Dilahirkan dii Wonosobo, Jawa Tengah, 7 September 1907, Prof. Slamet Imam Sntoso adalah seorang ahli penyakit saraf dan jiwa yang mengalami pendidikan masa Belanda. Pendiri dan dekan pertama Fakultas Psikologi UI, yang kemudian sempat menjadi Pejabat Rektor UI, ini orangnya unik. "Ciri orang pandai, bisa menyederhanakan hal yang ruwet, sebaliknya orang bodoh akan meruwetkan soal sederhana," ucapnya satu ketika. Menyongsong Hari Pendidikan 2 Mei, TEMPO meminta tokoh ini menuturkan kisah hidup dan kesan-kesannya mengenai gaya pendidikan di masa Belanda, lewat wartawan kami Syafiq Basri Assegaf. DI zaman penjajahan Belanda dulu, ada sekitar 15 sampai 17 juta anak usia sekolah. Tapi yang diterima di sekolah Belanda, maksud saya sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda, hanya 1,2 juta orang. Jadi, tidak sampai 10%. Nah, saya ingin membicarakan yang 10% ini, sebab mereka benar-benar dididik secara matang, dan tidak luntur setelah lulus ujian. Karena mereka mendapat pendidikan yang matang dan disiplin yang ketat, maka mereka menjadi orang-orang pintar, menyerupai orang-orang Belanda. Seperti yang saya alami sendiri ketika saya lulus dari AMS B (setingkat dengan SMTA sekarang) di Yogyakarta pada 1926. Direktur sekolah itu membagi ijazah. Sambil menjabat tangan kami satu per satu, Belanda totok itu berkata, "Deze inlandsche kinderen zijn pientere kinderen. Zij beheerschen het Nederlandsch, Engelsch, Duitsch, en Fransch, beter dan onze eigen kinderen" (Anak-anak inlander ini pinter-pinter sekali. Mereka mampu menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis lebih baik dari anak-anak kita sendiri). Yang dimaksud dengan "inlander" adalah pribumi. Memang, bahasa adalah alat pertama dalam pendidikan. Dan yang dimaksud dengan "bahasa" di sini bukan bahasa sehari-hari, bukan bahasa untuk membeli kacang, tahu, tempe, atau kedelai di pasar. Bukan. Tapi bahasa pendidikan yang harus memenuhi syarat, yaitu: singkat, jelas, tepat. Lagi pula, kata-katanya harus pas, tidak boleh lebih. Lalu, setiap kalimat harus punya satu makna saja. Tidak boleh makna ganda. Itulah syarat menyusun kalimat kalau kita mau mendidik manusia. Zaman dulu, gaji guru itu besar. Kira-kira 15 sampai 20% lebih tinggi dari semua jenis pegawai. Saya dulu dokter kelas dua. Untuk naik nenjadi dokter kelas satu harus makan waktu beberapa tahun. Waktu itu, tahun 1932, dengan pangkat serendah itu, gaji saya sudah 450 gulden. Ketika itu, karena saya juga menjadi asisten dosen, saya mendapat tambahan uang berupa tunjangan 150 gulden. Jadi, total gaji saya 600 gulden. Kawan yang tidak ditugasi mendidik, ya tetap 450 gulden. Dan tidak seperti gaji yang diterima guru di beberapa daerah di zaman sekarang, ketika itu saya tidak pernah terlambat menerima gaji. Di zaman itu, satu gulden bisa untuk membeli telur ayam 50 butir. Jadi, nilainya sama dengan Rp 3.000 atau Rp 4.000 uang zaman sekarang. Di zaman itu, guru sangat disiplin. Guru selalu datang ke sekolah lebih awal dari para murid, dan pulang paling akhir. Guru juga rajin melakukan inspeksi semua kelas, dan tidak pernah mbolos seperti perilaku guru di zaman sekarang. Jadi, karena gajinya sudah mencukupi untuk hidup sehari-hari, para guru tidak suka ngobyek. Di zaman dulu, pegawai pemerintah umumnya dipensiun setelah bekerja selama 25 tahun. Umumnya mereka juga sudah siap menghadapi hari tua. Mereka sudah mampu membeli rumah sendiri. Janda-janda pensiunan pun, ketika itu, menerima tunjangan cukup besar. Jadi, mereka tidak perlu mencari tambahan penghasilan dengan membuka pondokan atau tempat kos seperti sekarang. Hal lain yang sangat mengesankan saya di zaman itu ialah, semua orang, terutama para guru, tulisan tangannya sangat bagus. Tulisan itu tidak boleh serampangan. Mengapa tulisan tangan harus bagus? Pertama, agar orangnya teliti dan dapat mengatur diri sendiri. Kedua, orang lain dengan mudah dapat membaca, hingga tidak mempersulit orang lain. Kalau berbicara pun, setiap kata harus diucapkan lengkap satu per satu, tidak boleh bersambung-sambungan. Dengan demikian, orang yang diajak berbicara mudah mendengar dan mengerti. Jadi, orang yang terdidik di zaman dulu itu menulis bagus, dan berbicara jelas, sekata demi sekata. Maksudnya, agar kita ingat bahwa ada orang lain, jadi kita harus menghormati orang lain. Begitu filosofinya. Waktu di sekolah dulu, kalau tulisannya jelek, angkanya dikurangi. Jadi, kalau kami mendapat tugas mengarang tapi tulisannya jelek, maka nilainya tujuh dikurangi 1/4, jadi tinggal 7 minus. Kalau tanda bacanya kurang teliti, ada yang salah, dikurangi lagi 1/4, jadi tinggal 61/2. Kalau sampai mendapat nilai kurang dari 5 -- oleh karena kekurangan-kekurangan lain -- karangan diperiksa dan diperbaiki lalu dikembalikan, dan murid dihukum. Caranya, diwajibkan menulis lagi sampai 4-5 kali. Pokoknya, kalau di bawah lima, pasti kena hukuman. Tulisan yang baik itu sangat bermanfaat. Terutama kalau kita hendak melihat arsip-arsip lama. Kalau kita jalan-jalan ke desa-desa yang sudah tua di Jawa Tengah, kita bisa mendapatkan buku-buku catatan lama di desa itu, dengan tulisan tangan yang jempolan. Mengenai arsip tulisan tangan yang bagus ini, saya punya pengalaman menarik. Pada tahun 1953 ayah saya meninggal di Purworejo, Jawa Tengah. Atas keputusan pengadilan, saya menjadi ahli waris dan mendapat sebuah rumah di desa. Kira-kira tahun 1982, saya bermaksud menjual rumah tersebut. Untuk maksud itu saya harus datang sendiri ke kantor Agraria. Di sana ada seorang petugas yang bergelar doctorandus. Ia menanyakan kepada saya, apakah saya punya bukti bahwa ayah saya sudah meninggal. "Lho, soal ini kan sudah merupakan keputusan pengadilan? Bahwa bapak saya meninggal pada tahun 1953 disebutkan dalam keputusan tahun 1953 itu?" kata saya. Tapi dia bilang, soal itu sudah kedaluwarsa. "Lho, memangnya saya harus memanggil ayah saya dari surga untuk jadi saksi?" kata saya lagi. Saya lalu ke kantor desa tempat rumah saya itu berada, bersama orang yang mau beli rumah itu dan si petugas yang doctorandus itu. Jaraknya cukup jauh. Untunglah, di sana kami bertemu dengan carik desa yang usianya sudah 70 tahun. Carik itu juru tulis. Kantor desa itu sudah tua dan bolong-bolong. Pak Carik membuka lemari yang juga sudah tua, mengambil buku register. Bukunya juga sudah tua, kertasnya sudah berwarna kuning. Register itu bertulis tangan. Dan tulisannya jempolan, up to date sampai tahun 1982. Pak Carik itu lantas bilang, "Kulo ingkang dados seksi, inggih bapak puniko ingkang kagungan hak waris griyo puniko. Sak meniko manawi bade dipun dawuhi, inggih monggo" (Saya yang menjadi saksi, ya bapak ini yang memiliki hak waris atas rumah itu. Sekarang kalau saya mau dipanggil, ya silakan). Jadi, begitulah. Catatan kepala desa di zaman dulu itu betul-betul jempolan, tulisannya bagus dan teliti, up to date. Lagi pula, lihatlah Pak Carik itu. Orang yang sudah setua seperti itu masih sanggup menjadi saksi, dan bersedia dipanggil kapan saja. Itulah, orang zaman dulu itu ya seperti itu. Orang zaman sekarang? Ha, mesti kita sediakan amplop di bawah mejanya .... Pendidikan di zaman Belanda itu juga sangat mementingkan disiplin. Itu tidak berarti anak-anak tidak ada yang nakal. Ada juga teman saya yang mendapat hukuman. Tapi itu semua dinilai sebagai kenakalan anak-anak biasa. Asal tidak mbolos, tidak bohong, dan tidak pernah mendapat nilai jelek, semua itu diterima sebagai kenakalan biasa. Saya ingin bercerita ketika saya masih duduk di bangku MULO, di Magelang. Ketika itu umur saya baru, ya, sekitar 12 sampai 14 tahun. Dulu, di kelas saya kebanyakan anak-anak Jawa. Orang Jawa itu perangainya bagus-bagus, lho. Kartini kan orang Jawa. Ketika itu, ada semacam kode etik di antara anak-anak Jawa: kalau membeli apa-apa harus membayar lebih dahulu, baru boleh memegang barangnya. Siapa yang melanggar, dipisuhi, dicaci-maki. Begitulah sikap kami ketika itu, padahal kami anak-anak waktu itu baru berusia belasan tahun. Nah, kalau lagi mengaso, kami jajan goreng tahu dekat kantor pegadaian di samping sekolah. Semua anak membayar dulu, sebenggol-sebenggol, baru boleh pegang piring. Sebenggol itu dua setengah sen. Kalau ada anak belum bayar tapi sudah pegang piring, kontan ditempeleng. "Bayar disik, ngisin-isini ora gelem bayar" (Bayar dulu, memalukan, tidak mau bayar)," kata teman-teman. Suatu ketika ada beberapa murid Belanda, teman kami, yang nimbrung ikut-ikutan jajan. Tiba-tiba klinthing-klinthing-klinthing, bel sekolah berbunyi, dan kami harus segera masuk kelas. Anak-anak, termasuk anak Belanda itu, bergegas masuk kelas. Kira-kira 15 menit kemudian, si penjual goreng tahu datang diantar oleh direktur sekolah, keliling semua kelas. Rupanya, ia mencari anak-anak yang belum bayar. Penjual itu tahu benar bahwa yang belum bayar bukan anak-anak Jawa. Ternyata, anak-anak Belanda itulah yang belum bayar. Direktur sekolah segera menyuruh mereka membayar, dan menghukum mereka. Nah, sejak kami masih remaja sudah memiliki disiplin dan tanggungjawab yang besar. Kami, anak-anak Jawa, juga bersepakat, setiap hari salah seorang di antara kami mesti membawa makanan dari rumah untuk dibagi. Kalau tiba giliran saya membawa makanan, buku-buku saya cukup saya tumpuk di depan rumah. Teman-teman yang lewat di depan rumah akan mengambil bukul itu satu per satu dan membawanya ke sekolah. Saya cuma membawa makanan saja. Waktu saya sampai di kelas, buku-buku saya sudah tertumpuk rapi di meja saya. Nah, kompak, kan? Hebat. Pada suatu hari saya membawa gulali, sejenis makanan anak-anak terbuat dari gula bercampur bahan perekat. Di luar jam pelajaran, saya membagi-bagi gulali. Tapi ternyata pada waktu jam pelajaran, teman saya Gatot sudah mengambil dua biji gelali dan sekaligus dimasukkan ke dalam mulutnya. Si Gatot itu memang luar biasa nakalnya, tapi juga pinternya bukan main. Dulu itu kalau nakal, sekaligus pinter. Rupanya, guru tahu tingkah Gatot. Dia lalu memanggil murid nakal itu di depan kelas, ditanyai soal-soal pelajaran. Terang saja Gatot tidak bisa menjawab, sebab mulutnya penuh dengan gulali. Lucunya, Gatot tidak dihukum, sebab hal ini hanya dianggap sebagai kenakalan biasa. Gurunya ikut senvum-senyum. Malah bisa membuat murid sekelas tertawa.... Ada cerita lain mengenai Gatot. Suatu hari ada seorang guru yang usianya sudah setengah tua, kebetulan mengenakan baju yang ada kancingnya dua buah di belakang. Pak Guru berdiri di depan Gatot, sambil memperhatikan anak-anak yang maju ke papan tulis mengerjakan pelajaran sekolah. Diam-diam, Gatot memelintir kancing baju itu pelan-pelan sampai putus. Guru itu diam saja sampai anak-anak selesai mengerjakan pelajaran sekolah. Setelah itu, tiba-tiba, Pak Guru membalikkan badannya, sambil berkata, "Boleh saya minta kancing baju saya?" Nah, begitulah. Kenakalan pada zaman itu memang sering dianggap sebagai kenakalan anak-anak yang wajar. Guru pun tidak pernah menghukum dengan tangan. Itu tidak berarti tidak ada anak yang nakalnya keterlaluan. Kalau ada anak yang nakalnya keterlaluan, kedua orangtuanya dipanggil, dan murid itu diadili. Tapi pengadilan seperti itu tidak dilakukan secara terbuka melainkan selalu tertutup, dalam kamar direktur. Tapi kalau bohong, memang hukumannya berat. Hukumannya macam-macam. Ada yang disuruh menulis Saya tidak boleh bohong sampai seratus kali, lalu harus ditandatangani oleh orangtua. Dan tulisan tangan itu harus bagus. Memang anak-anak di zaman saya dulu itu, yang penting tidak boleh bohong dan tidak boleh mbolos. Kalau nakal, dianggap wajar-wajar biasa. Tapi kalau bohong atau mbolos, atau nilainya di bawah lima, orangtua atau walinya dipanggil ke sekolah, dan murid diadili di depan orangtua dan guru. Pada waktu itu seorang guru di SD, misalnya, paling-paling hanya memegang 30 anak dalam sebuah kelas. Waktunya pun hanya dari pukul 07.30 sampai kira-kira pukul 11.00 atau 12.00. Guru ndak nyambi ngajar di mana-mana lagi, hanya di satu kelas sebuah SD saja. Tapi pekerjaan 30 murid itu diperiksa benar-benar. Bagaimana tulisannya, bagaimana tanda bacanya, bagus atau tidak, benar atau tidak. Pekerjaan murid itu dikoreksi dengan tinta merah, dan harus diperbaiki oleh si murid. Hasil pemeriksaan guru itu dipajang di sebuah lemari kecil yang ada di kelas, biar semua murid dapat melihat kembali hasil pekerjaan mereka. Jadi, umpamanya ada murid yang nilainya empat, tentu merasa malu karena diketahui pula oleh murid yang lain. Jadi, kalau misalnya nilainya (bijinya) empat, malu sama teman yang lain, kan? Hubungan antara guru dan orangtua murid, bahkan dengan si murid sendiri, baik sekali. Suatu hari saya pernah main tinju-tinjuan dengan seorang teman di depan rumah, tahu-tahu ada ibu guru aljabar lewat. Beliau lantas bertanya, "Apa kamu suka boxing? Dan siapa saja teman-teman kamu yang suka bermain seperti ini?" Lalu beliau menawarkan, kalau mau boleh belajar tinju kepada suaminya. "Siapa saja yang mau belajar tinju datang saja ke rumah saya jam empat sore," katanya. Lalu kami belajar tinju kepada suami ibu guru aljabar itu. Dan tidak bayar sepeser pun, padahal dia bukan guru sekolah kami. Malah kami diajari membuat sarung tinju sendiri, dari kaus kaki. Ternyata, dia memang pelatih para petinju. Jadi begitulah, hubungan guru dengan murid baik sekali. Suatu ketika, seorang teman saya yang lagi asyik main tinju, terpukul pingsan. Sejak peristiwa itu kami bubar, tidak lagi main tinju. Keakraban antara guru dan murid itu misalnya begini. Suatu ketika, waktu mengaso, kami bermain bola di halaman sekolah. Kebetulan ada seorang anak yang menendang bola, dan . . . kena pipi seorang guru. Langsung Pak Guru menaruh bola tersebut di kepala anak itu, sambil berkata, "Kami harus menjaga agar bola ini jangan jatuh dari kepalamu." Maksudnya sebagai hukuman, tapi hukuman ringan yang bisa bikin lelucon. Ya, tentu saja sulit menjaga jangan sampai bola jatuh dari kepala. Nah, dia jadi tontonan.... Pernah, ada teman saya sampai dua hari tidak masuk sekolah. Lalu guru memanggil murid lain untuk mengantarkannya ke rumah murid yang tidak masuk itu. Ternyata, teman saya itu sakit. Karena orangtuanya tidak mampu, ia hanya dirawat di rumah saja. Maka, Pak Guru segera mengantarkan anak itu ke rumah sakit militer, naik delman. Guru itu pula yang memperjuangkan agar muridnya diperiksa. Ternyata, anak itu sakit tifus. Ia dirawat tiga minggu, dan Pak Guru sempat menengok tiga kali. Hubungan guru dengan murid ketika itu baik sekali seperti itu. Padahal, gurunya orang Belanda, Ihor. Tidak seperti guru zaman sekarang. Mengapa demikian? Karena pendidikan guru zaman dulu matang. Jadi, guru mendidik anak tidak secara sembarangan. Mereka bukan mengajar, tapi mendidik. Ketika masih belajar di MULO itu, di Magelang, saya ikut kakek, Mbah Atmowidjojo. Soalnya, orangtua saya yang bekerja sebagai pamong praja, jadi wedana, dan selalu berpindah-pindah. Saya serumah dengan tante-tante dan saudara-saudara sepupu. Dulu itu satu rumah ada 15 orang, barangkali yang delapan atau sembilan orang adalah anak-anak. Di rumah itu pendidikannya juga bagus. Berhubung kami dari keluarga priayi, maka kami tidak boleh mempekerjakan bedinde alias pembantu rumah tangga. Kami harus mengerjakan sendiri semua pekerjaan. Selesai makan ya mencuci piring sendiri. Kalau selokan kotor, anak lelaki berumur 12 tahun harus mampu membersihkannya. Kalau ada pohon ditumbuhi banyak kemladean (parasit), kami harus membersihkan . Jadi, kami tidak boleh main perintah. Bukan seperti anak-anak zaman sekarang. Nonton televisi atau video, kakinya di atas meja. Kami juga diajar menghormati anak-anak gadis. Kalau ada anak laki tidak bisa menghormati anak perempuan, itu kurang ajar namanya, nggak punya toto kromo, tata krama. Kalau jalan berbarengan, anak perempuan harus jalan di depan, kami yang mengiringkannya satu-dua langkah dari belakang. Jadi, tidak boleh jejer, apalagi bergandengan. Ketika saya sekolah MULO di Magelang itu, saya sering bolak-balik ke Purworejo. Di sanalah ayah saya tinggal. Beliau menjadi wedana sejak kira-kira tahun 1920. Nah, di sana ada sekolah guru, HIK (Hollandsche Inlandsche Kweekschoo). Untuk masuk HIK dan menjadi guru di sekolah desa, harus melakukan penelitian di sekolah rendah yang disebut sekolah ongko loro. Dulu, setiap dua atau tiga desa ada sebuah sekolah desa seperti itu. Murid-murid HIK itu diwajibkan menghubungi satu sampai tiga keluarga yang anak-anaknya masih belajar di sekolah ongko loro. Mereka mewawancarai orangtua anak itu, menanyakan kemajuan sekolah anaknya. Dari wawancara ini mereka membuat laporan. Laporan itu kemudian dibahas di sekolah, didiskusikan dehgan pembimbingnya. Dan mereka, calon guru itu, mesti mengunjungi rumah anak tadi secara teratur satu atau dua kali sebulan, menanyakan perkembangan anak . itu. Malah, calon guru itu juga ikut bersama orangtua anak tadi pergi ke sekolah sang anak untuk melihat rapor. Itulah gemblengan guru di zaman dahulu, padahal hanya untuk mengajar disekolah desa sekolah desa ongko loro yang lamanya empat tahun. Suatu ketika akan diselenggarakan rapat para lurah dari 40 desa dari distrik. Ketika itulah ada tiga-empat orang anak HIK ini mendatangi ayah saya. Mereka menawarkan diri sebagai pelayan untuk menghidangkan teh dan pisang goreng dalam rapat para lurah yang akan diselenggarakan itu. Tentu saja setelah mendapat izin direktur sekolah. Dengan kata lain, ketika itu mereka sudah merasa perlu berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat sekitarnya. Waktu belajar di ELS Magelang, saya diberi buku-buku dari sekolah, gratis. Untuk setiap mata pelajaran, paling sedikit ada tiga buku pegangan. Buku berhitung, misalnya, ada berhitung dengan angka-angka, ada pula pelajaran berhitung berupa soal-soal untuk dipecahkan, dianalisa. Lalu ada buku kunci. Buku bahasa juga macam-macam. Ada tata bahasa yang tipis, singkat. Lantas ada buku bacaan. Anak-anak kelas V ke atas juga mendapat satu kamus. Saya ini sejak kecil sudah dididik menggunakan kamus. Ini penting. Setiap kali menemukan kata-kata bahasa Belanda yang tidak dimengerti, tidak usah bertanya kepada guru, tapi harus mencari sendiri di kamus. Sampai sekarang kamus itu masih saya simpan baikbaik. Sekolah dasar di zaman dulu itu tujuh tahun. Sedangkan MULO tiga tahun, setingkat dengan SMTP sekarang. Ada pula sekolah lain, sekolah kejuruan, yang setingkat dengan MULO, seperti Sekolah Teknik dan Sekolah Pertanian. Adapun AMS juga tiga tahun. Sekolah kejuruan yang setingkat dengan -AMS juga ada. Tapi pada waktu itu belum ada universitas. Yang ada hanya Rechtshoogeschool, sekolah tinggi hukum, yang sebenarnya setingkat dengan fakultas hukum di zaman sekarang. Ada pula Geneeskundige Hoogeschool (fakultas kedokteran) dan Technische Hoogeschool, sekolah tinggi teknik cikal-bakalnya ITB. Di Surabaya juga ada sekolah kedokteran yang terkenal dengan nama NIAS atau Nederlandsche Indische Artsschool. Jadi, dulu itu kita bersekolah dengan buku lengkap. Dengan begitu, guru tidak perlu mengajar, tinggal memerintahkan kepada murid, baca buku anu, dari halaman sekian sampai sekian. Setiap guru untuk setiap mata pelajaran, cara mengajarnya begitu. Buat besok ini, ini, ini. Demikian pula di SD. Besok baca ini dan ini lalu bikin soal ini, dan gambarlah soal sekian. Sampai pada hari yang ditentukan, para murid dipanggil satu per satu di depan kelas. "Slamet maju." Lalu ditanya bacaan saya, artinya belajar saya dikontrol. Membaca atau tidak, mengerti atau tidak. Dan itu di depan kelas. Mau tidak mau, kalau memang belum selesai membaca, harus jujur, kan? Artinya, kami dites. Kalau tidak bisa, panggil murid yang lain. Dari 40 menit jam pelajaran, mungkin 35 menit untuk tes di depan kelas seperti itu. Yang lima menit sisanya untuk pekerjaan yang lain. Misalnya guru memerintahkan membuka buku anu halaman sekian. Di baris sekian tambahkan kalimat ini, tambahkan catatan ini-itu. Jadi, buku pelajaran itu penuh dengan catatan dari guru. Kalau sudah selesai, kerjakan soal halaman sekian sampai sekian buat esok hari. Jadi, kita selalu sibuk, dilatih aktif membaca pelajaran sendiri, harus memahami pelajaran sendiri, dan memperbaiki kesalahan sendiri. Begitulah dari hari ke hari. Tes-tes juga dilakukan di depan kawan-kawan sendiri. Kalau tidak belajar, dengan sendirinya ketahuan. Dan tentu malu, kan? Tes ulangan juga dilakukan mendadak, tidak pernah dikasih tahu sebelumnya. Pagi-pagi, baru saja duduk di kelas, tahu-tahu ulangan. Guru menulis soal-soal ulangan di papan tulis. Cara seperti itu mimgkin untuk menghindari kebocoran. Dan para murid tidak bisa mempersiapkan sontekan. Ya, kan? Dan selama kita mengerjakan pekerjaan ulangan, guru teruuuuuus saja keliling kelas, mengawasi. Jadi, mau nyontek dari buku juga tidak mungkin. Mau tidak mau kita harus bekerja dengan otak sendiri, terpaksa jujur. Hingga selama 19 tahun -- dari SD sampai SMTA -- harus jujur terus-menerus. Pekerjaan para murid yang sudah diperiksa dan diperbaiki kesalahannya, dan dinilai, dikembalikan kepada murid. Jadi, saya tahu bagaimana saya harus memperbaiki pekerjaan saya. Dan tahu nilainya. Nah, inilah yang saya sebut dengan an open educational system, semua serba terbuka. Saya kira yang membuat pendidikan jadi bagus, faktornya yang terpenting ialah pendidikan guru yang baik. Guru dipilih dan terpilih. Bukan asal saja, bukan hanya dengan penataran selama enam bulan seperti sekarang. Ini cerita lain, mengenai sistem ujian. Waktu belajar AMS, Algemeene Middelbaare School di Yogya, pada tahun 1926, saya harus menghadapi ujian tertulis ilmu eksakta. Kalau nilainya cukup, tidak usah mengikuti ujian lisan. Kalau nilainya di bawah lima, harus mengikuti ujian lisan. Tapi untuk mata pelajaran bahasa, khusus bahasa, dua-duanya harus diikuti, tertulis dan lisan. Nah, kebetulan saya bebas dari ujian eksakta lisan. Saya diuji mata pelajaran bahasa Inggris, Belanda, Jerman. Pada waktu ujian bahasa Belanda, kebetulan yang menguji guru saya sendiri. Dia itu pastor. Ujian bahasa Inggris, yang menguji juga guru saya sendiri ditemani seorang domine Protestan. Ketika ujian bahasa Jerman, saya tidak tahu siapa yang menguji. Tapi soal pendidikan zaman dulu itu memang ada sesuatu yang sangat berkesan pada diri saya. Misalnya begini. AMS itu setingkat dengan SMA sekarang. Tapi ejaannya terbalik. Artinya, sistem pendidikannya juga terbalik, dan hasilnya? Juga terbalik. Ia-ha-ha .... Lihatlah misalnya pergerakan atau kegiatan mahasiswa zaman sekarang ini. Mereka ribut soal kebebasan. Di zaman dulu yang ditekankan itu selalu tugas. Selesaikan dulu tugasmu, baru bicara soal kebebasan. Dulu memang tidak ada demonstrasi mahasiswa, tapi ada pergerakan yang lebih hebat dari demonstrasi mahasiswa, yaitu pergerakan nasional yang hebat. Terdiri dari para mahasiswa yang pendidikannya matang. Tapi sekarang? Ha, pendidikannya saja seperti kacang goreng, digoreng setengah matang, tapi sudah minta kebebasan. Ya, jadinya nggak keruan. Dalam sejaran kan ada Indonesische Studente Klub. Itu adalah kelompok studi mahasiswa yang matang-matang dan akhirnya melahirkan para pimpinan nasional. Kalau kita dididik secara jujur dan terbuka dan matang, maka dalam hati kita akan tumbuh rasa harga diri yang tidak bisa ditawar. Lalu timbul kesadaran bahwa sebenarnya kita sama atau sejajar dengan si Belanda itu. Bedanya, mereka memegang kekuasaan, kita tidak. Tapi kita menyadari hal itu. Ini yang terpenting. Karena itu, kami bikin perkumpulan ekstrauniversiter. Kampus itu kan tempat menimba ilmu. Lalu ilmunya didiskusikan, diolah di organisasi ekstrauniversiter. Di situ kami mendiskusikan politik, ekonomi, ilmu, agama. Semua kami diskusikan. Jadi, ISC itu tempat diskusi orang-orang yang pikirannya sudah terlatih. Dan dari situlah lahir kesadaran nasional. Semua pergerakan nasional, dulu itu bibitnya dari dalam diskusi di organisasi ekstrauniversiter. Lucunya, waktu Soekarno diadili di Bandung pada tahun 1926, yang memprotes malah para mahaguru bangsa Belanda di Rechtshoogeschool karena pengadilan itu mereka anggap tidak sesuai dengan kebebasan umum. Padahal, mereka sendiri adalah pegawai pemerintah Hindia Belanda. Dan sama-sama orang Belanda. Yang mengadili orang Belanda, yang memprotes orang Belanda. Coba kalau protes seperti itu di zaman sekarang. Yang paling lucu, atau mungkin malah mengagumkan, adalah pemilihan lurah. Dulu, kalau ada pemilihan lurah, semua pejabat, seperti asisten wedana dan wedana, hadir di pekarangan balai desa tempat pemilihan itu. Tinggal pukul kentongan, semua hadir. Kulo nuwun, permisi. Nggak pakai pagar betis segala, datang ya datang saja. Suara kentongan tiga kali, orang datang. Disiplin waktu itu boleh dibilang sebagai "disiplin kentongan". Bukan disiplin Kopkamtib. Kini giliran pak carik membacakan namanama yang berhak memilih. Semua diabsen. Dizaman dulu, wanita juga sudah punya hak pilih. Mbok Sonto atau Mbok Kromo boleh memilih. Suami atau istri, dua-duanya berhak memilih lurah pilihannya. Kalau ada yang tidak datang, lantas dicatat. Barangkali mereka terlambat, dan bisa melakukan pemilihan susulan setelah melapor. Setelah itu ditanya siapa yang mau jadi caloh lurah. Jagonya mana. Maka, keluarlah satu per satu. Karyo, kono ngadeg kono (Karyo, berdirilah di sana). Lalu kentongan dipukul lagi, tong tong tong. Dipanggil calon lainnya, terus begitu. Yang memilih pun dipanggil satu per satu, ditanya memilih siapa. Mbok Yanti milih sopo? Yang dipanggil lalu menjawab, misalnya memilih Pak Sonto. Ketika itu sudah ada keberanian seperti itu. Keberanian menentukan pilihannya sendiri. Biar ada maling, mereka ya tetep saja berani. Kalau ada calon lurah yang marah atau mengomentari macam-macam karena tidak dipilih, dia malah dikeploki. Jadi, pemilihan itu tidak ada rahasianya seperti sekarang. Sekarang ini karena ada rahasianya, terus ditutup-tutupi. Ya, to? Dalam penghitungan suara pun juga tidak ada rahasia. Semuanya terbuka dan jujur. Si Sonto dapat suara berapa. Si Karyo dapat suara sekian. Begitu. Jadi, everything is open, tidak ada yang diumpetumpetin. Sekarang cerita di zaman Jepang Waktu baru tiga minggu pertama Jepang di Indonesia, orang-orang paling gembira atas kedatangan "saudara tua" itu. Mereka boleh nyanyi Indonesia Raya, boleh ngerek bendera merah putih. Tapi bagi saya, sejak awal mula saya sudah tidak percaya kepada Jepang. Mereka masuk ke Indonesia, semuanya dirusak. Sebelum bala tentara Dai Nippon itu mendarat, jauh sebelumnya, sudah banyak orang Jepang datang kemari membuka toko-toko. Mereka itu sebenarnya mata-mata. Saya sudah sejak pertama tahu bahwa mereka itu intelijen militer Jepang. Misalnya di Purworejo, di mana bapak saya jadi wedana, ada orang Jepang pemilik toko. Suatu hari dia main judi dengan Cina, dan kalah. Jepang itu pulang, ambil duit, main lagi dan kalah lagi. Beberapa kali pokoknya kalah terus. Akhirnya ia datang lagi dengan seragam militer, lalu main lagi. Apa boleh buat, judinya terpaksa dimenangkan. Yang cerita begini adalah Cina itu, dia bercerita kepada ayah saya. Jepang itu memang brengsek. Mereka menerapkan policy of stupidization (kebijaksanaan pembodohan) -- yang celakanya terus bablas sampai sekarang. Kenapa di zaman merdeka banyak orang pada nyatut itu kan diajari oleh bangsa Jepang. Di sekitar Pasar Senen dulu, sejak sekitar 10 bulan Jepang di sini, sering ada orang-orang diajari merampok toko. Mereka malah dikawal dua-tiga tentara Jepang. Ketika itu gaji juga turun. Gaji saya turun dari sekitar 800 gulden di zaman Belanda menjadi Rp 200 zaman Jepang. Padahal, harga-harga semakin naik. Waktu gaji saya Rp 200 itu, harga dua buah pisang Ambon sudah Rp 10. Ketika bertugas jadi guru, saya bagi para staf atau pegawai saya menjadi tiga kelompok. Mereka bertugas bergantian. Kalau sedang tidak bertugas, saya suruh saja mereka kerja nyatut alias ngobyek di pasar. Soalnya, gaji kecil sedang harga barang-barang mahal. Orang perlu cari tambahan uang. Jadi, saya yang ngajari nyatut. Dan sekarang kebablasen, keterusan. Bohong Nggak, Ngapusi Bisa SAYA ini orang yang tidak punya hobi. Saya tidak punya kesukaan apa pun juga. Saya hanya hidup sesaat untuk saat ini juga. Pekerjaan yang ada saat ini ya itu yang saya kerjakan. Selesai. Hobi saya cuma ngeledek orang. Olahraga saya tidak memerlukannya, Iha yang saya kerjakan tiap hari itu sudah olahraga. Sepanjang hari saya tidak pernah duduk ngantuk, terus bergerak saja, lantas buat apa olahraga? Waktu mengajar, misalnya, saya tidak pernah duduk diam di depan kelas. Tapi selama dua jam mengajar itu saya berdiri, lalu jalan-jalan ke sana kemari. Tidak duduk di kursi, anguk-anguk. Di rumah saya juga begitu. Tidak pernah diam. Ada saja yang saya kerjakan. Bukan cuma membaca, menulis. Kadang-kadang naik pohon. Saya sampai empat-lima tahun yang lalu masih suka membetulkan genting sendiri. Itu, Iho, kalau ada genting yang bocor. Soal bacaan juga begitu. Apa yang ketemu saya baca. Ada yang cemantel, ada yang bablas. Tidak ada yang khusus. Tapi saya tidak suka novel. Buat apa baca novel. Dari dulu mula saya nggak pernah pegang novel. Lebih baik nonton wayang semalam suntuk daripada baca novel. Dulu saya suka wayang. Wayang kulit, wayang orang. Tapi kalau lagi nggak mau ya tidur saja. Pendek kata, saya hidup seenaknya sendiri. Tidak terikat pada apa pun juga. Kepada anak-anak saya memang saya terapkan apa yang saya dapat dulu. Saya ajari anak-anak untuk mengerjakan apa-apanya sendiri. Anak saya ada tujuh. Yang tertua, perempuan, Sri Suprapti, sekarang psikolog, dosen UI. Yang nomor dua, juga perempuan, namanya Bun Sri Umaryati. Dia juga dosen UI, lulusan sastra dan juga biologi. Yang ketiga, laki-laki, sekarang dokter ahli penyakit dalam, namanya Sutomo. Kini dia lagi belajar di Inggris. Nomor tiga sampai tujuh semuanya laki-laki. Yang nomor empat, Urip namanya. Dia ini dokter kesasar. Sudah lulus dokter, tapi lebih senang mempelajari matematika dan komputer, dan main piano. Dulu dia diterima di ITB dan Kedokteran UI. Karena dia senang piano sejak kecil, dia pilih di Jakarta saja, biar bisa main. Entah dari mana dia punya bakat seni. Saya sendiri tidak senang seni. Nah, anak yang nomor lima, Suryono, juga dokter, ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Nomor enam, Suryadi, dosen UI juga, dari matematika dan komputer, sekarang lagi di Kanada. Nomor tujuh, Sumantri, juga dari matematika dan komputer, dosen UI. Sedangkan cucu saya 13 orang. Istri saya, Soeprapti, meninggal pada tahun 1983, dia pernah di HBS dan KW3, kalau sekarang Perpustakaan Nasional. Kakek saya namanya Atmowidjojo, sedang ayah saya, Surodiputro. Kedua-duanya wedana. Sampai tahun 1987, saya masih menyopir mobil VW saya sendiri. Sekarang tidak lagi. Pada tahun 1987 itu, suatu hari, saya tiba-tiba melihat tanda-tanda lalu lintas di jalan kok seperti bergoyang, kabur. Ternyata, mata saya katarak. Lantas saya setop tidak lagi nyopir. Sekarang kedua mata saya sudah dioperasi, kataraknya sudah diangkat. Sekarang saya mesti pakai kaca mata plus sepuluh dioptri. Biarpun tebal, ya tetap tidak berat, Iha wong sekarang kan tidak lagi kaca gelas, tapi dari plastik. Saya ini memang paling suka sama warna putih. Mobil saya, VW, dua-duanya putih. Pakaian saya seluruhnya putih. Orang ribut. Wong begitu saja kok ribut. Sebetulnya ada alasan kenapa saya suka warna putih. Kan kalau warna lain, biru umpamanya, sebentar saja sudah njeblug. Warna putih kan tidak. Awet. Kalau malam, kan kelihatan jelas, putih, sementara itu kalau siang tidak panas, karena putih ini memantulkan sinar. Buat apa di Indonesia pakai macam-macam cuma nyumuk-nyumuki. Kegiatan saya sehari-hari tidak bisa ditentukan. Kadang-kadang saya tidur sampai jam sepuluh pagi. Kadang jam lima pagi saya sudah sibuk. Kecuali dulu waktu mengajar, jam tujuh pergi, jam satu pulang. Saya cuma dua bersaudara, tapi hampir tidak pernah kumpul dengan adik saya. Kami sekolahnya lain, dia di kota lain, sedang saya bersama kakek. Kadang dia libur saya tidak libur, saya libur dia tidak. Jadi, jarang ketemu. Adik saya itu namanya Urip, dia Insinyur perairan di Bandung. Saya paling suka ngeledek orang. If there is somebody who has a dirty minds it's me. Saya ini orang realistis seratus persen. Asal-usul leluhur saya tidak pernah tahu. Saya sendiri nggak pernah tahu, bapak tidak pernah cerita soal asal-usul leluhur. Cuma yang saya ketahui semua mereka punya gelar raden. Paling banter saya hanya tahu sampai kakek saja, namanya Atmowidjojo. Saya ini Islam KTP. Dulu itu disuruh belajar ngaji. Gurunya dulu hanya bisa membaca tulisan Arab Quran, ya muridnya tentu saja nggak ngerti. Belum ada terjemahan Quran seperti sekarang. Jepang, itu brengsek. Di zaman itu gaji saya diturunkan. Gaji saya turun dari sekitar 800 rupiah pada zaman Belanda menjadi 200 rupiah saja. Padahal, harga-harga semakin naik. Waktu gaji saya 200 itu harga 2 butir pisang ambon sudah 10 rupiah. Maka, waktu dinas di sekolah, saya bagi para staf atau pegawai saya menjadi 3 shift, supaya kalau sedang tidak dinas mereka bisa nyatut. Soalnya, gaji kecil apa-apa mahal. Orang perlu cari tambahan uang. Saya mendirikan Fakultas Psikologi pada tahun 1953, permulaan. Oleh karena pada saat itu saya menemukan seorang insinyur sipil dan sekaligus doktorandus psikologi. Beliau itu, orang Belanda, memimpin bagian kecil dari pendidikan dan pengajaran yang menangani pendidikan sekolah-sekolah teknik setelah SD dan SMP. Di dalam kantornya bekerja pula sejumlah orang Indonesia lulusan macam-macam sekolah. Ada yang lulusan SMA zaman Jepang, NICA, ada yang lulusan pendidikan guru. Dengan bekal inilah selangkah demi selangkah saya membangun dan mendidik orang-orang dalam lapangan psikologi. Baru pada 1961, pendidikan ini menjadi Fakultas Psikologi. Sebelumnya tidak pakai nama fakultas, sebab saya ini punya takhayul. Takhayul saya adalah bahwa orang tidak boleh bohong. Nah, kan untuk fakultas diperlukan berbagai syarat, misalnya buku-buku dan jumlah guru yang cukup. Pada suatu ketika saya jadi Ketua KPPN, Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional. Waktu itu Menteri Pendidikannya orang CSIS, Daoed Joesoef. Ketika itu ada kontroversi soal pendidikan antara orang-orang CSIS dan kelompok masyarakat lainnya. Saya diminta mendamaikan antara dua kelompok ini. Saya terima itu, dan saya ajukan dua konsep: Martiks Standardisasi Dalam Rangka Pembentukan Fakultas, dan konsep Matriks Paket Perundang-undangan Pendidikan Nasional. Konsep Matriks Pembentukan Fakultas itu adalah bagian dari Konsep Perundang-udangan ini. Akhirnya, konflik bisa diatasi, tapi hasil KPPN masuk lemari es. Saya heran, lho kalau saya salah, tell me where is my mistake? Tentang KPPN sendiri, memang sudah tidak ada lagi, karena ia hanya bekerja selama 18 bulan. Hasilnya dipasrahkan pada Menteri. Sesudah melaksanakan tugasnya, komisi hanya diberi terima kasih, dan bubar. Hasil KPPN sampai sekarang memang tidak nyata dalam pelaksanaan pendidikan. Padahal, kedua matriks itu sudah lama sekali saya siapkan, bahkan sudah sejak tahun 1954. Waktu itu konsepnya disebut sebagai unit school blue print. Sejak 1965, ketika saya jadi anggota Majelis Pendidikan Pancasila Nasional (Mapenas), blue print itu pun telah saya ajukan, tapi tidak dipakai Mapenas, sebab saya memang orang yang kontroversial. Maksud saya dengan usulan itu, agar industri pendidikan bisa jadi nomor empat (4), setelah pangan, papan, dan sandang. Waktu itu ia sudah disetujui Presiden Soekarno, dan sempat ditandatangani. Tapi sejak Supersemar semua itu menguap. Dari konsep saya itu antara lain bisa dikalkulasikan bahwa untuk keperluan pendidikan, misalnya, diperlukan kayu sebanyak 200 hektar untuk membuat pensil. Tentu perhitungan itu bisa salah, tapi kita sudah punya dasar untuk menghitungnya. Sistem menghitungnya sudah ditetapkan, termasuk juga buat menghitung segala hal yang berkaitan dengan pendidikan. Ini semua hasil upaya Mapenas yang sudah dikubur tanpa upacara oleh Orde Baru, arsip-arsipnya juga hilang. Waktu jadi Ketua KPPN saya pernah minta arsip matriks itu, tapi tidak pernah ada jawabannya. Mengapa perlu menghitung anggaran pendidikan seperti itu? Sebab, saya memang dididik di rumah untuk selalu berhemat. Kami tidak pernah boleh utang, tidak boleh kredit-kreditan. Di sekolah juga hemat. Tiap waktu-waktu tertentu selalu ada pemeriksaan pensil, grip, dan sopaan. Sopaan itu penyambung pensil dari kuningan supaya pensil yang sudah pendek masih tetap bisa dipakai sampai habis. Itu kan menghemat. Saya pernah usul agar tiap unit sekolah harus didasarkan pada undang-undang pelaksanaan. Jadi, ada UU SD, ada UU SMP, ada UU SMA, dan ada undang-undang perguruan tinggi. Ada undang-undang sekolah pertanian. Kenapa perlu begitu. Yang sekarang terjadi kan menteri ganti peraturan ganti. Dirjen ganti peraturan ganti. Kepala Kanwil ganti peraturan ganti. Guru ganti, buku ganti. Segala macam gonta-ganti. Lha kapan mendidik yang benar kalau bolak-balik ganti? Nah, untuk itu perlu undang-undang, supaya tidak gonta-ganti. Saya ini hanya punya satu sikap, tidak bisa bohong. Ngapusi bisa, tapi bohong nggak bisa. Satu contoh, waktu ujian masuk di Universitas Indonesia pemeriksaan manual akan diubah menjadi pemeriksaan via komputer, banyak orang datang dari luar menanyakan komputer mana yang mau dipakai. Saya jawab, komputer di Tokyo. Lho kenapa kok bukan komputer BNI saja? Lha, itu komputer BNI itu baru bisa untuk perdagangan. Untuk ujian yang bisa baru Tokyo. Jadi, nanti kita kirim ke sana. Mendengar itu pegawai-pegawai saya bingung. Lalu mereka tanya, "Pak Slamet kenapa bilang begitu?" Begini, Mas, kalau saya bilang komputer BNI yang saya pakai, ini orang nanti berkerumun di sana. Kalau sekarang mereka mau ngerumuni komputer, harus pergi ke Tokyo. Untuk apa mereka ngerumuni? Ya, cari obyekan. Saya ini orang lapangan, nggak bisa ditipu. Tahu nggak cortas? Cortas itu bocor ke atas. Saya ambil contoh, tahun 1953 atau 1954, ada perintah asrama Daksinapati harus segera diisi mahasiswa. Padahal, persediaan air belum ada, dan dapurnya belum selesai. Anehnya, perintah ini tidak lewat diri saya. Weng . . ., begitu saja. Ketika saya mendengar perintah itu, mahasiswa sudah masuk di sana dua hari. Lho, kok saya nggak dikasih tahu. Lalu saya usahakan membuat sumur. Saya minta kepada DPU sumur artetis. Harga dan ongkos membuat sumur pada waktu itu biasanya sekitar 75 ribu rupiah, lama pekerjaan 3 bulan, dan garansi 3 tahun. Saya tahu pada waktu itu yang bisa membikin pompa artetis hanya Grines (?). Saya tanya ke dia, ongkosnya 60 ribu rupiah, pekerjaan 3 minggu, garansi 3 tahun. Saya minta garansi 5 tahun. Bisa. Maka, saya pergi ke P dan K untuk minta uang cash 60 ribu. Nggak bisa, kata orang P dan K. Kalau begitu, tulis di sini bahwa permintaan saya ditolak, tanda tangani di sini. Kalau permintaan saya tidak diberi, kata saya, atau Saudara tidak mau tanda tangan karena tidak bisa mengabulkan, saya tidak akan pergi dari sini. Sebab, di sana sudah ada 300-an mahasiswa, belum ada air. Kalau nanti ada yang sakit tifus saya yang salah, to? Padahal, Saudara yang memerintahkan asrama harus segera dipakai. Saya akhirnya mendapatkan uang itu. Lalu Grines saya panggil. Selesailah 3 minggu, air mengalir. Eh, dua bulan kemudian ada yang menelepon. Ia bertanya: itu di Daksinapati ada sumur bor tanpa prosedur DPU, pasti ada yang korupsi. Kita akan datang di UI untuk memeriksa korupsi ini, kata telepon. Oke, saya bilang. Biasanya yang mengerjakan itu semua di UI kan pegawai tertentu, namanya Pegawai Rumah Tangga. Sebelum mereka datang memeriksa, saya bilang kepada Pegawai Rumah Tangga agar tanda tangan saya ditaruh di bawah kontrak (dengan Grines). Kemudian surat bukti dari P dan K bahwa saya menerima duit enam puluh ribu, dan yang paling akhir kuitansi dari Grines agar disertakan. Datanglah mereka. Saya dipidatoi tentang jeleknya korupsi. Sudah itu, saya bilang, mana kopi jawaban surat saya untuk menanyakan soal pemasangan pompa itu? Ada ternyata. Isinya kami baca bersama-sama: tujuh puluh lima ribu, 3 bulan, garansi 3 tahun. Lalu saya bilang, coba lihat itu kuitansi dari Grines berapa? Ini enam puluh ribu. Jadi, siapa yang korupsi -- saya atau P dan K. Nah, andai kata saya pegang yang 75 ribu, yang 15 ribu itu ke mana? Pasti tidak dalam tangan saya, to? Jadi, bocor, to. Lha bocornya ke mana kalau tidak ke atas? Yang juga sangat mengesankan saya ialah, orang-orang didikan zaman dulu itu jujur. Saya punya pengalaman mengenai hal itu. Pada 1937 sampai akhir 1938, saya menjadi direktur rumah sakit jiwa di Medan. Ketika itu saya mesti sering ke luar kota membeli beras. Dulu kita banyak mengimpor beras dari Siam yang banyak mengandung kapur. Jadi, saya suka ke Kabanjahe yang jaraknya sekitar 90 kilometer dari Medan, untuk membeli beras tuton, artinya beras tumbuk. Tapi beras seperti itu kadang-kadang ada, kadang-kadang tidak. Kalau tidak ada, saya lantas mendatangi salah seorang pedagang di desa. "Bapak bersedia menumbuk padi sekitar 100 ton? Kalau bersedia saya akan bayar harga berasnya," kata saya. Ketika itu harga beras kira-kira 15 gulden sekilo. Jadi, saya membayar harga berasnya ditambah ongkos menumbuk dua setengah gulden. Pedagang itu mau. Tiga-empat hari kemudian sebuah bis berhenti di depan rumah saya. Sopirnya sudah tua. Dia bertanya apa benar ini rumah saya. Lalu ia menurunkan 100 ton beras, dan ditimbang lagi di depan saya. Ketika itu kakak saya bermaksud memberi uang tambahan buat pak sopir, tapi dia tidak mau. "Saya kan sudah dibayar," katanya. Nah, itulah kejujuran orang zaman dulu. Kalau orang zaman sekarang, coba, bagaimana...? Ini cerita lain. Waktu masih kuliah dulu, saya tinggal dekat stasiun Jatinegara, Jakarta. Setiap hari, pergi ke mana-mana ketika itu harus naik sepeda. Kalau masuk rumah, sepeda itu saya tinggal di pendopo, dan tidak dikunci. Tapi ya ndak ilang, itu. Bahkan kalau malam pun sepeda itu saya tinggal di sana, toh tidak hilang juga. Memang dulu juga ada maling, ada copet, tapi tidak terlalu dominan. Masyarakat ketika itu kebanyakan terdiri dari orang-orang yang jujur, orang-orang yang mengikuti disiplin. Bahkan masyarakat yang kurang mampu pun bersikap seperti itu. Kalau ada yang bertanya, mengapa sekarang kok tidak begitu, jawabnya ada. Begini. Suatu ketika ada diskusi di sebuah lembaga tinggi mengenai Pancasila. Katanya, Pancasila itu peninggalan nenek moyang kita, yang mengandung nilai-nilai luhur. Tapi menapa kita dulu bisa begitu, dan sekarang jadi begini? Jawaban saya: "Sekarang ini sontoloyo. Dulu, biarpun masih zaman kolonial, kita sudah melaksanakan Pancasila, dan sekarang kita membicarakan Pancasila. Ha-ha-ha ...." Soal pendidikan, menurut saya, sebetulnya dalam abad kedua puluh ini pembagian paspal-sosbud itu salah. Sebab, banyak sekali ilmu sosial mau tidak mau harus memakai matematika juga. Lalu banyak pelajaran yang sebenarnya tidak penting, sifatnya cuma tambahan. Ini ada lelucon. Sekitar tahun 40-an, tiga fakultas yang ada pada itu waktu. Fakultas Hukum, Kedokteran, dan Teknik (ITB sekarang), rapat bersama-sama. Saya ikut rapat sebagai tenaga pengajar. Rapat memasalahkan dropout-nya yang 35 persen. Maka, lalu ketentuan, penerimaan mahasiswa baru harus melewati ujian. Jadi, ketentuan pertama, semua calon mahasiswa harus disaring lewat ujian masuk. Ketentuan kedua, dalam abad kedua puluh pembagian sosial-budaya dan ilmu pasti dan ilmu pengetahuan alam itu tidak bisa dipertahankan lagi. Sebab, pada saat itu banyak sekali ilmu sosial yang sudah harus menggunakan matematika. Ekonomimetri, Sosiometri, Psikometri, bahkan Kriminologi sudah mempergunakan matematika. Ini diputuskan kira-kira tahun 1940 atau tahun 1941. Lha, keburu Jepang masuk. Jadi, orang-orang Indonesia pada zaman itu tidak tahu tentang keputusan ini. Waktu tahun 1950-an untuk pertama kali di Gedung Proklamasi ada rapat mengenai SMA, hadir kurang lebih 50 orang. Saya majukan soal pemisahan jurusan itu. Tapi saya tidak ditanya kenapa, apa dasarnya mengajukan usul itu. Tidak. Yang dilakukan adalah pemungutan suara. Hasilnya, 49 tidak setuju, satu setuju yaitu saya. Selesai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini