Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Juru Damai Saudara Serumpun

Dia dikenal sebagai anak angkat dua tokoh kenamaan pendiri republik: Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Mereka bertemu di Banda Naira —pulau penghasil pala yang amat terkenal di masa kolonial— saat kedua founding fathers itu menjadi orang buangan. Pergaulan dengan para tokoh republiken sejak masa kanak-kanak membuatnya menjadi seorang nasionalis.

November tahun ini, tepatnya tanggal 17 lalu, Des Alwi genap berusia 80 tahun. Perjalanan hidupnya begitu berwarna. Salah satu yang terpenting adalah ketika ia ikut merajut kembali hubungan Indonesia-Malaysia. Ia menuturkan kepada Maria Hasu­gi­an dari Tempo, betapa jalinan persahabatan dengan sejumlah petinggi Malaysia, yang disebut ”The Malay College Connection,” menjadi kunci normalisasi hubungan kedua negara serumpun itu.

19 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU sore di bulan Juli 1965. Saya sedang berada di Bangkok, Thailand, dan baru saja hendak menuju Selandia Baru untuk menjenguk Sutan Sjahrir. Ayah angkat saya itu menderita stroke parah dan dirawat di sana. Mendadak datang kabar dari Kostrad bahwa Pak Ali Moertopo dan Pak Daan Mogot mencari saya. Mereka meminta bertemu di Bangkok. Ada pesan penting yang akan mereka sampaikan. Begitu kata orang suruhan Pak Ali.

Saya pun batal ke Selandia Baru. Setelah sempat baku cari dengan mereka, kami akhirnya bertemu. Pak Ali mengatakan bahwa Pak Harto, Wakil Panglima I Kolaga (Komando Mandala Siaga), meminta saya ikut dalam Operasi Khusus Tim Penyelesaian Konfrontasi Indonesia-Malaysia. ”You disuruh jadi penghubung. Pak Harto bilang, you bisa langsung berhubungan dengan Wakil Perdana Menteri Malaysia.” Ali Moertopo waktu itu menjadi Komandan Operasi Khusus dengan pangkat letnan kolonel.

Tanpa membuang-buang waktu, saya langsung menghubungi teman-teman di Malaysia secara rahasia. Kebetulan mereka sudah menjadi pejabat penting. Tun Abdul Razak adalah wakil perdana menteri, Tunku Abdul Rahman perdana menteri, dan Tan Sri Ghazali Shafei kepala intelijen.

Saat itu saya juga masih tinggal di Malaysia atas kebaikan hati Tun Abdul Razak. Saya menetap di sana setelah dituduh mendukung pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara. Saya diberi tahu jika pulang pasti ditangkap. Razak kemudian meminta saya tinggal di Malaysia.

Setelah menghubungi teman-teman lama itu, saya mengatur pertemuan untuk memastikan mereka bersedia berdamai. Ternyata mereka menyambut dengan antusias penyelesaian damai untuk mengakhiri konfrontasi. Sayang, terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta, sehingga pendekatan-pendekatan yang kami lakukan terganggu.

Peristiwa G-30-S yang menewaskan Pak Yani serta lima jenderal dan seorang letnan itu membuat situasi politik dalam negeri carut-marut. Setelah kekacauan dapat diatasi, Pak Harto sebagai Panglima Kostrad berinisiatif melanjutkan kerja Pak Yani untuk berdamai dengan Malaysia. Memang, sebelum Pak Harto, Pak Yani sudah merintis jalan mengakhiri konfrontasi. Ia sempat mengirim tim dalam operasi khusus dan rahasia.

Lantaran kecewa atas terjadinya konfrontasi, ketika itu warga Malaysia, khususnya etnis Melayu, sudah mencopoti foto-foto Soekarno. Saya mengerti perasaan mereka. Padahal, sebelum konfrontasi, mereka begitu mengagumi dan memuja sosok Soekarno. Sampai-sampai mereka menempelkan foto-foto Soekarno di dinding rumah.

Pada operasi khusus pertama yang diprakarsai Pak Yani, saya tidak masuk dalam tim. Saya hanya membantu melakukan pendekatan dengan teman-teman di Malaysia. Kontak pertama Malaysia dengan Indonesia berlangsung di Kuala Lumpur pada awal 1965. Utusan Malaysia diwakili Tan Sri Ghazali Shafei, Kepala Intelijen Malaysia. Dari Indonesia diwakili Kolonel Soekendro dan Syarnubi Said. Pertemuan itu masih bersifat penjajakan saja.

Terbunuhnya Pak Yani dalam peristiwa Gestapu (sebutan lain untuk G-30-S) membuat operasi khusus ini dilanjutkan Pak Harto. Operasi ini semula tanpa sepengetahuan Presiden Soekarno. Pihak Malaysia makin antusias mengakhiri konfrontasi setelah menyaksikan perubahan situasi politik Indonesia akibat peristiwa Gestapu. Soekarno dipastikan akan turun dari puncak kekuasaannya sebagai presiden.

Pak Harto sudah lama tahu saya dekat dengan sejumlah pejabat tinggi Malaysia. Saya bersahabat dengan Tun Abdul Razak, Tunku Abdul Rahman, Tan Sri Ghazali Shafei sejak sama-sama kuliah di Inggris pada 1947 (lihat Persahabatan Sepanjang Musim).

Saya juga pernah memperkenalkan Tun Abdul Razak kepada Pak Harto pada 1948 di Yogyakarta. Waktu itu liburan kuliah dan saya mengajak Razak ke Indonesia. Pak Harto saat itu masih berpangkat mayor. Kami punya semangat sama: antikolonial.

Operasi khusus dan rahasia itu akhirnya bocor juga ke telinga Presiden Soekarno. Saya tahu pembocor rahasia itu tak lain Soekendro. Saya tidak bisa melupakan sosok yang satu ini. Soekendro is a Subandrio’s man. Subandrio mendukung habis kebijakan Soekarno melakukan konfrontasi dengan Malaysia.

Sewaktu Pak Yani mengirim tim dalam operasi khusus ke Malaysia, Presiden Soekarno ternyata telah mengetahuinya. Soekarno pun bilang, ”Awas itu jenderal-jenderal dagangan dan petualangan Des Alwi. Tidak ada approach-approach dari kita terhadap Malaysia.” Gila nggak, dia bilang begitu.

Sebelumnya, saya sudah memberi tahu Pak Yani agar berhati-hati pada orang ini. Soekendro pintar dan tukang gunting. Waktu Gestapu, dia ada di Peking, RRC, tapi lewat Bangkok dia melakukan pendekatan dengan Malaysia untuk menyelesaikan konfrontasi. Soekendro malah meminta bantuan ke Malaysia. Saya bilang ke Pak Harto yang waktu itu menjabat Wakil Panglima I Kolaga, ”gunting saja, bantuan ini nanti juga buat dia sendiri.”

Dalam operasi khusus yang dipimpin Pak Ali Moertopo, tugas saya terus melakukan lobi, terutama dengan Tun Abdul Razak dan Tan Sri Ghazali Shafei. Pertemuan-pertemuan intens pun dilakukan. Pada 21 Mei 1966, pesawat Hercules milik Angkatan Udara Republik Indonesia mendarat di bandara internasional Subang, Kuala Lumpur. Dari dalam pesawat muncul utusan Indonesia: Pak Ali bersama, antara lain, Laksamana Muda O.B. Syaaf, Kolonel Yoga Sugomo, Brigjen Kemal Idris, Letkol Sofyar, Letkol Tjokropranolo, serta beberapa petugas lainnya. Mereka disambut Tun Abdul Razak, Tan Sri Ghazali dan beberapa stafnya. Inilah pertemuan resmi pertama sebagai hasil pertemuan-pertemuan rahasia itu. Kedua utusan sepakat maju ke meja perundingan.

Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke Kedah, Malaysia Utara, dengan pesawat yang sama. Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman yang sedang cuti di kampungnya menyambut kedatangan kami dengan keramahan khas Melayu. Tunku berharap perundingan dapat secepatnya dilaksanakan untuk mengakhiri konfrontasi.

Pertemuan dilanjutkan di Bangkok pada Mei 1966. Tun Abdul Razak disambut Pak Harto, Menteri Luar Negeri Adam Malik, Dr J. Leimena, dan Sultan Hamengku Buwono IX. Setelah itu kami mengundang Tun Abdul Razak ke istana negara. Presiden Soekarno menerimanya sebagai tamu negara. Meski suasana kedua negara masih tegang, selama pertemuan itu tidak ada kesan kaku. Ada peristiwa menarik, Presiden Soekarno menawarkan kue onde-onde dan klepon, kepada Tun Abdul Razak. Kue ini makanan khas Indonesia yang menjadi menu wajib istana untuk tamu negara. Suasana semakin akrab. Saya hanya tersenyum saja menyaksikan.

Dari pertemuan kenegaraan ini, saya percaya jalan perundingan damai kian terbuka lebar. Pak Harto pun menunjuk Menteri Luar Negeri Adam Malik mewakili pemerintah Indonesia dalam pertemuan puncak mengakhiri konfrontasi dengan negara serumpun.

Tepat pukul 12.00 waktu Bangkok, Kamis 11 Agustus 1966, Tun Abdul Razak dan Adam Malik menandatangani perjanjian damai. Pak Harto berdiri di belakang mereka berdua menyaksikan penandatanganan itu. Secara resmi konfrontasi Malaysia-Indonesia pun berakhir dan hubungan kedua negara serumpun terbuka kembali.

Perundingan sempat alot karena Soekarno menuntut Malaysia menggelar pemungutan suara dari penduduk Serawak dan Sabah tentang sikap mereka, tetap bergabung dengan Malaysia atau dengan Indonesia. Soekarno memutuskan konfrontasi dengan Malaysia, sebenarnya, untuk kepentingan memperluas kekuatan komunis hingga ke wilayah Sabah dan Serawak. Tuntutan pemungutan suara itu disetujui pemerintah Malaysia, dan penduduk Serawak dan Sabah memilih tetap bergabung dengan Malaysia.

Proses perdamaian ini membuat Soekendro jengkel. Ia tampaknya iri pada saya karena ring saya yang jalan. Nah, ketika saya berjalan-jalan dengan Tun Abdul Razak, sehari sebelum penandatanganan perjanjian damai, Soekendro memerintahkan agar saya ditangkap, tapi niat buruknya itu tidak kesampaian.

Sebenarnya bibit konfrontasi sudah muncul pada akhir 1949. Ketika itu Ratu Juliana menyerahkan soal penyelesaian damai Belanda-Indonesia ke Perdana Menteri Mohammad Hatta. Keputusan ini disambut hangat oleh masyarakat Indonesia dan juga mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam Malay Society di Inggris. Tapi, saat perayaan kembalinya kemerdekaan Indonesia diadakan di London, Subandrio tidak mengundang sahabat-sahabat saya itu. Saya tidak mengetahui alasan Subandrio. Padahal, sahabat-sahabat saya asal Malaya itu telah banyak membantu mencarikan dana untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Suatu hari pada 1957, saya menerima undangan untuk menghadiri perayaan kemerdekaan Federasi Malaya di Kuala Lumpur. Kebetulan saya bertemu dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Suwito Kusumowidagdo di Jakarta. Suwito marah besar karena saya meninggalkan pos saya di Manila tanpa permisi kepadanya. Ia memerintahkan saya kembali ke Manila.

Saya mencoba menemui Subandrio untuk meminta izin ke Kuala Lumpur memenuhi undangan pemerintah Malaysia. Ia menolak bertemu saya. Saat itu Subandrio marah besar kepada para pemimpin Federasi Malaya karena tidak memberikan suara atas perjuangan pembebasan Irian Barat di PBB. Bukannya Indonesia minta klarifikasi atas sikap negeri jirannya itu, eh, malah langsung menuduh Malaya boneka Inggris. Tapi saya memilih tetap terbang ke Kuala Lumpur.

Konfrontasi ini menimbulkan friksi tajam di tubuh TNI antara yang mendukung (pro Soekarno) dan yang menolak (pro Pak Yani dan Pak Harto). Soekarno sendiri terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya pada Pak Yani. Saya menilai ketegasan Pak Yani yang antikomunis dan tidak mau AD diintervensi kepentingan politik membuat ia dicap sebagai duri dalam daging. Saya pernah mendengar Soekarno memerintahkan penangkapan Yani. ”Kalau sudah ditangkap, hadapkan ke saya.”

Saya juga kesal kepada Soekarno seusai penandatanganan perjanjian damai dengan Malaysia. Penyebabnya, saat berpidato di depan DPR Gotong Royong untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-21, 16 Agustus 1966, ia masih memburuk-burukkan Malaysia dengan menyebut negara itu boneka imperalis Inggris.

Kemudian, ia masih meneriakkan tuntutannya agar pemilihan umum kembali digelar di Sabah dan Serawak untuk memastikan penduduk kedua daerah itu memilih Malaysia atau bergabung dengan Indonesia. Padahal, Malaysia sudah memastikan akan memenuhi tuntutan Soekarno itu. Kesannya jadi tidak baik.

Sebenarnya, kekesalan saya terhadap Soekarno sudah berlangsung lama. Dia menyingkirkan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan hanya dikasih kerjaan mengurusi koperasi. Keputusan penting sering tidak melibatkan Hatta. Makanya saya tidak ingin bertemu dia. Bahkan saat Tun Abdul Razak menjadi tamu Soekarno, saya tak mau bertemu dan menyapa dia. Barulah pada 1967 saya terpaksa menyapanya. Waktu itu kami melayat jenazah ibu Cipto Mangunkusumo yang meninggal dunia. Soekarno tiba-tiba menyapa saya, ”Hei Des. Des ini nakal, tapi tidak jahat,” kata Soekarno kepada J. Leimena yang juga datang melayat. Saya tertawa saja.

Ada satu hal yang mengganjal saya sampai sekarang setiap kali mengenang masa konfrontasi dulu. Begini. Di awal konfrontasi, pasukan tentara dan sukarelawan Indonesia diterjunkan secara diam-diam ke Malaysia. Nah, ada satu pesawat yang membawa pasukan khusus di bawah pimpinan Kapten Djamaluddin asal Gorontalo. Jumlah mereka sekitar 100 orang.

Nahas, pesawat itu jatuh di Laut Cina Selatan sewaktu menuju Malaysia. Sampai sekarang pemerintah menutupi kasus ini sehingga keluarganya tidak tahu bagaimana nasib mereka. Istri Djamaluddin pernah menanyakan nasib suaminya kepada saya. Dari dia saya tahu pemerintah tak kunjung menjelaskan nasib suaminya. Harusnya pemerintah bertanggung jawab atas nasib mereka dan keluarga yang ditinggalkan. Bukan malah menutup-nutupi! Saya ingin pemerintah menjelaskan masalah ini kepada keluarganya.

Setelah konfrontasi dapat diakhiri, saya bernapas lega. Tugas saya tidak sia-sia, meski terkadang dalam beberapa hal saya diperlakukan tidak adil. Saya sempat hampir dibunuh karena iri, padahal saya berjuang untuk negara ini. Di Malaysia saya dituduh mata-mata Indonesia, bahkan saya sempat dilarang masuk ke negara itu.

Kemudian saya memutuskan membenahi kampung saya, Banda. Saya mengajak Bung Hatta, bapak angkat saya, membantu meningkatkan perekonomian di tanah kelahiran saya. Bersamaan dengan itu, persahabatan saya dengan Tun Abdul Razak, Tan Sri Ghazali Shafei, Tunku Abdul Rahman, dan sejumlah petinggi Malaysia berlanjut terus. Kami tetap saling bertukar informasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus