Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sarwono Kusumaatmadja menjadi aktivis sejak kuliah di ITB.
Ia diminta menjadi calon anggota DPR untuk Golkar oleh Pangdam Siliwangi.
Sarwono diintai oleh intelijen untuk pencalonan Sekretaris Jenderal DPP Golkar.
SAYA memilih kuliah di Institut Teknologi Bandung, Jurusan Teknik Sipil. Pilihan tersebut saya jatuhkan karena sifat lama saya: ingin menaklukkan tantangan. Menurut orang-orang yang saya tanyai, ITB adalah kampus yang susah dimasuki, dan Teknik Sipil adalah jurusan yang paling sulit, banyak dosen killer. Di kampus tersebut, saya bertemu kembali dengan kawan semasa belajar di Sekolah Menengah Atas Kolese Kanisius, Jakarta, Wimar Witoelar. Dia belajar di Jurusan Elektronika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kami masuk Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB). Pada masa perpeloncoan PMB, kami terjaring oleh para senior yang mencari calon aktivis. Saya antara lain dimentori oleh Muslimin Nasution (Menteri Kehutanan dan Perkebunan 1998-1999) serta Udaya Hadibrata. Kami dikenalkan dengan ideologi, kepemimpinan, teknik pengumpulan massa, pembuatan selebaran gelap, perang urat saraf, teknik mencuri dokumen, dan masalah lain. Saya juga aktif di pers mahasiswa. Karena kondisi ekonomi keluarga yang tidak terlalu bagus, saya pun menjadi guru les privat untuk anak-anak sekolah menengah pertama. Saya mengajar bahasa Inggris dan ilmu pasti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegiatan akademik berjalan baik, tapi tidak demikian dengan kondisi politik, sosial, ataupun ekonomi. Presiden Sukarno melawan pembentukan Federasi Malaysia dengan menyerukan Dwi Komando Rakyat dan “Ganyang Malaysia”. Ini membuat politik dalam negeri memanas. Kemudian muncul Gerakan 30 September 1965, yang kabar kejadiannya disiarkan oleh stasiun radio secara berulang-ulang pada 1 Oktober malam. Ada beberapa perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh. Para aktivis mahasiswa menduga puncak konflik sedang terbangun. Kami makin tegang dan gelisah.
Situasi politik dari hari ke hari memburuk, demikian pula ekonomi. Angka inflasi mencapai 650 persen. Pemerintah melakukan pemotongan nilai uang (sanering) dari Rp 1.000 menjadi Rp 1 pada Januari 1966. Harga bahan bakar minyak melonjak tajam, juga tarif angkutan umum. Kebijakan itu memicu kemarahan rakyat di mana-mana. Hari-hari diisi dengan demonstrasi, terutama di Jakarta dan Bandung. Pada momen yang sama, para demonstran juga mencanangkan Tri Tuntutan Rakyat atau Tritura.
Pada Maret 1966, Presiden Sukarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret alias Supersemar yang memberikan kekuasaan pemerintah kepada Jenderal Soeharto, yang waktu itu menjabat Kepala Staf Angkatan Darat. Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara 1968 kemudian menetapkan Soeharto sebagai presiden.
Kegiatan kampus terus berlanjut. Saya terpilih menjadi Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITB periode 1967-1968. Wimar melanjutkan pada periode berikutnya. Pada 1970, saya menikahi Nini Maramis, putri Max Maramis, Duta Besar Republik Indonesia di Moskow, Rusia. Saya mengenal Nini sejak masih remaja. Ia kemudian kuliah di ITB dan menjadi aktivis, sama dengan saya. Anak pertama kami, Rezal Ashari, lahir pada 1970.
Suatu waktu, para aktivis mahasiswa, termasuk saya, dikumpulkan di aula Komando Daerah Militer VI/Siliwangi. Kepala Staf Kodam VI Mayor Jenderal A.J. Witono mengajak kami memperkuat Sekretariat Bersama Golongan Karya atau Sekber Golkar (Sekber Golkar didirikan oleh golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat) dengan menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada Pemilihan Umum 1971. Jika menolak, kata dia, kami akan ditangkap.
Saya mencari tahu ihwal rumah tahanan militer. Bilik tahanan dipenuhi kecoa, cacing, lalat, dan nyamuk. Saya tidak suka makhluk-makhluk itu. Jadi, saya mengatakan kepada teman-teman, daripada dimasukin sel, mending menjadi anggota DPR. Saya berpikir, toh, kami tidak akan terpilih. Para cerdik-pandai memprediksi, sebagai peserta baru dalam pemilu, Golkar tidak akan memperoleh suara lebih dari 30 persen.
Ketika hasil pemilu diumumkan, kami kaget luar biasa. Ternyata Golkar memperoleh 62 persen suara secara nasional dan 76 persen suara di Jawa Barat. Jadi kami, yang dipasang di nomor urut tengah, masuk menjadi anggota DPR.
Sarwono Kusumaatmadja (kanan) bersama Sudharmono saat rapat pimpinan Golkar di Wisma Gelora, Senayan, Jakarta, 1987./Dok.TEMPO/Rini PWI Asmara
Saya tinggal di rumah adik saya, Ade, di Rawamangun, Jakarta, dan bepergian naik angkutan umum. Waktu itu gaji anggota DPR kecil. Pekerjaan sebagai anggota DPR praktis tidak ada. Pada 1972, saya dipanggil oleh Rektor ITB Profesor Doddy Tisna Amidjaja. Beliau mengatakan ada kebijakan baru: mahasiswa tidak boleh kuliah lebih dari sepuluh tahun.
Saya, yang sudah kuliah sembilan tahun, diminta segera menyelesaikan kuliah. Jika tidak, saya akan di-drop out. Demikian juga Nini. Ketua fraksi mengizinkan saya menyelesaikan perkuliahan. Saya dan Nini ngebut mengerjakan skripsi. Ia lulus lebih dulu. Saya lulus pada akhir 1973. Kami diwisuda pada 1974. Pada 1973 itu, anak kedua kami, Nino, lahir. Sedangkan anak ketiga kami, Devyandra, lahir pada November 1974.
Kebijakan baru perkuliahan tersebut membawa hikmah. Menjelang wisuda saya, pecah peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari). Para demonstran memprotes keberadaan asisten pribadi presiden yang dianggap berpengaruh negatif terhadap pengambilan kebijakan. Kerusuhan besar terjadi pada 15 Januari 1974.
Protes hanya terjadi di Jakarta, tapi militer mencari hubungan antara kelompok Malari di Jakarta dan di Bandung. Saya memiliki alibi bahwa saya sedang menyelesaikan skripsi sehingga tidak ditangkap. Ada beberapa kawan aktivis yang diciduk, antara lain Rahman Tolleng, Marsillam Simanjuntak, dan Adnan Buyung Nasution. Mereka ditahan di rumah tahanan militer di Jalan Budi Utomo.
Saya kembali menjadi peserta pemilu pada 1977. Kali ini saya lebih aktif berkampanye. Saya terpilih kembali. Saya yang vokal ini kemudian diberi jabatan Sekretaris Fraksi Golkar. Saya mengubah pekerjaan sekretaris fraksi yang semula mengurus administrasi rumah tangga menjadi mengharmoniskan kebijakan fraksi. Tugasnya mengatur pertemuan anggota untuk merumuskan kebijakan bersama.
Semula, perumusan kebijakan dilakukan dengan sekat-sekat. Bagian ekonomi, misalnya, langsung melaporkan usul mereka kepada pemimpin fraksi. Demikian juga bagian lain. Sedangkan urusan rumah tangga, seperti honor pegawai dan alat tulis kantor, yang semula menjadi pekerjaan sekretaris fraksi, saya serahkan kepada kepala sekretariat. Pengharmonisan kebijakan ini ternyata sangat membantu fraksi.
Pada 1983, orang dekat Soeharto, Benny Moerdani, mengatakan saya akan dicalonkan menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Golkar. Waktu itu saya menganggap saya hanya dicalonkan sebagai kuda hitam. Sebab, biasanya sekretaris jenderal berasal dari golongan TNI berpangkat panglima dengan kisaran usia pertengahan 50 tahun. Sedangkan saya orang sipil, usia pun baru 40 tahun. Saya kaget ketika nama saya benar-benar diumumkan menjadi sekretaris jenderal.
Saya bertanya kepada Pak Benny, apa kesepakatan yang membuat saya menjadi sekjen. Dia mengatakan saya harus bertanya kepada orang yang menyuruhnya menjadikan saya sekjen, yakni Soeharto. Saya kaget. Akhirnya, Pak Benny bercerita bahwa Pak Harto memerintahkan pengintaian intelijen terhadap beberapa orang untuk mencari calon. Salah satunya saya.
Pengangkatan saya adalah bagian dari rencana Pak Harto menjadikan Golkar organisasi politik sipil murni. Sebab, menurut dia, Golkar kelak bersaing dengan partai-partai baru yang namanya saja belum kami ketahui. Golkar mesti disiapkan untuk bersaing. Saya menjadi sekjen sampai 1988.
NUR ALFIYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo