Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Tiga jurus ui ke tahun 2010

Universitas indonesia merayakan hut-nya yang ke-40 bobot intelektual mahasiswa dikritik pelbagai pihak.dianggap kurang peka terhadap masalah sosial. ui sibuk mencari dana tambahan untuk lebih mandiri

10 Februari 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga Jurus UI ke Tahun 2010 Banyak yang menggugat UI sebagai kampus yang tak peka lagi pada masalah sosial. Kini, pada usia ke-40, mereka sibuk cari dana tambahan untuk mengembangkan diri. UI adalah dosen muda yang turun dari krl, pagi-pagi, sehabis hujan, berjalan menghindari becek, dan kena ceprot toyota... (Sapardi Djoko Damono, Catatan UI 40 Tahun, dimuat di buku 40 Tahun UI. Menoleh ke Belakang Sambil Melangkah Maju). PAGI itu hujan tidak turun. Beberapa mobil menteri nampak berderet di halaman parkir Balairung Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Pada puncak peringatan ulang tahun ke-40 UI, Sabtu pekan silam, menteri dan pejabat tinggi yang datang adalah Fuad Hassan, Emil Salim, Cosmas Batubara, dan Saleh Afiff. Mantan Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro bahkan menyampaikan uraiannya yang menarik tentang ekonomi negeri ini, berjudul "Dilema Negara Berkembang" (lihat Ekonomi dan Bisnis). Deretan pejabat tinggi negara dan sponsor -- antara lain kopi -- ikut membuat UI semarak pada pesta ulang tahun dalam usia empat dasawarsa kali ini. Kemegahan suasana memang perlu untuk mengesahkan kegagahan universitas yang menggendong nama bangsa ini. Apalagi kalau dilihat kenyataannya sekarang, ketika UI berada di persimpangan. Ketika banyak orang menggugat kualitas lulusannya, aktivitas mahasiswanya, dan orientasi mereka. Ketika tuntutan masyarakat terhadap UI sebagai universitas yang berlokasi di ibu kota negeri makin memberat dan banyak ragamnya. Belum pernah rasanya universitas yang sempat (di masa kepemimpinan Rektor Prof. Dr. Nugroho Notosusanto almarhum) disahkan memiliki merk "Kampus Perjuangan Orde Baru" ini dikritik pelbagai pihak seperti sekarang. Bahkan dari kalangan pengajarnya sendiri. Menyangkut bobot intelektualitas mahasiswa, misalnya, Prijono Tjiptoherijanto, seorang dosen Fakultas Ekonomi UI, mengatakan, "Kalau dikatakan kualitas intelektual mahasiswa UI menurun, saya setuju." enjelasan Prijono: "Mereka tidak lagi peka dan sanggup mengantisipasi masalah-masalah di luar kampus. Kemampuan mereka menguasai bidang disiplin ilmu yang dipelajarinya memang meningkat, tapi itu hanya bersifat text book. Mereka pintar, tapi tanpa kesanggupan memanfaatkannya dalam konteks tuntutan masyarakat." Sejarah UI, yang pada 1960-an pernah diwarnai oleh gegap-gempita demonstrasi menentang rezim Orde Lama, pada akhirnya melahirkan beban. Bagi sejumlah mahasiswanya dari generasi yang belakangan, semangat itu selalu hendak ditiupkan melalui gaya yang berbeda, seperti Malari pada 1974. Pada 1980-an, ketika mereka tidak lagi menemukan alasan-alasan dan konsep yang kuat untuk ikut meramaikan jalanan sebagai aktor politik, kampus pun jadi diam. Kelahiran NKK/BKK dari tangan Menteri P dan K Daoed Joesoef dianggap sebagai lembaga yang makin membelenggu mahasiswa, makin menguatkan gairah mengejar target kredit semester. Ketika sejumlah mahasiswa ITB dan UGM mulai bangkit lagi melalui isu-isu lokal (seperti Badega dan Kedungombo), mahasiswa UI tetap diam. Maka, ada tudingan UI tidak peka lagi. Dr. Dorodjatun Kuntjorojakti menyebutkan bahwa lokasi UI di ibu kota ikut mempengaruhi keadaan itu. Seperti pernah dikatakannya kepada harian Kompas, "Jakarta, sebagai kancah perubahan ekonomi yang sedemikian cepat, ikut memberi warna generasi muda pada umumnya. Perhatian mereka pun jauh lebih tertuju pada hal-hal kongkret dan praktis, bukan idealisme. Dengan demikian, UI berada dalam dua dimensi yang tarik-menarik, materialisme dan idealisme." Maka, Munyati Sullam, seorang mahasiswa FHUI angkatan 1986, dan sejumlah rekannya tidak mengherankan kalau memiliki sikap seperti ini: "Kami sudah harus menentukan langkah-langkah yang sesuai dengan tuntutan saat ini dan masa depan, yakni profesionalisme". Ia tidak setuju pada kegiatan ramai-ramai turun ke jalan. "Kegiatan-kegiatan pun harus disesuaikan dengan kebutuhan itu. Misalnya mengadakan diskusi, seminar, atau ceramah yang berkaitan dengan bidang tertentu." Dan ia menolak kalau mahasiswa UI diaggap loyo, tidak peka. "Kami harus lebih kongkret dan logis, bukan cuma bicara atau melakukan gerakan ke jalanan." Bantahan lebih keras datang dari Purek III Bidang Kemahasiswaan Merdias Almatsier. Kepada TEMPO ia mengatakan, "Tidak benar kalau UI dikatakan mundur tidak lagi dekat dan peka dengan masalah masyarakat. Cuma, cara kami memang sudah lain, lebih realistis." Disebutkannya sejumlah contoh, seperti diskusi tentang kenaikan harga sewa listrik, sunatan masal, pembangunan perpustakaan di beberapa daerah terpencil, dan penyuluhan masyarakat. Menteri Negara KLH Emil Salim, yang Sabtu lalu hadir sebagai guru besar dan mengenakan toga, seusai acara berbicara kepada TEMPO. Bahwa UI berbau kosmopolitan karena kedudukannya di ibu kota negara, pintu masuk dunia internasional. "Dan ini adalah lembaga pendidikan, bukan departemen yang bertugas memecahkan soal di lapangan. UI memecahkan masalah lewat penelitian," katanya. Tambahan untuk membuktikan bahwa UI masih berwibawa disuarakan Menteri P dan K Fuad Hassan, yang juga bertindak sebagai guru besar hari itu. Katanya, "Bagi saya, bukan teriakan kuat yang menunjukkan aktivisme." Ia melihat, seminar dan simposium, yang menunjukkan kegiatan tukar pikiran, adalah sebuah aktivitas. "Isi yang disuarakan itu aktif. Atau substansinya lebih penting dari gayanya. Dulu lain dari sekarang," kata Fuad. Meributkan soal citra bisa berkepenjangan dan mengganggu konsentrasi yang diperlukan saat ini. Yakni ketika Kebijakan Dasar Pengembangan Jangka Panjang 1990-2010 segera dilaksanakan. Dalam pidatonya pada puncak perayaan itu, Rektor UI Prof. Sujudi antara lain menyebutkan tiga pokok sasaran pengembangan jangka panjang tersebut. Meliputi, terwujudnya UI sebagai research university, keterpaduan UI dalam segala kegiatan, serta pemantapan dan pelaksanaan sistem otonomi perguruan tinggi. Untuk mendukung pelaksanaan program tersebut, perlu dana yang tidak sedikit. Sebuah alternatif telah dicanangkan pimpinan UI. "Kami telah merintis suatu modus yang sering kami sebut Industri Masuk Kampus," kata Sujudi. "Ialah modus kerja sama antara dunia usaha, sebagai penggerak dan sekaligus pemakai ilmu dan teknologi, dan kampus sebagai pendidik dan pengembang ilmu dan teknologi. Ini usaha mendapatkan dana tambahan guna meningkatkan proses belajar-mengajar dan penelitian di kampus." Mencari alternatif pendanaan adalah salah satu bentuk otonomi yang dikehandaki UI. Apalagi kalau diingat bahwa anggaran dari pemerintah, kata Sujudi, dari tahun ke tahun cenderung menurun. "UI minta kebebasan untuk mencari dan mengelola dana, dengan catatan pemerintah tetap berhak mengauditnya. Tapi jangan sampai UI disibukkan menghabiskan waktu untuk mengurus setiap rekening yang mesti dilaporkan kepada pemerintah." Menurut Purek I Bidang Pendidikan Prof. M.K. Tadjuddin, kebutuhan nyata dan ideal per tahun, misalnya 1989-1990 ini, Rp 30 milyar. "Itu untuk operasional edukatif bagi 20 ribu mahasiswa, belum untuk penelitian dan sebagainya," kata Tadjuddin. Sementara itu, dana yang masuk sekitar Rp 20 milyar, dengan rincian: dari pemerintah Rp 9,5 milyar, dari SPP Rp 1,5 milyar, selebihnya dari proyek-proyek kerja sama penelitian dengan instansi lain. Maka, pimpinan UI akan mengubah kebijaksanaan SPP, tidak lagi sama rata. Mohamad Cholid, Ahmadie Thaha, dan Priyono B. Sumbogo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus