Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sambil bersekolah di London, saya bekerja sebagai staf Kedutaan Besar Republik Indonesia di Inggris. Saya ditempatkan di bagian informasi di Knightsbridge pada 1953. Dari sini saya mulai mengenal kamera dan kemudian jatuh cinta pada dunia fotografi.
Kamera pertama yang saya miliki adalah Paillard Bolex 16 milimeter buatan Swiss. Selain itu, saya juga membeli kamera jenis lainnya. Kamera-kamera itu saya rawat dan sampai sekarang masih berfungsi baik.
Paillard Bolex 16 punya sejarah luar biasa bagi saya. Waktu Gunung Api di Pulau Banda meletus, saya sedang di pesawat menjemput sanak keluarga dari Ambon ke Banda Naira. Waktu itu subuh, 9 Mei 1988.
Begitu tahu Gunung Api meletus, saya ”paksa” pilot terbang mengelilinginya. Saya potret gunung yang sedang menyemburkan lahar itu. Foto ini satu-satunya di dunia. BBC kemudian membeli foto eksklusif saya seharga US$ 25 ribu atau nilainya sekarang Rp 225 juta.
Suatu hari, 1993, Sarah Ferguson, menantu Ratu Inggris, main ke Banda bersama kedua anaknya. Saat itu ia sedang dalam proses perceraian dengan suaminya, Pangeran Andrew. Saya memotret Sarah dan kedua anaknya. Media Inggris, seperti Sunday Mail, kemudian ramai-ramai menawar untuk membeli foto eksklusif itu, tapi saya memutuskan tidak menjualnya. Saya tidak mengkomersialkan foto-foto teman baik saya.
Pernah juga perusahaan rokok kretek Djarum, meminjam film dokumenter saya tentang pidato-pidato Mr. Suwiryo, tokoh PNI. Untuk sepotong film sejarah berdurasi satu menit itu mereka membayar Rp 50 juta.
Saya memang rajin mendokumentasikan dan memfilmkan peristiwa-peristiwa penting di negeri ini. Saya kurang puas dengan film produksi Pusat Film Nasional pada 1950-an. Film-film itu kurang bagus. Dari sisi editing, adegannya terlalu panjang-panjang dan sering ngawur.
Indonesia di masa itu nyaris tidak memiliki stok film dokumenter. Koleksi dokumentasi sejarah Pusat Film Nasional pernah dibakar karena di antara koleksinya ada film tentang aksi Partai Komunis Indonesia di Madiun 1948. Dalam peristiwa pembakaran itu, film tentang Mohammad Hatta yang pernah diasingkan ke Banda pada 1936 dan beberapa dokumen lainnya ikut dibakar.
Peristiwa pembakaran itu menyadarkan saya tentang perlunya dokumentasi. Saya pun bertekad mengumpulkan kembali dokumentasi-dokumentasi sejarah kita. Film-film dokumentasi Pusat Film Nasional yang tidak terawat itu saya kumpulkan.
Di keluarga besar saya ada kebiasaan untuk mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting. Di buku yang saya tulis berjudul Bersama Hatta, Sjahrir, dr Tjipto, dan Iwa K. Sumantri di Banda Neira, 2002, sebagian besar foto di buku itu adalah koleksi saya dan Yayasan Warisan Budaya Banda Naira. Ambil contoh, foto Fomalhaut, kapal putih yang membawa Hatta dan Sjahrir ke Naira dari Digul, Februari 1936, foto keluarga besar saya, foto Pak Tjipto, Pak Sjahrir dan Pak Hatta, dan foto bersejarah lainnya.
Setelah konfrontasi dengan Malaysia selesai dan saya tidak lagi bekerja di Departemen Luar Negeri, saya semakin serius menekuni hobi baru mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting. Bahkan saya juga mulai menggarap film-film fiksi dan dokumenter.
Di awal 1970-an, saya memproduksi film fiksi Cucu, Gubernur Sehari, dan Tanah Gersang. Film berjudul Cucu garis besarnya bercerita tentang seorang anak cacat yang kehilangan orang tuanya akibat kecelakaan di Malaysia. Kemudian anak itu ditampung di satu asrama di negeri orang. Di akhir masa konfrontasi, akhirnya Cucu—nama anak cacat itu—bertemu neneknya yang tinggal di Banda. Namun, sang nenek meninggal ketika pertama kali bertemu cucunya itu. Malangnya, nyawa si Cucu terancam karena suami bibinya ingin menguasai harta peninggalan nenek yang diwariskan kepada si Cucu.
Film ini laku keras di Malaysia dan Indonesia. Tun Abdul Razak, Wakil Perdana Menteri Malaysia, ikut menonton preview film Cucu, yang produksinya dikerjakan bersama kedua negara serumpun. Razak sangat mendukung kerja saya. Film Cucu yang menelan biaya produksi US$ 30 ribu telah menghasilkan uang US$ 100 ribu. Cucu menjadi satu-satunya film fiksi saya yang meraup sukses. Saya kemudian memproduksi film detektif, tapi kalah bersaing dengan film-film silat yang mulai masuk ke Indonesia.
Pada 1977, saya mencoba membuat film semidokumenter seperti Mimpi Menjadi Gubernur Sehari. Film ini bercerita tentang kehidupan sehari-hari di Jakarta, mulai dari rakyat jelata yang harus duduk di atap kereta api hingga orang yang buang hajat di Kali Gresik, kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Film semidokumenter untuk Bang Ali Sadikin—saat itu Gubernur Jakarta—itu juga tidak laku. Saya kemudian sepenuhnya terjun ke pembuatan film dokumenter. Ternyata dunia saya di sini. Film dokumenter pertama saya tentang akhir konfrontasi dengan Malaysia. Berikutnya Ambon Manise yang mendapat penghargaan di Asia Film Festival di Jakarta pada 1975. Setelah itu saya semakin produktif.
Kemudian saya membuat film dokumenter berjudul The Green Golden yang bercerita tentang penebangan hutan dan Wildlife yang berbicara tentang kehidupan binatang di kawasan Indonesia Timur. Film ini mendapat penghargaan dari WWF. Saya juga memproduksi film berjudul Batavia yang pengisi suaranya dilakukan oleh Benyamin Sueb.
Untuk merawat dokumen dan film-film itu, saya mendirikan Yayasan 10 November 1945 di Jalan Narada, Kramat Raya, Jakarta Pusat. Saya memilih nama ini untuk memperingati perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ketika itu saya terluka oleh mortir Belanda yang diledakkan dekat mobil yang saya tumpangi saat di Wonokromo, Surabaya.
Serpihan mortir itu ternyata tertinggal di tubuh saya selama 62 tahun. Fakta ini baru saya ketahui setelah dokter di RS Mount Elizabeth, Singapura, hendak mengoperasi sehubungan dengan penyakit prostat saya, September lalu. Beberapa serpihan mortir ditemukan di tengkuk dan kaki saya. Mereka mengambil serpihan itu. Menurut dokter, masih banyak serpihan mortir yang tertinggal di tubuh saya. Sulit diambil karena terlalu kecil dan beredar di dalam darah.
Kendati didera penyakit, semangat saya untuk bekerja tak berkurang. Sebentar lagi saya akan merampungkan buku tentang masa-masa ketika saya dianggap sebagai pemberontak.
Di usia yang menginjak 80 tahun, satu-satunya yang membuat saya gusar sekaligus khawatir adalah saya semakin sering lupa. Saya gusar karena tidak ingin dokumentasi ini nanti jatuh ke tangan orang yang berniat mengubah jalannya sejarah untuk kepentingannya sendiri. Saya tidak mau dokumentasi ini disalahgunakan.
Saya tidak punya uang untuk merawat seluruh dokumen itu. Koleksi film saya ada 9 kilometer seluloid dan 5 kilometer film yang disimpan di Betacam dan DVD. Belum lagi surat-surat penting serta koleksi perangko dan meterai. Untuk merawat seluruh dokumen ini, saya butuh dana Rp 10 sampai Rp 11 miliar. Namun, sampai sekarang saya tak tahu dari mana bisa mendapatkan uang sebanyak itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo