Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Peringatan meninggalnya Sujono

Pembukaan selubung dari patung soedjono hoemardani oleh istrinya di gedung csis, jakarta menandai peringatan satu tahun meninggalnya soedjono hoemardani dihadiri para pejabat tinggi negara.

21 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA gamelan mengalun. Ada seregu pria-wanita membawakan tembang Jawa, Kinanti Subakastawa -- jenis tembang yang biasanya berisikan suasana rawan. Tampak pula kain kuning keemasan menyelubungi patung setinggi sekitar 2 meter. Maka, Kamis malam pekan lalu itu, di lantai bawah gedung CSIS (Pusat Studi Masalah-masalah Strategis & Internasional) di Tanah Abang, Jakarta, terasa tenang tapi angker. Itulah acara peringatan satu tahun meninggalnya Soedjono Hoemardani -- tokoh Orde Baru, bekas asisten pribadi Presiden Soeharto, dan salah seorang pendiri CSIS. Setelah selubung patung karya G. Sidharta, senirupawan yang kini dosen di Seni Rupa ITB -- dibuka oleh Nyonya Soedjono Hoemardani, didampingi seorang putrinya, kembali tembang Jawa dikumandangkan. Hadirin, antara lain Pangab Jenderal L.B. Moerdani, beberapa menteri, sejumlah cendekiawan, dan beberapa pengusaha ternama, misalnya Liem Sioe Liong. Mengapa Soedjono, yang meninggal dalam usia 68 tahun, dipatunkan ? Pidato Harry Tjan Silalahi, salah seorang pimpinan CSIS, menjawab pertanyaan itu. Ketika patung Ali Moertopo, seorang pendiri CSIS yang meninggal terlebih dahulu, dipasang, Soedjono menunjuk ruang kosong di sebelah patung. "Lha yang sebelah sini masih kosong," kata Soedjono, menurut Harry Tjan. Bagi yang peka kepada isyarat, kata Harry pula, kata-kata itu merupakan kehendak Almarhum. Almarhum Soedjono memang tokoh yang khas, dengan rambut gondrong dan wajah yang seperti selalu prihatin, kurang tidur. Ia memang dikenal bersungguh-sungguh menghayati kejawen. Diceritakan oleh Harry Tjan, dalam buku untuk mengenangnya, yang malam itu dibagikan, Almarhum sudah menerima isyarat setengah tahun sebelum ia meninggal. Pada 15 September 1985, ketika Almarhum melakukan semadi bersama di Candi Trowulan, Jawa Timur, konon, Pak Djono mendapat perintah untuk mayangkara -- kata ini bisa berarti keliling dunia, tapi bisa juga memisah rohani dari jasmani. Dan makna kedua itulah tampaknya yang dimaksudkan. Di Tokyo, 12 Maret 1986, Soedjono Hoemardani meninggal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus