"GATOTKACA, putra Arimbi, adalah Prabu Anom yang memegang tampuk kekuasaan di Kerajaan Pringgodani. Dia itu juga disebut Prabu Umar Kayam, e... ," suluk Ki Dalang. Dan budayawan Umar Kayam langsung pasang aksi tangan dikibaskan ke kiri dan ke kanan. Kaki kanan maju selangkah, sembari mendongakkan kepala. Hadirin tentu saja "gerr". Itulah acara sarasehan wayang kulit sehari penuh di pinggir pantai Kenjeran, Surabaya, 8 Maret lalu. Acara yang cukup unik, karena sehabis seorang peserta membacakan makalahnya, tampil seorang dalang mendemonstrasikan keterampilannya. Dan, itu tadi, bila ki dalang menyebut Gatotkaca selalu disebutkan bahwa nama lainnya adalah Umar Kayam. Barangkali lelaki tinggi besar berusia 55 tahun itu, yang malam itu berbaju batik warna hijau dengan kembang cokelat, bercelana cokelat, dengan kumis dan jenggot yang khas, memang mewakili citra satria Pringgodani dalam imajinasi para dalang. Yang jelas, sehari itu Umar Kayam memang seolah "berotot kawat bertulang baja". Diterpa angin laut tak kurang dari enam jam, ia tak masuk angin, malah merasa lebih sehat. "Sebenarnya dokter nyuruh saya istirahat," katanya. "Tapi, kalau ngikuti perintah dokter terus, malah tambah capek. Justru acara seperti ini bisa jadi obat." Mungkin juga diangkatnya Kayam sebagai Prabu, karena makalahnya dalam sarasehan tentang wayang kulit dan zaman teknologi ini membela wayang kulit. Menciutnya peminat wayang mungkin saja terjadi. "Wayang itu 'kan kesenian yang erat hubungannya dengan upacara masyarakat pertanian di Jawa masa lalu," tutur Kayam lebih lanjut. "Namun, saya yakin, wayang tidak akan hilang dari peredaran." Para hadirin, termasuk para dalang, pun manggut-manggut, seolah menjawab, "Inggih, Prabu Umar Kayam."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini