Sebuah TK Sehari Penuh Alumni ITB menyelenggarakan TK yang berorientasi pada pendidikan akademik. Prof. Engkoswara mengkritik. GUGUN penasaran, ingin membuktikan penuturan gurunya bahwa tanaman kedelai adalah asal mula tempe. Ia pikir, kedelai dari tempe berarti bisa juga ditanam. Maka, keesokannya, Gugun, 5 tahun, membelah tempe yang ia ambil dari lemari makan dan memilah-milah kedelainya lalu ia tanam. "Mengapa kedelai tempe tidak mau tumbuh?" tanya Gugun kepada gurunya setelah ia tak berhasil memperoleh tanaman kedelai. Rasa ingin tahunya tidak sulit mendapatkan jawaban. Karena Gugun bersekolah di taman kanak-kanak model baru yang didukung oleh PAS (Pembinaan Anak-anak Salman), Bandung. Sehingga, daya serap otaknya yang memang jauh di atas rata-rata teman sebayanya itu bisa terpuaskan. "Ia akhirnya paham, setelah kami menjelaskan alasan-alasannya dan memberikan contoh," kata Adityo, mahasiswa Seni Rupa ITB yang menjadi salah seorang guru di situ. TK Salman, mulai diselenggarakan oleh beberapa mahasiswa ITB sejak Agustus silam, berlokasi di Awiligar, kawasan agak membukit di Bandung Utara. Sudah ada 22 orang anak didik di situ, yang dibina dalam sebuah sistem pengajaran baru, di luar kebiasaan TK umumnya. "Ini baru merupakan pilot project," kata Lendo Novo, alumnus Teknik Perminyakan ITB, yang menjadi pengelolanya. "Pada mulanya kami berkeinginan agar para mahasiswa memiliki kegiatan yang mengakar di bidang pendidikan." Maka, lahirlah TK eksperimental itu, yang menempati sebuah ruangan kelas 3 x 5 meter hasil sumbangan seorang simpatisan. Seperti laiknya TK lain, di luar kelas ada arena bermain. Tersedia ayunan, enjot-enjotan, dan tempat meluncur. Yang membuatnya istimewa adalah karena anak-anak yang lulus dari situ diupayakan sudah bisa salat (tentu termasuk pembacaan Al Fatihah dan beberapa surat seperti Al Ahad), membaca beberapa doa (misalnya doa menjelang makan), menulis, dan mengerti sedikit ilmu pengetahuan umum -- misalnya tentang proses pembuatan tempe itu atau tentang asal mula terjadinya angin. Karena target itu, TK Salman menggunakan sistem full day school, yakni dimulai pukul 08.00 sampai 14.00 lewat tengah hari. Istirahat diberikan dua kali, pukul 09.30-10.00 (untuk makan) dan 1.15-12.45 (untuk salat). Tiga buah personal computer sudah dipasang sebagai pelengkap sarana pengajaran, di samping sejumlah buku (hasil sumbangan distributor buku anak-anak CV Pioneer) di perpustakaan yang menempati ruangan tersendiri. Tiga bulan pertama adalah tahap penyesuaian belajar, dengan materi yang diajarkan meliputi akidah Islamiyah dan ahlak. Proses sosialisasi juga berlangsung selama tahap awal itu. Tiga bulan berikutnya adalah pelajaran salat, baca doa, membaca dan menulis, menggambar, dan berhitung. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian pengetahuan menyangkut peristiwa alam, aerodinamika (dengan contoh membuat kapal terbang dari kertas), dan rekayasa (misalnya terjadinya tempe itu). Adik-adik kelelahan dengan beban waktu dan jenis informasi itu? Mario, 5 tahun, mengangguk. Tapi Indri, gadis mungil usia 5 tahun, tidak merasa berat setengah hari penuh di sekolah. Apalagi Gugun, yang mempertanyakan tempe dan kedelai tadi, tak mengeluh. Ketika pulang ke rumah, mereka ternyata juga tidak bisa sepenuhnya santai. Sebab, ada PR menghitung, menggambar, dan menulis, sebagai materi latihan di rumah. Ini pun, kabarnya, akan ditambah lagi dengan pengajian, sehingga anak-anak itu praktis berada di sekolah sampai tiba waktu salat asar (15.30). Untuk memperoleh pendidikan lengkap itu, setiap anak wajib membayar iuran Rp 6 ribu per bulan. Dengan uang itu, mereka juga memperoleh seragam dan tas sekolah. Tentu saja Lendo, sebagai pengelola, mesti bekerja keras mengatur biaya operasionalnya. "Untungnya, ada teman-teman ITB yang bersedia bekerja tanpa dibayar," katanya. Persoalannya tentu bukan cuma beban biaya. Tapi lebih berkaitan dengan kemampuan anak-anak menyerap informasi sebanyak itu dan daya tahan mereka selama berjam-jam berada di sekolah. Kebosanan dan kelelahan bisa menyergap mereka. Ketua Lembaga Penelitian IKIP Bandung, Prof. Dr. Engkoswara M.Ed., mengatakan, "Pendidikan yang diberikan kepada anak-anak sebaiknya yang sesuai dengan kemampuan mereka. Jangan dibebani yang terlalu berat." Maka, Prof. Engkoswara menolak pelaksanaan full day school untuk TK. "Kalau dalam jangka waktu sepanjang itu diisi dengan kegiatan bermain, tak jadi soal," ujarnya. "Tapi kalau sekolah penuh, saya kurang setuju. TK adalah masa penyesuaian dari studi yang sesungguhnya." Hasil dari sebuah penelitiannya mengungkapkan, anak-anak jenius cuma 2,5 persen. Sementara yang kurang rata-rata 2 persen. Jadi, yang berkembang secara alamiah ada 95,5 persen. Untuk melaksanakan pendidikan yang mayoritas itu, Prof. Engkoswara masih percaya pada metode yang selama ini berlaku. Kepada anak-anak yang berada pada tahap pertumbuhan awal tersebut, menurut Prof. Engkoswara, tidak tepat kalau diberikan pendidikan yang berorientasi akademik. Kepada mereka, katanya, "berikanlah hal-hal yang menyenangkan. Metodenya, ya, bermain, bernyanyi, dan hal-hal yang menyenangkan lainnya." Untuk mendukung metode yang diyakininya itu, Prof. Engkoswara Ahad pekan lalu menyelenggarakan pameran Prototipe Alat Peraga Pendidikan Taman Kanan-Kanak di Grand Park Hotel, Cisarua, Bogor. Lendo, 27 tahun, tidak setuju kalau proyek rintisan ini dianggap sebagai pemaksaan, memeras energi anak. "Ini justru mengembangkan kemampuan anak," katanya. "Kami pun di sini tak pernah memaksakan. Anak-anak itu boleh sambil main," kata Lendo. Adityo menimpali, "Kondisi paling jelek bagi seorang anak yang lelah adalah tidur di sini." Laporan Biro Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini