Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM dunia pewayangan, Franz Magnis-Suseno menyukai tokoh Adipati Karna-putra Batara Surya dan Dewi Kunti. Karna masih saudara seibu dengan Pandawa. Dalam perang Kurusetra, Karna berada di pihak Kurawa dan berhadapan dengan para putra Pandu. "Saya tidak tahu mengapa menyukainya. Dia tokoh kompleks yang tragis," ujar Franz Magnis.
Entah kebetulan entah tidak, nama Suseno yang ia pilih pada 1977 saat berganti nama dan menjadi warga negara Indonesia rupanya juga mirip nama tokoh yang ia sukai itu. Saat itu, ia bersama Romo Kuntoro Suryo Martono memilih nama Jawa dengan awalan "Su". Lalu terpilihlah Suseno. Di kemudian hari, dalang Manteb Sudarsono memberi tahu dia bahwa Karna juga bernama Karna Basuseno. "Saya juga baru tahu setelah diberi tahu beliau pada 1990. Wee lah, kok cocok."
SAYA mengenal dan menonton wayang setelah mempelajari bahasa Jawa di Yogyakarta dan menulis buku Etika Jawa. Saya mulai menonton, membaca banyak buku, dan mengikuti seminar tentang wayang. Tapi saya menonton sesekali saja. Baru setelah di Jakarta, tiap minggu kedua saya menonton wayang, sampai pagi (dalam buku Franz Magnis-Suseno, Sosok dan Pemikirannya, saat menonton, ia membawa termos kopi untuk begadang). Saya terpesona olehnya. Untuk tahu Jawa, saya sangat terbantu dari wayang.
Bagi saya, wayang bukan sekadar tontonan, tapi juga mengandung filsafat, dalam arti kebijaksanaan hidup dan pengertian tentang struktur-struktur latar belakang realitas, yang melimpah. Pertanyaan tentang makna hidup, untuk apa kita hidup, kekuatan mana yang menentukan hidup, baik dan jahat, serta tentang kebijaksanaan yang benar dan palsu. Filsafat itu dapat ditemukan dalam tiga lapisan, yakni dari ajaran-ajaran atau wejangan eksplisit, dalam karakter dan kelakuan tiap tokoh, serta keyakinan atau pandangan yang mendasari dua unsur tersebut.
Wejangan dalam wayang memang khas Jawa, tapi memuat eksistensi manusia, dimensi kemanusiaan. Sosoknya kaya dan beraneka ragam, bisa melihat ambiguitas dan kekerdilan Rama, peran punakawan. Menurut saya, yang perlu digali dengan saksama adalah keyakinan latar belakang, misalnya becik ketitik ala ketara. Di wayang, tidak ada pengampunan dan rekonsiliasi, dan darah ditumpahkan tanpa ragu-ragu. Sosok para raksasa menarik untuk dianalisis: mereka boleh, dan dianggap pantas, dibunuh tanpa rasa sayang. Padahal ada raksasa Kumbakarna yang lain sama sekali kedudukannya. Kesimpulan saya, wayang justru tidak cocok untuk didekati secara moralitas. Wayang menyediakan gambar untuk dunia fantasi yang membuat penonton berefleksi sendiri.
Filsafat wayang juga tak seluruhnya luhur. Ketika lakon Petruk Dadi Ratu (Petruk Jadi Raja) dan Semar Kuning yang minta berubah jadi ganteng, semuanya jadi kacau. Ajarannya jelas, kesatria ya kesatria, abdi ya abdi-masing-masing terhormat, tapi jangan sampai abdi berani masuk kelas atas. Wayang itu feodal sampai ke tulang sumsumnya karena berasal dari negara yang menemukan kasta.
Wayang juga tidak hitam-putih, tidak dangkal, tidak moralistis. Wayang itu, menurut saya, sangat realistis dari sifat dan kelakuan para tokohnya. Wayang juga ada sisi gelapnya. Ini terlihat dalam perang Baratayuda, dunia tanpa ampun, tanpa rekonsiliasi. Hukum karma berkuasa mutlak. Pandawa yang baik, jika bersalah mereka diampuni. Tapi tidak demikian dosa para Kurawa. Setiap kejahatannya tercatat dan pada waktunya akan ditagih. Karma berlaku tanpa ampun. Lakon ini jarang dimainkan karena berat dimensinya, dimensi kemanusiaan. Kasih sayang tidak ada di wayang. Tidak seperti di Islam atau Kristen.
Seperti di negara kita, darah mengalir dari peristiwa 1948, 1965, 1966. Belum lagi di Aceh dan Papua. Kaitannya dengan wayang, wayang itu cerminan suatu segi gelap di hati kita. Wayang membantu untuk mengerti diri kita sendiri, bertanya dan berpikir. Tapi, bagi saya, wayang merupakan warisan budaya Indonesia yang paling berharga.
Kalau dalang, saya suka Ki Manteb Soedharsono karena sabetannya. Ki Timbul juga bagus. Tapi saya anggap yang sangat menarik adalah Ki Anom Suroto. Saya juga pernah melihat Ki Narto Sabdo.
Dian Yuliastuti | Martha Warta Silaban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo