Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sarwono Kusumaatmadja terlahir dengan kendala motorik yang membuat gerakan tubuhnya kagok.
Ia tumbuh menjadi anak pendiam, pemalu, penurut, dan takut bikin salah.
Berubah setelah dibawa ke luar negeri oleh pamannya.
SAYA lahir pada 24 Juli 1943, zaman pendudukan Jepang. Saya dan kakak saya, Mochtar Kusumaatmadja, berjarak 14 tahun. Adik saya, Sudaryati—biasa dipanggil Ade—lahir pada 1945. Kami terlahir dari pasangan suami-istri Mohammad Taslim-Sulmini Surawisastra. Ayah kami seorang asisten apoteker di Apotek de Gedeh di Pasar Baru, Jakarta. Ketika itu, profesi tersebut masuk kelompok elite yang hidup berkecukupan dan terpandang. Adapun Ibu, yang kami panggil Mimi, adalah guru. Mimi keturunan keluarga Pesantren Balerante di Palimanan, Cirebon, Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya terlahir dengan kendala motorik yang membuat gerakan tubuh saya kagok dan rawan celaka. Keluarga melarang saya naik sepeda, berenang, bahkan berjalan di kebun. Mereka mengatakan, jika ada buah yang jatuh ketika saya berjalan, buah tersebut memilih jatuh di kepala saya. Karena gerak-gerik saya yang kikuk tersebut, ada tetangga yang mencandai ketika saya berjalan. Dia menyuruh saya berhati-hati agar tidak menabrak mobil.
Saya tumbuh sangat berbeda dibanding Mochtar. Dia lelaki yang pandai bergaul, olahragawan, dan memiliki banyak kawan. Orang tua kami mengatakan bahwa mereka sudah memberikan segala macam pendidikan yang diperlukan supaya Mochtar bisa menjadi orang. Sedangkan saya, yang sejak lahir memiliki kendala motorik, tumbuh menjadi anak yang minder. Ada tiga kata dalam bahasa Sunda yang sering dialamatkan Ayah kepada saya: montong (jangan), kade (hati-hati), dan bisi (jika, dalam konteks yang menakutkan). Saya menjadi anak pendiam, pemalu, takut bikin salah, dan penurut. Akibatnya, saya cenderung dianggap enteng oleh orang.
Keluarga kami awalnya tinggal di Jalan Kramat Sentiong, Jakarta. Namun, demi menghindari pertempuran antara Belanda dan gerilyawan kita, Mimi dan anak-anaknya hidup berpindah-pindah. Kami hijrah ke Bandung, Cirebon, Tasikmalaya, hingga Palimanan—tempat asal Mimi. Sedangkan Ayah ikut berjuang menjadi anggota Palang Merah Indonesia di Tasikmalaya. Mochtar, yang kemudian masuk unit Tentara Pelajar yang dikenal sebagai Batalion 400, juga ikut berjuang di Tasikmalaya. Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, kami kembali ke Sentiong. Ayah meninggal di sana pada 11 April 1956, setelah bertahun-tahun sakit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu kali, paman saya, Soedarsono, datang ke rumah. Om Son—begitu kami memanggilnya—merupakan salah satu menteri di Kabinet Sjahrir I dan Sjahrir II. Ia juga pernah menjabat Duta Besar RI untuk Burma (Myanmar) pada 1952. Pada masa perjuangan, ia ikut berjuang untuk kemerdekaan di wilayah dinasnya di Cirebon. Namanya kemudian diabadikan menjadi nama jalan di kota tersebut.
Om Son mendapat perintah menjadi duta besar di Yugoslavia—negara tersebut bubar pada 1990-an. Dia meminta izin kepada Mimi untuk membawa saya ke luar negeri. Ia ingin menyekolahkan saya di sana. Menurut keluarga saya, hal ini adalah bentuk balas budi Om Son karena istrinya, Moespiah, adik Mimi, pernah disekolahkan oleh Mimi. Keluarga santai saja dengan permintaan tersebut. Tapi ada juga yang heran mengapa saya, anak yang serba canggung dan pemalu ini, bisa dipilih berangkat ke luar negeri.
Belakangan, sesampai di negeri tujuan, Om Son mengungkapkan kepada saya alasannya. Menurut pengamatannya, saya anak yang cerdas dan berbakat sehingga perlu diajak ke luar negeri. Dia mengatakan saya bukan tipe orang yang harus didorong-dorong dan dipaksa, tapi mesti dicemplungin. Saya sangat kaget karena tidak pernah mendengar orang menilai saya setinggi ini. Perkataan Om Son memacu saya untuk mengatasi kelemahan saya.
Usia saya 13 tahun ketika kami berangkat dengan kapal SS Willem Ruys milik Rotterdamse Lloyd. Kapal itu penuh dengan orang Belanda yang pulang. Kami mengarungi samudra selama tiga pekan.
Setelah beberapa lama di ibu kota Yugoslavia, Beogard, Om Son mengatakan bahwa ia sudah mendapatkan sekolah untuk saya di Inggris. Namanya King’s School di Gloucestershire. Ia memberi saya tiket kereta api, beberapa lembar traveller’s cheque, surat pengantar untuk kepala sekolah, dan petunjuk perjalanan. Dia berkata, “Kalau kamu anak bodoh, akan saya antar. Tapi saya yakin kamu bisa sampai ke tempat itu sendirian.” Saya bengong mendengar perkataan tersebut. Tapi ternyata ia benar, saya bisa sampai ke sekolah itu sendirian, tanpa kendala.
King’s School adalah sekolah berasrama. Saya satu-satunya orang Indonesia di sana. Kepala sekolah, Mr Mosey, menempatkan saya di kelas terendah, bersama murid-murid yang usianya dua-tiga tahun lebih muda dari saya, karena penguasaan bahasa Inggris saya yang sangat kurang. Kondisi itu membuat saya disepelekan oleh murid lain. Ini membuat hati saya panas. Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa lebih baik daripada mereka.
Wimar Witoelar (kiri) bersama Sarwono Kusumaatmaja saat kejuaraan tenis Danamon Open '96, Jakarta, 1996./Dok.TEMPO/Rully Kesuma
Saya terpaksa menjadi murid yang amat rajin untuk mengatasi ketertinggalan saya tersebut. Saya mempelajari bahasa Inggris sendirian setiap malam. Usaha tersebut membuahkan hasil. Tiga bulan setelah menginjakkan kaki di King’s School, saya dinaikkan ke kelas yang berisi murid seusia saya.
Saya tidak berhenti. Keinginan untuk unggul itu membuat saya terpacu mempelajari humaniora, mata pelajaran favorit di sana. Saya melahap banyak buku. Ikhtiar saya berhasil. Pada 1958, saya lagi-lagi loncat kelas, kali ini menjadi murid termuda di kelas. Saya menjadi murid terpandang sehingga diundang menjadi anggota klub debat. Saya berusaha menjadi pendebat yang mahir, dan saya rasa saya berhasil.
Dalam sebuah perdebatan tentang politik Prancis, saya meramalkan Charles de Gaulle terpilih menjadi presiden sekaligus meramalkan program kerjanya. Saya satu-satunya murid yang memperkirakan dia menang. Ketika itu, orang Inggris tidak menyukai De Gaulle. Beberapa bulan kemudian, ramalan saya terbukti. De Gaulle unggul. King’s School heboh luar biasa. Mr Mosey mengumpulkan semua murid dan memberi saya sebuah piala di depan mereka. Ia berkata, “Anak muda ini akan berperan penting di negerinya.”
Pada akhir 1958, keluarga mendapat kabar bahwa masa tugas Om Son berakhir dan kami harus segera pulang ke Tanah Air. Setelah kami kembali, saya mencari sekolah menengah atas di Jakarta. Rupanya, mata pelajaran unggulan di Indonesia berbeda, bukan humaniora seperti di Inggris, melainkan eksakta. Saya lagi-lagi menjadi murid terbodoh. Namun sifat saya yang selalu ingin menaklukkan tantangan muncul lagi. Saya berhasrat masuk ke kelas eksakta. Saya juga ingin diterima di sekolah terbaik di Jakarta.
Lamaran saya ke SMA Negeri 1 Budi Utomo ditolak. Kepala sekolah yang mewawancarai saya menyarankan saya masuk kelas bahasa dan sastra, sesuai dengan kemampuan saya. Begitu pun dengan SMA PKSD.
Beberapa hari kemudian, ketika lewat di depan Kolese Kanisius di Jalan Menteng Raya, saya melihat seorang pastor sedang membaca. Kanisius dikenal sebagai sekolah terbaik. Saya berpikir, kenapa saya tidak mencoba saja masuk ke sekolah tersebut. Saya sapa pastor itu. Ternyata ia Kepala Sekolah Kolese Kanisius Pater Paul Krekelberg, SJ. Pater mewawancarai saya. Dia bilang saya bisa masuk kelas bahasa dan sastra. Tapi, untuk masuk kelas eksakta, dia bilang saya gila lantaran saya tidak memiliki pengetahuan ilmu pasti.
Saya bertaruh dengan dia. “Saya minta waktu enam bulan, pasti saya bisa mengikuti semua pelajaran inti eksakta,” kata saya. Dia bertaruh saya tidak akan bisa. Akhirnya, ia memberi saya waktu enam bulan. Saya masuk kelas 1 eksakta. Dalam waktu enam bulan, saya bisa mengatasi ketertinggalan. Nilai rapor saya tidak ada yang merah. Di kelas ini, saya sebangku dengan Wimar Witoelar, yang menjadi kawan saya sampai sekarang.
Namun kemudian kondisi ekonomi membuat Mimi memutuskan pindah ke Bandung. Mochtar waktu itu sudah mengajar di Universitas Padjadjaran. Saya menjalani tahun ajaran 1962/1963, tahun terakhir saya duduk di bangku SMA, di SMA St. Aloysius, Bandung, yang terkenal sebagai SMA TOP (akronim To Our Pleasure).
NUR ALFIYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo