Larry hadir sebagai peringatan bagi orang macam Jorgy yang terlalu idealistis dan terlalu percaya pada niat baik. Jorgy bersikeras untuk tidak bersiasat menghadapi bencana. Ia bahkan tak merasa perlu memodernisasi pabriknya. Ini dosa. Kate juga bukan malaikat. Bertarung dengan Larry lebih menggairahkannya ketimbang hasil pertarungan itu sendiri. Sementara itu, tokoh Larry akan selalu ada. "Mereka bisa mengubah peraturan, tapi saya mudah beradaptasi," ujarnya. Maka, Larry, Kate, para pemilik saham, bahkan Jorgy adalah makhluk yang serba setengah: hampir malaikat, tapi lebih banyak setannya. Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini