Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Arab Saudi akan membangun kota masa depan Neom yang canggih.
Pemerintah menggusur paksa suku pribumi Al-Huwaiti di daerah calon kota itu.
Pemimpin suku itu tewas dibunuh dan sejumlah anggota suku diculik serta ditahan.
KOTA itu barangkali akan menjadi praja canggih pertama di dunia. Robot-robot berkeliaran melayani penduduk. Sebuah bulan buatan bersinar di atas lanskap. Kota idaman di Arab Saudi ini akan menggunakan energi bersih dan diproyeksikan menjadi pusat pengembangan riset teknologi masa depan. Namanya Neom.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kota raksasa itu akan dibangun di wilayah seluas 26.500 kilometer persegi—sekitar dua kali luas Banten—di barat laut di tepi Laut Merah. Daerah itu akan mencakup pegunungan Sinai yang berbatasan dengan Mesir dan Yordania. Pemerintah menganggarkan lebih dari US$ 500 miliar untuk pembangunan kota itu, yang didukung Dana Investasi Publik. Ini bagian dari Visi 2030 yang dicanangkan Putra Mahkota Saudi Pangeran Muhammad bin Salman. Ini adalah strategi negeri itu untuk mengembangkan perekonomian baru yang melepaskan diri dari ketergantungan pada minyak bumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut The Times, sejumlah perusahaan internasional mulai bergabung dalam proyek ini. Foster and Partners, perusahaan arsitektur yang didanai Foster of Thames Bank, klan bangsawan Inggris, misalnya, telah mempresentasikan rencana pembangunan bandar udara. Bechtel, perusahaan konstruksi Amerika Serikat, telah disewa Saudi untuk memulai pembangunan infrastruktur. Perusahaan Amerika lain, Air Products and Chemicals, telah membentuk perusahaan patungan dengan perusahaan Saudi dan Neom untuk membangun pabrik amonia dengan energi terbarukan.
John Rossant, konsultan di Los Angeles, Amerika, yang juga duduk di Dewan Penasihat Neom, menilai proyek itu sebagai alternatif bagi urbanisasi massal yang terjadi di seluruh Asia. “Ini adalah proyek urbanisasi besar utama abad ke-21,” katanya kepada The Times. “Apa pun yang Anda pikirkan tentang Putra Mahkota dan rezimnya, setidaknya ada langkah di sana.”
Pada 10 Januari lalu, Pangeran Bin Salman meluncurkan The Line, kota berbentuk garis lurus sepanjang 170 kilometer, yang merupakan proyek pertama dari Neom. Bin Salman mengatakan kota tanpa mobil dan jalan itu mampu menampung 1 juta penduduk dengan segala keperluannya. Pembangunannya akan dimulai pada awal tahun ini dengan ongkos sekitar US$ 200 miliar.
Meskipun Saudi mempromosikan bahwa kota impian itu akan dibangun di tanah kosong, faktanya daerah tersebut dihuni anggota suku Al-Huwaiti. Suku ini sudah ratusan tahun tinggal di sana. Sekitar 20 ribu anggota suku itu terancam digusur. “(Pemerintah) bahkan tak mencoba berdamai dengan suku itu, pura-pura mereka tak ada. Ini tipikal Muhammad bin Salman bertindak,” ujar Dawn Chatty, guru besar antropologi dan migrasi paksa di Oxford University, kepada Al Jazeera.
Sengketa pemerintah dengan suku Al-Huwaiti, yang menolak digusur, sudah lama terjadi dan memuncak pada tahun lalu. Konflik membesar sejak pasukan keamanan Saudi mengepung rumah Abdul Rahim bin Ahmad Mahmud Abu Al-Taqiq Al-Huwaiti, pemimpin suku Al-Huwaiti, di Kota Al-Khuraybah, Provinsi Tabuk, pada 13 April 2020. Sejumlah kesaksian menunjukkan bahwa terjadi tembak-menembak di sana sebelum Abdul Rahim terbunuh.
Dua hari kemudian, Saudi Press Agency (SPA) melaporkan bahwa Abdul Rahim tewas dalam pengepungan itu. Kantor berita pemerintah tersebut mengutip penjelasan juru bicara resmi Kepresidenan Keamanan Negara, badan intelijen dan keamanan dalam negeri Saudi, bahwa Abdul Rahim adalah buron yang menolak menyerahkan diri. Dia bersembunyi di belakang karung pasir di lantai atas rumahnya ketika penggerebekan terjadi.
Pemimpin suku Al Huwaiti, Abdul Rahim bin Ahmad Mahmud Abu Al-Taqiq Al-Huwaiti. Twitter
Abdul Rahim, menurut SPA, menembak dan melempar bom molotov ke arah petugas. Dua petugas cedera dalam insiden ini. Juru bicara Kepresidenan Keamanan Negara mengklaim bahwa mereka menemukan senapan mesin, pistol, senapan, peluru, dan 13 kotak bom molotov di rumahnya. Ia juga menyatakan bahwa tindakan ini menegaskan bahwa pemerintah akan menangani secara tegas orang-orang yang mencoba melanggar keamanan dengan cara apa pun.
Abdul Rahim menolak rencana penggusuran untuk pembangunan Neom. Dia juga menolak uang ganti rugi yang ditawarkan pemerintah. Sebelum terbunuh, dia beberapa kali mengunggah video dan pernyataan di Twitter yang mengkritik kebijakan pemerintah tersebut. “Penduduk disingkirkan dari rumahnya. Mereka tak setuju atas apa yang terjadi. Apa yang dilakukan negara dalam hal ini hanya dapat digambarkan sebagai terorisme, terorisme negara,” katanya.
Dia juga sudah memperkirakan bahwa penolakannya akan mengundang tentara. “Saya tidak terkejut jika mereka datang membunuhku di rumahku, seperti yang mereka lakukan di Mesir, lalu menaruh senjata di rumahku dan menyebutku teroris,” tulisnya. “Ini rumahku dan saya akan mempertahankannya.”
Di hari penyerangan, Abdul Rahim mengunggah video suasana di dalam rumahnya. Suara tembakan terdengar bersahutan di luar. “Tolong, rumah ini diserang,” ujarnya. Video lain menggambarkan dinding-dinding rumahnya yang penuh bekas tembakan, baik di lantai dasar maupun di lantai atas. Tembok depan rumahnya juga bolong besar.
Sepekan kemudian polisi menahan delapan anggota suku Al-Huwaiti di kota itu. Beberapa anggota suku lain, termasuk aktivis Sulaiman Muhammad Al-Taqiq Al-Huwaiti, hilang dan diduga ditahan aparat keamanan. Dua anggota suku juga ditahan pada 1 Oktober 2020 saat mereka melintasi Fahad Bin Sultan University.
Para pemimpin suku Al-Huwaiti meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelidiki kasus penggusuran tersebut. Alya Al-Huwaiti, wakil suku itu di London, Inggris, menyatakan bahwa mereka mengirim permohonan itu setelah anggota suku ditahan dan diculik pasukan keamanan Saudi. “Apa yang kami inginkan adalah agar dunia mendukung kami dalam kasus ini untuk menunjukkan bagaimana rezim Muhammad bin Salman menyiksa rakyat, menakut-nakuti rakyat,” tutur perempuan itu kepada Al Jazeera.
Infografis
Rodney Dixon, salah seorang pengacara suku yang membantu mengajukan permohonan itu ke PBB, mengatakan penggusuran tersebut adalah pelanggaran terhadap Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia PBB. “Hak-hak masyarakat yang digusur dan hak-hak kaum pribumi terkandung dalam Deklarasi, yang mengikat Arab Saudi,” ucapnya. “Kami juga berfokus pada pelanggaran hak asasi lain, ketika masyarakat diancam, diserang, dan dibunuh. Itu pelanggaran atas hak hidup dan hak atas keamanan dan hidup layak.”
Menurut Alya Al-Huwaiti, narasi pemerintah tentang pembangunan Neom berubah sejak 2016. Pada mulanya, kata dia, pemerintah menjanjikan bahwa suku Al-Huwaiti akan dilibatkan dalam pembangunan tersebut. Namun, pada Januari 2020, Pangeran Bin Salman mengirimkan utusan kepada suku Al-Huwaiti untuk menawarkan kompensasi sekitar Rp 42 juta per keluarga agar meninggalkan tanah mereka. Setelah suku itu menolak tawaran tersebut, pemerintah mulai menekan dengan berbagai cara, termasuk ancaman dan penculikan. Sejumlah tokoh suku, termasuk tujuh sepupu Abdul Rahim, diduga telah diculik dan ditahan, beberapa bulan sebelum Abdul Rahim dibunuh.
Anggota suku itu mengaku bahwa rumah mereka telah dirobohkan, listrik dipadamkan, dan kebakaran tak terduga sering terjadi. Mereka juga kesulitan mencari nafkah. “Jika anggota suku itu tinggal dan bekerja di daerah utara (tempat Neom akan dibangun), majikan mereka, yang mungkin atas instruksi pemerintah, akan memindahkan mereka ke daerah selatan,” ujar Alya.
IWAN KURNIAWAN (THE TIMES, AL JAZEERA, MIDDLE EAST MONITOR, BBC, SAUDI PRESS AGENCY)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo