Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rusdi Kirana adalah ”anak ajaib” di bisnis penerbangan Indonesia. Dari seorang calo tiket di Bandar Udara Soekarno-Hatta, lalu beralih menjadi pemilik biro perjalanan, dan dalam waktu kurang dari 10 tahun ia bersalin rupa menjadi pemilik maskapai penerbangan besar di Indonesia.
Pada 20 Juni 2000, pesawat Lion Air pertama kali mengudara dengan rute Jakarta-Pontianak. Waktu itu banyak yang meramalkan, maskapai milik dua bersaudara Rusdi dan Kusnan Kirana ini hanya berumur pendek. Modal cekak memaksa Rusdi harus berakrobat, termasuk memilih langkah bisnisnya yang barangkali agak nyeleneh bagi bisnis penerbangan Indonesia, seperti menerbangkan pesawat Rusia, Yakovlev-42D.
Nyatanya, hanya dalam tujuh tahun Lion sudah berubah dari maskapai kecil yang berkantor di salah satu ruko kawasan Harmoni, Jakarta Pusat, menjadi maskapai besar di Indonesia dan berkantor di gedung megah 12 lantai bekas Bank Harapan Sentosa. Kepak sayap bisnis Lion juga semakin kencang. Kini mereka berancang-ancang menyerbu negeri tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Bangladesh, dan bahkan Korea Selatan.
Persiapan ekspansi Lion pun sudah dilakukan sejak tahun lalu. Lion memesan 100 pesawat Boeing 737-900 extended range, yang kemudian ditambah 22 unit lagi pada 4 Desember nanti. Rencananya, semua pesawat sudah lengkap terkirim pada 2012. Total nilai pembelian ini mencapai US$ 7 miliar (Rp 65 triliun). Lima pesawat sudah tiba dan dua pesawat lagi menyusul pada Desember. Awal Mei lalu, Boeing 737 terbarunya melakukan penerbangan komersial pertama dari Jakarta ke Manado.
Soal dana, Lion tidak pusing mencarinya. Halim Kalla, komisaris Lion, mengatakan, pembelian pesawat itu dibiayai sejumlah sindikasi lembaga keuangan internasional, di antaranya BNP Paribas dan GE Capital dengan pola lease-purchase. Artinya, utang itu akan dicicil dari pendapatan pesawat. Jangka waktunya tujuh hingga 15 tahun dengan uang muka 5–10 persen. ”Mereka yang menawarkan. Kami tidak meminta,” kata Hasyim Arsal Al-Habsyi, juru bicara Lion. Apakah Halim, adik Wakil Presiden Jusuf Kalla, ikut saweran dana? ”Hahaha… itu rahasia,” kata Halim.
Menurut Hasyim, duit untuk ekspansi sudah dianggarkan, berkisar US$ 50–100 juta per negara. Skenario juga sudah dirancang, membeli maskapai lokal atau mendirikan perusahaan baru bekerja sama dengan investor lokal. Pilihan pertama menjadi prioritas karena bisa lebih cepat beroperasi. Dari 122 pesawat yang dipesan, hanya 60 unit akan dipakai di dalam negeri. Sisanya didaftarkan di luar negeri sesuai dengan rencana ekspansi.
Dari enam negara target ekspansi, tampaknya Thailand, Vietnam, dan Bangladesh yang jadi prioritas. Pembicaraan akuisisi juga sudah dilakukan dengan maskapai setempat. Di tiga negara ini, kepemilikan asing di perusahaan penerbangan boleh sampai 49 persen. Sayang, Halim dan Hasyim irit bicara soal perusahaan yang akan dibeli Lion. ”Malaysia prioritas belakang karena aturannya ketat,” kata Halim. Pasar dalam negeri Malaysia dinilainya juga tidak terlalu menarik.
Bukan cuma menyiapkan pesawat, pada awal Desember ini Lion Facility Village, pusat pelatihan pilot plus kru dan perawatan pesawat Lion, diharapkan sudah kelar. Duit yang mengucur ke pusat pelatihan di Cengkareng Mas, Bandara Soekarno-Hatta, seluas 2,1 hektare ini lumayan besar, sekitar US$ 100 juta (Rp 930 miliar). ”Di bisnis penerbangan, angka itu belum ada apa-apanya,” kata Halim. Bayangkan saja, sebuah simulator Boeing 737-900ER harganya US$ 15 juta (Rp 139,5 miliar), dan Lion membeli empat simulator.
Untuk mendidik calon-calon pilotnya, Lion telah menandatangani kesepakatan dengan sekolah pilot Flight Idea, Australia, dan ST Aviation Training Academy Singapore Pte. Ltd. (ST-ATAS). Hari ini, mereka mulai merekrut 300 lulusan SMA yang bakal dilatih sebagai pilot. Hingga 2012, saat semua pesanan pesawatnya sudah tiba, diperkirakan Lion butuh 600 pilot baru.
Presiden Federasi Pilot Indonesia Manotar Napitupulu mengatakan, Indonesia terancam krisis pilot. Saat ini, kebutuhan akan pilot memang masih tercukupi dengan 2.500-an pilot aktif, namun pesatnya pertumbuhan bisnis penerbangan tidak seimbang dengan penambahan pilot baru. Terlebih, godaan gaji besar di maskapai asing sulit ditolak. Melatih pilot baru pun makan waktu bertahun-tahun. ”Makanya, daripada pada 2012 nanti kami panik, mending dipersiapkan dari sekarang,” kata Hasyim.
Di divisi perawatan, Lion memilih bekerja sama dengan Delta Airlines, maskapai dari Amerika Serikat, selama 10 tahun dengan nilai US$ 1 miliar. Nantinya, untuk perawatan kecil (A-Check dan B-Check) semua akan ditangani bengkel Lion ini. Untuk perawatan besar (C-Check dan D-Check), Lion masih mengandalkan GMF Aero Asia, perusahaan perawatan milik Garuda Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan suatu saat nanti Lion Facility Village ini bakal menjadi unit bisnis terpisah.
Ekspansi Lion, menurut Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association, Tengku Burhanuddin, waktunya sangat tepat. Selain pertumbuhan penumpang angkutan udara memang terus membubung, 10 negara anggota ASEAN juga sepakat menerapkan kebijakan Open Sky pada Januari 2009. Pada saat itu, rute penerbangan ke semua ibu kota negara itu akan dibebaskan.
Yang perlu dicermati Lion, karakteristik penerbangan di tiap negara berbeda. Di Indonesia, misalnya, penerbangan domestik relatif dominan. Di Singapura, penerbangan internasional yang utama. Soal melonjaknya harga minyak dunia, dia tidak yakin bakal terus bertahan dalam satu-dua tahun mendatang. ”Yang pasti, biar maskapai kita tidak jago kandang saja,” kata Hasyim.
Sapto Pradityo, Harun Mahbub
Bisnis Penerbangan yang Terus Tumbuh
Data Direktorat Jenderal Perhubungan Udara menunjukkan bisnis penerbangan masih menggiurkan. Dalam 10 tahun terakhir, jumlah penumpang angkutan udara dalam negeri melejit hampir tiga kali lipat. Dalam lima tahun terakhir, tingkat okupansi per pesawat (load factor) juga stabil di atas 75 persen, jauh di atas load factor sebelum krisis ekonomi. “Rata-rata load factor Lion berkisar 80 hingga 90 persen,” kata juru bicara Lion Air, Hasyim Arsal Al-Habsyi, Jumat lalu.
Tingkat okupansi pesawat terbang (dalam %) | |||||||||||||||
1999 | 61,32000 | 64,18 | 2001 | 68,77 | 2002 | 76 | 2003 | 75,78 | 2004 | 77,8 | 2005 | 77 | 2006 | 78,4 | |
Jumlah penumpang dalam negeri (dalam jutaan) | |||||||||||||||
1999 | 6,32000 | 7,6 | 2001 | 9,1 | 2002 | 12,3 | 2003 | 19,1 | 2004 | 23,8 | 2005 | 28,8 | 2006 | 34 | |
Sumber: Direktorat Jenderal Perhubungan Udara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo