Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Orang Jalanan Pelintas Zaman

Ketokohan Sarwono Kusumaatmadja, 77 tahun, melintasi rezim. Pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat ketika masih mahasiswa, dia menjadi orang sipil pertama yang jadi sekretaris jenderal dewan pimpinan pusat Golkar. Presiden Soeharto pernah mencoba menariknya masuk ke lingkaran dekat pembisiknya.  

Sarwono menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (1988-1993) dan Menteri Lingkungan Hidup (1993-1998). Sedangkan pada masa reformasi, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menunjuk Sarwono sebagai Menteri Eksplorasi Kelautan (1999-2001). Sampai sekarang, pengaruhnya masih terasa sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim serta anggota staf ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.

23 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sarwono Kusumaatmaja di Jakarta, 14 Januari lalu./TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA tak pernah betah berdiam diri. Setelah satu fase kesulitan ia taklukkan, kepalanya penuh dengan rencana berikutnya. Sarwono Kusumaatmadja, 77 tahun, menyebut itu sebagai penyakitnya. “Saya itu selalu ingin mengatasi tantangan. Ini menjadi penyakit, karena berlebihan,” kata lelaki kelahiran Jakarta tersebut saat ditemui Tempo di rumah putranya di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Senin, 11 Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berkat “penyakit” itu, Sarwono menapaki kariernya secara berjenjang melintasi rezim. Saat masih berstatus mahasiswa teknik sipil Institut Teknologi Bandung di era Orde Baru, Sarwono sudah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pada saat yang sama, ia aktif di Golongan Karya, hingga menjadi sekretaris jenderal dewan pimpinan pusat partai tersebut pada 1983-1988. Posisi strategisnya itu membuat Presiden Soeharto meliriknya masuk ke kabinet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sarwono hampir 12 tahun menjadi menteri di era dua presiden. Pada zaman Soeharto, ia menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (1988-1993) dan Menteri Lingkungan Hidup (1993-1998). Sedangkan pada masa reformasi, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menunjuk Sarwono sebagai Menteri Eksplorasi Kelautan (1999-2001).

Setelah tak menjadi menteri, Sarwono terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah dari DKI Jakarta dalam Pemilihan Umum 2004. Pada 2007, Sarwono melamar menjadi bakal calon Gubernur DKI lewat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Namun ia tersingkir oleh Fauzi Bowo, yang dipilih PDI Perjuangan untuk berlaga dalam pemilihan langsung.

Di sela kesibukannya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim serta anggota staf ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Sarwono kini senang berkebun di pipa air dan talang bekas. Ia menanam beragam jenis sayuran secara organik, seperti caisim dan pakcoi. “Saya tak mau hanya bicara soal perubahan iklim dan ketahanan pangan tanpa mempraktikkannya sendiri,” ucapnya.

Dalam dua kali pertemuan wawancara, Sarwono menceritakan kisah hidupnya tersebut. Tulisan dilengkapi cuplikan perjalanan hidupnya yang ia kisahkan dalam buku Menapak Koridor Tengah (2018).

 

***

 


SEJUMLAH orang kaget saat saya terpilih sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara periode 1988-1993. Salah satunya Mimi—begitu panggilan ibu kandung saya—yang orientasinya cenderung ke abang saya, Mochtar Kusumaatmadja. Mimi menganggap Mochtar memang pantas menjadi Menteri Luar Negeri karena pintar. Walau menyayangi saya, Mimi sepertinya tak bisa membayangkan anak keduanya ini menjadi menteri seperti sulungnya.

Saat itu usia Mimi sudah mendekati 90 tahun. Beliau mulai pikun. Bahkan, saat melihat saya tampil di televisi dengan pakaian menteri, dia menuduh saya meminjam lencana Mochtar. Saya tentu membalas dengan candaan. Saya bilang kepadanya, memang betul saya meminjam lencana Abang. Namun ternyata Mimi menimpalinya serius. Ia melarang saya terlalu sering meminjam lencana Mochtar. Norak, kata Mimi.

Ada juga ibu-ibu yang kaget melihat saya tampil di televisi. “Itu kan Sarwono, mandor kita. Kok, jadi menteri?” begitu kata mereka. Memang betul. Setelah lulus dari Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, saya sempat bekerja sebagai mandor bangunan. Sebab, ketika itu gaji sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat tergolong kecil sehingga saya mesti punya pekerjaan sampingan.

Sarwono (kanan) bersama Abdurrahman Wahid di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat, 1 Juni 2007/Dok.TEMPOFransiskus S

Saya melesap ke Kabinet Pembangunan V sebagai salah satu “orang baru”. Selain saya, ada tiga orang baru, yakni Siswono Yudo Husodo (Menteri Perumahan Rakyat), Akbar Tandjung (Menteri Pemuda dan Olahraga), dan A. Sulasikin Murpratomo (Menteri Urusan Peranan Wanita). Jabatan kami menteri negara semua.

Mungkin kami tersaring berdasarkan pengawasan Presiden Soeharto. Sebenarnya Pak Harto bisa saja memilih saya tetap di Partai Golongan Karya, naik dari jabatan saya sebelumnya, sekretaris jenderal, menjadi ketua dewan pimpinan pusat. Namun ternyata dia memproyeksikan saya ke kabinetnya sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan).

Anggaran Kemenpan ketika itu sedikit sekali, hanya Rp 300 juta. Sebab, kinerjanya semula memang pasif, hanya memberi persetujuan terhadap usul yang masuk. Adapun saat Pak Marlin (Johannes Baptista Sumarlin, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara 1973-1978) menjabat, beliau suka melakukan inspeksi mendadak—menangkap basah orang yang melakukan korupsi, menarik pungutan liar, dan lainnya. Kadang Pak Marlin menyamar, menjadi orang bernama Sidik. Beliau juga hanya memberikan pendapat mengenai hal-hal yang diajukan kementerian lain, tanpa inisiatif.

Ketika menjadi Menpan, saya mengobrol dengan para pegawai eselon I. Ternyata mereka punya banyak sekali ide, tapi tidak bisa menjualnya. Jadi, saya pikir, personel Kemenpan harus diubah. Saya memerlukan sekretaris menteri yang bagus, yang bisa menjadi koordinator kebijakan. Saya juga membutuhkan seorang kepala biro umum yang bisa mengumpulkan informasi. Saat itu, hal tersebut bukan sesuatu yang lumrah—sekretaris menteri hanya mengurusi administrasi perkantoran dibantu kepala biro umum. Menterinya juga enggak punya ide.

Sarwono Kusumaatmaja saat menjadi Menteri Pedayagunaan Aparatur Negara, dan Moerdiono, di Bina Graha, Jakarta, 1990./Dok.TEMPO/Bambang Harymurti

Saya lalu memilih Rektor Universitas Hang Tuah Surabaya, kampus Angkatan Laut, Suyoto Sutarno, sebagai sekretaris menteri. Beliau cerdas dan jurusan pendidikan doktoralnya adalah riset operasional. Dari Pak Marlin, yang waktu itu menjabat Menteri Keuangan, saya diperkenalkan kepada J.B. Kristiadi. Setelah itu, semua hal yang menyangkut kebijakan kami bicarakan bertiga: saya, Suyoto, dan Kristiadi.

Saya teringat satu kejadian. Karena pernah bersekolah di Prancis dan kenal dengan pejabat di sana, Kristiadi mengupayakan pemerintah negara itu mengundang saya. Ceritanya, untuk mempelajari program desentralisasi yang sukses diterapkan di Prancis selama 15 tahun. Saya lalu melaporkan undangan itu kepada Pak Harto. Reaksi Pak Harto lucu. Kata dia, kalau mau belajar soal desentralisasi, tak usah ke sana, cukup baca bukunya. Untung saja saya tertawa menimpalinya. Sebab, Pak Harto akhirnya paham bahwa ada udang di balik batu. Ada keinginan saya di balik undangan itu. “Situ pengin pergi, ya? Sudah lama enggak ke luar negeri?” Saya jawab, iya, mumpung ada undangan. “Pergilah sana, tapi jangan lama-lama, ya. Seminggu saja,” ujarnya. Akhirnya Pak Harto mengizinkan saya pergi.

Di sana, saya berjumpa dengan Menteri Pendayaan Aparatur Negara Prancis. Dari dia saya mengenal nama Sapta Nirwandar, orang Indonesia yang prestasinya cemerlang di sekolah kepemimpinan Prancis, École nationale d'administration. Ternyata, ketika itu dia menjabat Kepala Bagian Perlengkapan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan). Saya meminta dia dipindah ke Kemenpan, dan direstui oleh Kepala Batan. Di Kemenpan, dia menjadi Kepala Bagian Data dan Laporan.

Staf juga membuat delapan program prioritas pendayagunaan aparatur negara. Program itu disusun agar kementerian lain bisa memilih sendiri kombinasi yang mereka perlukan. Misalnya, Menteri Pendidikan membutuhkan tunjangan fungsional guru. Sedangkan yang penting bagi Kementerian Tenaga Kerja adalah analisis jabatan. Jadi saya semacam jualan program. Akhirnya, anggaran Kemenpan pun naik menjadi Rp 6 miliar.

Sarwono Kusumaatmadja berkunjung ke Pulau Intata, Talaud, Sulawesi Utara, saat menjadi Menteri Eksplorasi Laut, pada Mei 2000/Dok.TEMPO/Verrianto Madjowa

Sebagai orang politik yang masuk ke birokrasi, saya tentu memerlukan waktu untuk diterima di Kemenpan. Dari satu orang saya tahu, para pegawai tak tahu cara memperlakukan saya, “asal Bapak senang” saja, agar saya selalu meneken semua yang mereka sodorkan. Pada suatu Sabtu pagi, saya meminta semua pegawai berkumpul di kantor memakai baju olahraga. Di situ saya menyebutkan kemauan saya: berjalan cepat.

Kami pun berjalan bareng dari Veteran ke Pejompongan. Tiga ambulans saya siapkan untuk berjaga-jaga. Betul saja, saya bisa berjalan cepat, lainnya terengah-engah. Di depan saya, ada pegawai bawah yang bisa berjalan cepat. Saya menduga dia mengincar hadiah televisi. Akhirnya saya memperlambat langkah, dan pegawai itu pun menang. Setelah itu, saya bilang kepada para pegawai Kemenpan agar tak perlu berusaha menyenangkan saya. Cukup bekerja sama.

 

• • •

 

SAYA mengenal Pak Harto sejak di Golkar. Beliau di dewan pembina, sementara saya sekretaris jenderal. Ada orang bercerita, Pak Harto punya daftar orang yang kurang ajar kepadanya. Saya tak ada di daftar itu karena Pak Harto menganggap saya berbeda. Saya kalau ngomong di depan muka, bukan di belakang orang. Sedangkan komunikasi dengan Pak Harto mesti memakai bahasa isyarat. Jawa banget. Ngono yo ngono, ning ojo ngono.

Saat menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, kadang saya meminta bertemu dengan Pak Harto untuk melapor soal pekerjaan. Tapi oleh Pak Harto saya selalu diterima di kediamannya di Cendana, sekitar pukul 20.30. Padahal menteri lain dipanggil Pak Harto siang hari di Bina Graha. Laporan yang saya bawa tak pernah dia baca, padahal saya menunggu respons. Pak Harto malah mengajak saya mengobrolkan beragam topik, termasuk pengalamannya saat menjadi tentara. Ada sekitar dua bulan saya dan Pak Harto kerap bertemu malam hari di Cendana. Kadang dia yang berinisiatif mengundang saya. Obrolan kami menarik, tapi menurut saya ini aneh.

Akhirnya, saya menceritakan ini kepada Wakil Presiden Sudharmono dan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Jenderal Benny Moerdani. Pak Dar—begitu saya biasa menyapa Pak Sudharmono—menyebut saya sedang dijajaki Pak Harto menjadi orang dalam atau inner circle-nya. Namun, menurut Pak Dar, terserah saya menerimanya atau tidak. Pak Benny juga mengatakan keputusan ada pada saya. Yang jelas, kata keduanya, menjadi orang yang ada di lingkaran dalam Pak Harto itu berat.

Pak Dar mengungkapkan, sebagai orang dalam Pak Harto, ia mengetahui banyak hal, tapi harus tutup mulut. Kadang juga Pak Harto memberi perintah yang tak berkenan di hati tapi tetap harus dilaksanakan. Belum lagi saat Presiden memberi isyarat tak jelas sehingga sulit menafsirkannya. Saya tak tahu apakah kakak saya, Mochtar, juga diprospek Pak Harto menjadi orang dalam. Namun, bayangan saya, Pak Harto tak mengajak Mochtar karena pengalaman organisasinya kurang. Ibaratnya, bila Mochtar adalah ilmuwan, saya orang jalanan.

Kalau masuk ke lingkaran dalam Pak Harto, tentu saya akan makmur. Namun saya memilih menolaknya, walau sebenarnya saya tak clear mengucapkan penolakan karena Pak Harto pun tidak secara eksplisit mengutarakan niatnya. Malam itu, obrolan kami merembes ke soal perempuan. Saya merasa ini waktu yang tepat untuk menarik diri. Kalau kesempatan ini tidak saya manfaatkan, minggu depan saya bisa jadi sudah dianggap orang dalamnya. Celaka itu!

Kepada Pak Harto, saya mengucapkan terima kasih karena sudah menerima saya secara khusus selama tiga bulan. Namun sayang, laporan saya tak pernah ditanggapi. Saya juga bilang kepadanya bahwa obrolan vulgar tentang perempuan ketika itu mengusik saya. “Percakapan ini membikin saya enggak betah, Pak,” tutur saya berterus terang. Tampaknya Pak Harto menangkap sinyal saya. Sepekan kemudian, dia menerima saya pukul 10 pagi di Bina Graha, tak lagi di Cendana. Wah, lega saya.

Sarwono Kusumaatmadja saat serah terima jabatan sebagai Menteri Lingkingan Hidup, bersama Emil Salim dan Menteri Negara Kependudukan dan Ketua BKKBN, Haryonno Suyono pada acara Serah Terima Jabatan (Sertijab) Meneg KLH, Jakarta, 1993./Dok.TEMPO/ Donny Metri

Belakangan, saya tahu bahwa langkah itu tepat. Sebab, bila sampai Pak Harto sudah telanjur mengundang anggota keluarga saya makan malam di Cendana tapi saya lalu emoh menjadi orang dalam, bisa gawat kondisinya. Kalau sejak awal kita menolak, Pak Harto tak mempermasalahkannya.

Saya juga tidak senang melihat caranya mengadu domba sesama orang dekatnya. Baik Pak Benny maupun Pak Dar loyal kepada Pak Harto. Tapi suasana dibuat sedemikian rupa agar mereka berkonflik. Saat Pak Dar maju menjadi kandidat wakil presiden, Pak Benny diberi tahu informasi sebaliknya. Walhasil, Pak Benny selalu menghantam Pak Dar. Ketika saya memberi tahu info tentang Pak Dar, Pak Benny bengong. Ia bertanya mengapa saya mendapat informasi yang berbeda.

Saya mengetahui informasi itu dari juru ketik Mahkamah Agung yang mendengar soal berkas pencalonan Pak Harto dan Pak Dar menjadi presiden dan wakil presiden. “Mbok dari dulu Pak Harto bilang kalau dia maunya Pak Dar, tak dukung. Waduh, kok mentolo (sampai hati), ya. Saya kan orang kepercayaannya,” ucap Pak Benny. Jadi ya, maaf saja, saya tidak bisa masuk ke lingkaran dalam Pak Harto yang serba abu-abu begitu. Saya jadi teringat. Kalau Pak Harto sedang bercerita bahwa dia sedang mengadu orang, kedua tangannya ikut bergerak menyimbolkan suasana percekcokan. Kelihatan enjoy begitu.

 

• • •

 

SETELAH jabatan saya sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara rampung, Pak Harto bilang, “Situ jangan berpikir jadi menteri lagi, ya. Sampai di sini saja.” Saya jawab, tidak apa-apa. Namun nasib memberi saya kejutan. Pada suatu subuh, saat Ramadan, saya ditelepon Pak Harto. Beliau meminta saya kembali masuk ke kabinetnya, kali ini sebagai Menteri Lingkungan Hidup periode 1993-1998. Saya menerima pinangan itu dengan guyonan: “Bapak aja belum capek, masak, saya capek duluan?” Dia pun tertawa.

Ternyata yang mengusulkan saya menjadi Menteri Lingkungan Hidup adalah Emil Salim, pejabat sebelumnya. Tak seperti di Kemenpan, di Kementerian Lingkungan Hidup, saya tinggal melanjutkan program Pak Emil, bersama orang-orang (pegawai) beliau. Kalau Pak Emil bergerak di bidang intelektual, saya mengakarkannya. Saya hanya memeriksa isu yang belum disentuh Pak Emil, yakni soal pantai dan pesisir. Saya lalu mencari contoh nyata perlindungan pesisir dari abrasi, yakni bakau. Ketemulah lokasinya, yakni di Sinjai, Sulawesi Selatan. Petani di sana, Tayib, lalu mendapat penghargaan Kalpataru pertama untuk manajemen pesisir.

Selama di Kementerian Lingkungan Hidup, kondisi terberat yang saya alami adalah kebakaran hutan pada 1997. Pak Harto ketika itu marah kepada saya. Dia meminta saya mendukung pembukaan lahan gambut, bukan malah menghalanginya. Setelah itu, timbul ketegangan antara saya dan Pak Harto. Beliau menyebut kebakaran itu sebagai krisis saya, bukan krisisnya. Dia meminta saya membereskan hal itu sendiri sebisanya karena pada saat yang sama sedang ada krisis moneter.

Sarwono Kusumaatmadja saat menjadi anggota DPR, di Jakarta, 1980./Dok.TEMPO/Marah Sakti

Yang memihak saya ketika itu hanya Menteri Kehutanan Djamaluddin Suryohadikusumo. Saat mengetahui ada kebakaran hutan, dia membikin izin korektif: mencabut izin pemanfaatan kayu. Orang lain tidak mau tahu. Malah Direktur Jenderal Perkebunan menganjurkan pembakaran hutan untuk mempercepat penyiapan lahan. Warga dibayar untuk membakar lahan yang dipersiapkan buat area perkebunan. Begitu kebakaran hutan tak terkendali, pejabat di daerah beramai-ramai menyalahkan ladang berpindah. Kurang ajar itu.

Saya lalu memantau kebakaran dengan satelit untuk mengetahui titik perjalanan api. Saat perusahaan dipanggil, mereka menuduh orang kampung yang membakar. Padahal sebenarnya api berjalan dari perkebunan ke permukiman warga. Saya kemudian menyodorkan foto satelit. Pucat mereka. Dari pemantauan satelit, ketahuan juga ada daerah yang memiliki banyak sekali titik api. Bupatinya berbohong dengan mengatakan semua terkendali.

Tahun itu, ada buku berjudul Manajemen Gaya Soeharto. Editornya Tanri Abeng. Banyak menteri yang tidak mau memberikan testimoni. Itu pertanda kabinet sudah tidak kompak, dan sebagian menteri tak lagi segan kepada Pak Harto. Saya sendiri bersedia diwawancarai. Di situ saya bilang bahwa Pak Harto sudah tua, masyarakat berubah. Sulit baginya menyesuaikan diri. Bila membaca itu, Pak Harto pasti mengerti bahwa saya juga meminta dia “pergi”.

Pada 29 Oktober 1999, Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur memilih saya sebagai Menteri Eksplorasi Kelautan. Saya baru mengetahuinya saat Akbar Tandjung menelepon. Akhirnya, saat bertemu dengan Gus Dur, saya menanyakan alasannya. Padahal saat itu saya akan berangkat sekolah doktoral di luar negeri. Gus Dur lalu mengingatkan, pada 1986, dia pernah bilang akan menunjuk saya menjadi menteri kelautan bila suatu hari terpilih sebagai presiden. Ucapan itu terlontar karena dulu Gus Dur sering bertamu ke Sekretariat Golkar. Di sana, kami sering membahas isu kelautan. Ternyata Gus Dur masih ingat perkataannya belasan tahun lalu.

Setelah Gus Dur tak lagi menjabat presiden, saya mulai menjajaki koridor baru di politik, yakni sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah periode 2004-2009 dari DKI Jakarta. Saya penasaran, apakah orang Orde Baru bisa terpilih? Ternyata saya terpilih, bersama Pak Ginandjar Kartasasmita. Setelah itu, saya mencoba mengikuti pemilihan Gubernur DKI, tapi ternyata makan hati karena duit. Partai itu aneh. Kalau saya datang ke akar rumput, semua diskusi seru. Tapi, makin ke atas, duit yang berbicara.

Ginandjar Kartasasmita (kanan) dan Sarwono Kusumaatmadja saat sidang uji materiil (judicial review) UU Pemilu yang diajukan oleh DPD RI, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Juli 2008./TEMPO/Tony Hartawan

Akhirnya, saya menarik diri dari politik dan memilih menjadi penasihat di sana-sini, menjadi komisaris, ngamen—menjadi pembicara di seminar. Saya pernah sebentar bekerja sebagai konsultan perusahaan asing. Kemudian, pada 2014, saya diminta Bu Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, membantunya sebagai anggota staf ahli sampai sekarang. Saya mengenal Bu Siti sejak 1986 dan pernah bersama-sama di Dewan Perwakilan Daerah. Saya mewakili DKI Jakarta, sementara Bu Siti menjadi Sekretaris Jenderal DPD. Oleh Bu Siti, saya diminta menjadi ketua tim seleksi pejabat untuk reorganisasi Kementerian Lingkungan Hidup dan memimpin tim persiapan Konferensi Perubahan Iklim Ke-21 di Paris. Selanjutnya, saya juga ditunjuk menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim.

Banyak yang bilang, riwayat hidup saya seperti berjenjang. Padahal yang saya lakukan hanyalah menuruti “penyakit” saya, yang selalu ingin menaklukkan tantangan. Saya juga selalu berusaha tak kagum pada kekayaan, hidup dengan cukup.

ISMA SAVITRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus