Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedua ayah angkat saya, Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta, amat memperhatikan urusan pendidikan. Mereka menginginkan saya melanjutkan sekolah hingga ke luar negeri setamat IVELO (STM) 1945. Setelah penandatanganan perjanjian Linggarjati, Maret 1947, saya pun berangkat ke London, Inggris. Di sana saya masuk British Institute of Technology, Jurusan Rekayasa Suara. Kemudian saya mengambil Jurusan Sinematografi.
Di kota inilah awal mula saya berjumpa mahasiswa-mahasiswa asal semenanjung Malaya seperti Tun Abdul Razak, Tunku Abdul Rahman, Wan Daud, Taib Andak, dan Raja Muda Idris. Abdul Rahman ketika itu ambil Jurusan Kepengacaraan di Inner Temple. Sedangkan Razak belajar undang-undang di Lincoln’s Inn. Saya kemudian tinggal sekamar dengan Razak, Taib, dan Idris di lantai bawah apartemen Court Fields Garden.
Saya, Razak, Wan Daud, dan Taib mendapat julukan Four Musketeers. Kami kerap bercanda dan yang menjadi sasaran selalu Abdul Rahman. Kami juga sering bertemu, bepergian, dan memasak bersama-sama. Saya biasanya membuat gado-gado.
Lantaran setiap bicara suara saya terdengar keras dan tubuh saya yang tinggi besar berguncang-guncang saat tertawa, seisi kamar merasa heboh. Razak menjuluki saya Ribut. Dalam bahasa Inggris, mereka menjuluki saya The Storm. Setiap saya tiba di kamar, Razak berseru dengan nada canda, ”Ribut is here!” Seolah ia mengingatkan seisi kamar, siap-siap terjadi ”keributan”.
Satu malam menjelang akhir 1947 kami berdiskusi panjang. London waktu itu sedang dipeluk musim gugur. Kami mendengar Sutan Sjahrir baru saja pulang dari pertemuan Dewan Keamanan PBB di Lake Success, Amerika Serikat. Sebagai utusan pemerintah Indonesia, Sjahrir sering diundang ke pertemuan-pertemuan internasional untuk meraih simpati dunia melawan agresi militer Belanda. Dia juga tokoh yang disegani di Asia saat itu.
Para mahasiswa asal Semenanjung Malaya, yang sedang berjuang memerdekakan negaranya dari penjajahan Inggris, begitu antusias untuk bertemu Sjahrir. Mereka tahu Sjahrir akan mampir ke London. Saya pun membantu mereka bertemu ayah angkat saya itu. Di kamar Hotel Claridges di Bond Street, London, mereka menemui Sjahrir.
Tunku Abdul Rahman dengan santun memperkenalkan diri sebagai Ketua Malay Society, organisasi sosial mahasiswa Semenanjung Malaya yang sekolah di Inggris. Razak wakilnya dan dua mahasiswa lain sebagai anggota. Tunku Abdul Rahman menuturkan, kedatangan mereka menemui Sjahrir untuk memberikan dukungan dan empati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Razak kemudian menjelaskan kekhawatirannya tentang gerilya anti-Inggris di negerinya bukan lagi perjuangan rakyat Melayu. Perjuangan anti-Inggris sudah diambil alih para pejuang komunis Cina yang ingin memperluas paham komunisnya di Malaya.
Sjahrir tertarik mendengar penjelasan Razak karena situasinya mirip di Indonesia. Menurut Razak, aktivis gerakan kiri mencoba menghancurkan Partai Sosialis yang ia pimpin. Pertemuan ini membekas bagi kami. ”Kita sebaiknya saling kontak secara reguler,” kata Sjahrir penuh harap. ”Terbaik melalui Des Alwi.”
Sejak itu kami menjadi sahabat sepanjang musim. Kawan saya dari negeri jiran bertambah setelah berkenalan dengan Tan Sri Ghazali Shafei, Tengku Mahkota Ahmad, Mohamed Sopiee, Kadir Samsudin, dan banyak lagi.
Pada 1948, London menggelar Olimpiade di Stadion Wembley. Kami menghadiri acara pembukaan dan menonton beberapa pertandingan. Saya diajak bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa Malaya dalam permainan tenis dan hoki. Melalui mereka, saya berkenalan dan bersahabat dengan mahasiswa asal Singapura seperti ”Harry” Lee Kuan Yew, Goh Keng Swee, Toh Chin Chye, Lee Kun Choy, dan Maurice Baker.
Di musim semi 1948, kami berkunjung ke Prancis, Belgia, Belanda, dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Tujuannya membangun kontak dengan negara-negara Eropa untuk membantu perjuangan kemerdekaan kami. Ketika saya dan Razak di Belanda, secara bersamaan Hatta menghadiri perundingan di Den Haag. Razak menyatakan keinginannya bertemu Hatta. Ketika pertemuan terwujud, ia menuturkan kegiatan politik United Malays National Organisation (UMNO) yang didirikan Datuk Onn Jaafar. Menurut dia, gerakan nasionalisme semakin berkembang di semenanjung.
Setelah Razak kembali ke negaranya, awal 1950, dia tetap menunjukkan persahabatan yang tulus. Beberapa tahun kemudian, saya dituduh terlibat pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara. Saat itu saya menjadi Atase Pers dan Kebudayaan di Kedutaan Indonesia di Filipina.
Lantaran tuduhan itu, saya ke Jakarta untuk menandatangani surat pengunduran diri sebagai pegawai negeri Departemen Luar Negeri. Saya kecewa karena departemen membiarkan saya diserang oleh media-media komunis seperti Warta Bhakti, Bintang Timur, dan Harian Rakyat yang menuduh saya pengkhianat.
Saya kemudian kembali ke Manila menjemput keluarga. Setibanya di sana, istri saya Anne dan anak-anak ternyata sudah menyusul ke Jakarta begitu mendengar pengunduran diri saya. Padahal, saya tidak lagi bisa ke Jakarta karena pasti ditangkap atas tuduhan mendukung pemberontakan Permesta.
Atas bantuan Razak, saya ke Kuala Lumpur dan tinggal di Federal Hill. Kemudian Razak meminta Kedutaan Federasi Malaya di Jakarta untuk mengurus visa bagi keluarga saya. Teman saya di Departemen Imigrasi membantu mengurusi paspor istri dan anak-anak saya karena ia bersimpati. Kami sekeluarga bertemu di Singapura, selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Eropa dan kemudian memilih menetap di Hong Kong.
Menjelang Idul Fitri 1961, saya teringat Razak dan bermaksud mengirim kartu ucapan Selamat Idul Fitri, tapi di Hong Kong tidak ada yang menjual kartu seperti itu. Sebagai gantinya saya membeli kartu ucapan Happy Chinese berwarna merah dan bertulisan huruf Mandarin. Razak menerima ratusan kartu ucapan Selamat Idul Fitri, namun ia heran, kok, ada satu kartu ucapan bentuknya aneh. Ia sempat membuang tapi kemudian memungutnya kembali. Dan, ia kaget setelah menemukan kata ”Ribut dan keluarga” beralamat di Hong Kong.
Pria berdarah Bugis ini segera menghubungi saya. Ia mengungkapkan kekhawatiran serta perhatiannya setelah mendengar peristiwa yang saya alami. Razak yang sudah menjadi wakil perdana menteri kemudian menginstruksikan Taib Andak dan dokter pribadinya, Dr McPherson, menjemput saya dan keluarga di Hong Kong. Mereka berdua membawa kami ke Malaysia atas permintaan Razak.
Persahabatan saya dengan Razak menjadi bahan pembicaraan di parlemen Malaysia. Awal 1970, Partai Islam (PAS), oposisi UMNO, menuduh saya mata-mata asing. Dalam pikiran saya, tuduhan ini muncul karena mereka tak pernah tahu sejarah persahabatan kami berdua.
Menanggapi isu parlemen itu, Razak hanya berkata singkat, Des Alwi seorang pengusaha. Ia tak mau menjelaskan panjang lebar. ”Saya butuh waktu 1.001 hari untuk menjelaskan tentang dirimu, Des,” ujarnya kepada saya. Tapi, Tan Sri Khir Johari dari UMNO menanggapi Razak. ”Jika saya ditanya parlemen mengenai Des Alwi, saya pasti katakan kepada parlemen yang terhormat bahwa dia adalah arsitek yang mengakhiri konfrontasi,” kata Johari.
Selain dengan mahasiswa Malaya, saya juga berteman dekat dengan beberapa jurnalis Filipina. Salah satunya Benigno ”Ninoy” Aquino yang bekerja di The Manila Times. Perkawanan itu terjadi saat saya ditempatkan sebagai Atase Pers dan Kebudayaan di Kedutaan Indonesia di Filipina. Saya mengajak Ninoy dan tiga jurnalis lainnya ke Manado menjelang meletusnya Permesta. Di sana mereka bertemu Ventje Sumual. Gara-gara ini saya dituduh mendukung pemberontakan Permesta.
Setelah Ferdinand Marcos jatuh dari kursi nomor satu di Filipina lewat People’s Power, Corazon ”Corry” Aquino, istri almarhum Ninoy, dipercaya menjadi presiden. Pemerintah Indonesia kurang memperhatikan faktor Corry sehingga sempat memberikan bantuan pesawat terbang kepada Marcos di akhir kekuasaannya dengan dalih membantu menumpas gerakan komunis.
Akibat peristiwa itu, hubungan Indonesia-Filipina agak terganggu. Saya kemudian ditugaskan melobi Corry. Hanya dengan menceritakan persahabatan saya dengan Ninoy, Corry bisa menerima Indonesia. Hubungan kedua negara pun pulih.
Saya juga berteman dekat dengan Pangeran Bernard dari Inggris serta menantu Ratu Inggris, Sarah Ferguson. Begitu pula dengan beberapa pejabat pemerintah Jepang. Persahabatan saya dengan mereka membantu saya memperkaya hobi saya: dokumentasi. Begitu kaya dan berwarna, persahabatan itu. Saya bersyukur dengan semua ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo