MENHANKAM Benny Moerdani, Rabu malam pekan lalu, memenuhi undangan "dengar pendapat", bukan di DPR, tetapi di kantor Ekapraya Film di Pondok Indah, Jakarta. Dalam menyampaikan pendapatnya, yang didengar wakil-wakil insan film, mula-mula Pak Benny bicara kurang keras. "Pak Benny, suaranya keras dikit dong," begitu protes Christine Hakim. "Suara saya memang berat. Itulah seninya," balas yang diprotes. Acara yang membedah lika-liku perfilman nasional ini berlangsung santai. Semuanya duduk lesehan di tikar. Pada awalnya, Sutradara Eros Djarot sebagai pengundang mengatakan bahwa Benny Moerdani datang bukan sebagai menteri, tetapi cendekiawan. "Sejak kapan saya jadi cendekiawan?" sahut Pak Benny. "Ya, sejak malam inilah kita wisuda jadi cendekiawan," jawab Eros kalem, yang disambut dengan gelak-tawa undangan lain. Dikepung banyak orang film -- ada Sophan Sophian, Nurul Arifin, Slamet Rahardjo, dan masih banyak lagi -- bekas Pangab ini terus terang mengatakan jarang menonton film Indonesia. Ada dua film Indonesia yang lekat dalam ingatannya, yakni November 1828 dan Tjoet Nja' Dhien. "Itu film bagus dan masing-masing saya menontonnya tiga kali," katanya. Begitu lekatnya dengan film Tjoet Nja' Dhien, sampai-sampai setiap ketemu Christine, Pak Benny memanggilnya Tjoet Nja' dan memanggil Slamet Rahardjo dengan Teuku Umar. Diskusi film yang serius tapi santai itu berakhir pukul 22.30 WIB -- sayang, isinya bukan untuk konsumsi umum. Ketika Pak Benny beranjak dari tempat lesehan, buru-buru Christine mendekat. Ia menyodorkan map dan pulpen. Bukan untuk menandatangani kwitansi honor, melainkan untuk mengisi buku tamu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini