Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di usianya yang telah melampaui 80 tahun, Franz Magnis-Suseno, SJ, masih terlihat energetik. Bila tak ada undangan di luar kampus, ia memilih berjalan kaki dari rumahnya di Johar Baru menuju Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Ia masih kerap mengendarai Vespa untuk menghadiri acara-acara yang jauh dari tempat tinggalnya.
Kesibukan Romo Magnisdemikian ia akrab disapasebagai Ketua Yayasan Pendidikan Driyarkara dimulai pada pagi hari. Ia bangun pukul 05.00, kemudian mengikuti misa satu jam berikutnya, dilanjutkan sarapan dan bersiap ke kantor. Di tengah kegiatannya mengajar, tawaran menghadiri acara di luar kampus masih mengalir.
Ia ikut mendirikan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara pada 1969 dan menjadi dosen tetap. Ia mempelajari filsafat di Jerman dan teologi di Yogyakarta. Kedatangannya ke Tanah Air untuk membantu gereja dan misionaris di Indonesia, dengan pertimbangan ia memiliki keahliannya tentang komunisme. Apalagi, saat itu ancaman komunisme besar dengan adanya Partai Komunis Indonesia.
Memutuskan masuk Jesuit dan menjadi rohaniwan di Jerman pada 1955, Romo Magnis melamar agar dikirim ke Indonesia. Enam tahun kemudian, pria berdarah biru itu mendarat di Kemayoran, Jakarta. Ia pun mempelajari budaya Jawa di Giri Sonta, Ungaran; dan perdesaan Boro di Pegunungan Menoreh, Jawa Tengah. Ia fasih berbahasa Jawa dan menyukai wayang. Di kantornya yang berukuran 5 x 7 meter, terpajang antara lain tokoh wayang Adipati Karna.
Ketika belajar filsafat di Mnchen, Jerman, ia mengambil studi tentang Karl Marx untuk mempelajari komunisme. ¡±Kami mendapat dukungan gereja karena komunisme dianggap sebagai ancaman terbesar terhadap gereja pada abad ke-20,¡± ujarnya dalam wawancara dengan Tempo di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Senin pekan lalu. Romo Magnis juga aktif membangun dialog antarumat beragama. Ia kritis terhadap masalah ketidakadilan dan hak asasi manusia. Dari tangannya telah lahir pelbagai buku, dari soal etika, filsafat, hingga keberagaman.
Saya lahir dari keluarga bangsawan di Eckersdorf, Jerman, pada 26 Mei 1936. Ayah saya adalah Pangeran Ferdinand Graf von Magnis, yang menikah dengan putri Maria Anna Gräfin von Magnis, né Prinzessin zu Löwenstein. Gelar Graf kami miliki setelah nenek moyang saya menunjukkan kehebatannya selama pertempuran pada abad ke-17.
Selama delapan tahun pertama hidup saya, saya bersekolah dan tinggal di Eckersdorf yang indah, dengan pemandangan pegunungan. Namun Perang Dunia II membuat kami harus keluar dari kastil karena alasan keamanan: tentara Rusia sudah mulai masuk ke wilayah Jerman bagian timur. Kami pindah ke kastil milik kakek saya di wilayah Cekoslovakia bagian barat.
Di situ saya mengalami masa-masa akhir perang. Tiga hari kota kecil kami ditembaki artileri Amerika Serikat. Dan, pada pertengahan 1946, kami dipaksa keluar dari kastil di Cekoslovakia. Saya dan keluarga tinggal di pengungsian selama seminggu, lalu dibawa dengan truk ke Jerman Barat oleh tentara Amerika Serikat.
Akhirnya kami tinggal di sebuah hutan milik kakek (ayah dari ibu Franz) di sebelah barat Frankfurt. Kemudian tahun itu juga Ibu memasukkan saya ke Kolese Jesuit di St Blasien, Black Forest. Saya menempuh sembilan tahun gymnasium (sekolah) di sana-seperti pada umumnya orang Jerman.
Selama tiga tahun masa perang dan setelahnya saya merasakan lapar, termasuk di asrama sekolah. Pagi hari, kami hanya makan tiga potong roti tanpa lauk. Sore hari ada kul-semacam bubur-dan kadang lentil, dan setengah jam kemudian saya lapar lagi. Bagi saya, pengalaman merasakan kurang makan itu sangat berharga, sehingga saya tahu sedikit rasanya orang-orang yang kelaparan.
Pada hari libur sekolah, saya pulang ke rumah: bermain (sepak bola), membaca buku, dan tidur. Di keluarga kami selalu ada tradisi makan bersama. Setelah itu kami duduk bersama dan Ibu mulai membacakan buku selama setengah jam, kemudian kami membaca sambil mengobrol dengan kedua orang tua.
Ibu adalah pribadi yang hangat dan sangat menjaga kami pada saat Ayah berperang. Ia mengorganisasikan 0lembaga swadaya masyarakat yang membantu pengungsi, antara lain menukar baju dengan sepatu. Ia pandai menyulam dan saya masih menyimpan baju hangat (pullover) buatannya, yang usianya kini sudah 40 tahun dan saya pakai kalau ke Eropa.
Adapun Ayah seorang tentara yang ikut perang dan pernah menjadi tahanan Rusia, tapi dilepaskan pada 1948. Kondisi Jerman membaik dan melakukan reformasi keuangan pada Agustus 1948. Toko-toko mulai menjual barang.
Orang tua saya mengajari kami membaca buku seperti umumnya orang tua di Jerman. Saat liburan saya manfaatkan dengan membaca banyak buku: detektif, sastra, dan literatur Jerman. Kebiasaan membaca buku itu terus berlangsung hingga saat ini. Kira-kira, dalam setahun, saya membaca 40 buku.
Pada 1955, saya selesai di gymnasium dan memutuskan masuk Serikat Jesuit menjadi rohaniwan di Jerman. Pada 1957-1960, saya belajar filsafat-studi yang biasa dilakukan anggota Jesuit-di Pullach, desa di sebelah selatan München.
Saya mengambil ilmu tambahan tentang Karl Marx di Pullach, yang diberi nama Akademi Timur (negara komunis), untuk mempelajari komunisme. Ini dalam rangka antikomunis, karena Jesuit harus punya patokan "Bagaimana Musuh Berpikir". Ordo Jesuit di Eropa punya beberapa ahli komunis tingkat tinggi yang diakui secara internasional.
Kami juga mendapat dukungan gereja, karena komunisme dianggap sebagai ancaman terbesar terhadap gereja pada abad ke-20, termasuk di Indonesia. Kondisi itu memotivasi saya melamar ke Indonesia pada 1959. Saya ingin membantu gereja dan misionaris Katolik di Indonesia dengan pertimbangan saya memiliki keahlian tentang komunisme. Adapun kami juga menerima 2-3 surat dari Romo muda Jesuit Jerman di Indonesia tentang kondisi Indonesia.
Sampai akhirnya, pada Januari 1961, saya mendarat di Kemayoran, Jakarta. Sejak saat itu, saya tinggal di Indonesia. Lalu saya mulai belajar budaya Jawa untuk bisa memahami Indonesia. Selama 13 bulan, saya belajar bahasa Jawa: 9 bulan di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah, dan sisa 3 bulannya di sebuah paroki kecil di perdesaan Boro, kaki Pegunungan Menoreh. Di sana saya selalu berbahasa Jawa.
Baru kemudian saya belajar bahasa Indonesia, yang menurut saya lebih mudah dibanding bahasa Jawa. Perlahan saya juga mulai menyukai wayang-warisan budaya Jawa yang sudah ditetapkan UNESCO. Saya menyukai tokoh wayang Adipati Karna-pribadi yang tragis, kompleks tapi berbudi luhur.
Saya kemudian melekatkan nama Suseno di belakang nama saya setelah mendapatkan kewarganegaraan Indonesia pada 1977. Saya dulu ngebyar (nonton wayang sampai selesai) juga sesekali di Ancol, Jakarta.
Pada 1962-1964, saya ditugasi ke Kolese Kanisius Jakarta. Saya bertugas menjaga tata tertib murid. Saya berhasil menghafal 500 nama siswa setelah dua tahun. Dari yang mencolok, seperti terlambat dan nakal, hingga yang biasa saja. Saya ingat sampai sekarang. Salah satunya Akbar Tandjung, yang kemudian menghubungkan saya dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 1970-an.
Pada 1964-1968, saya mengambil studi teologi di Yogyakarta. Pada 31 Juli 1967, saya ditahbiskan sebagai imam (romo). Kedua orang tua saya datang, dan tinggal selama tiga setengah pekan. Hati mereka tenteram setelah melihat Indonesia secara langsung-negara yang saya pilih.
Dua tahun kemudian, sebagai romo yang masih muda, saya ditugasi oleh Romo Sunaryo ikut mendirikan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Saya ikut membantu mencari duit untuk membangun sekolah ini, termasuk dari teman yang merupakan pemimpin perusahaan Jerman besar di Indonesia serta jaringannya.
Di kampus, saya memberi kuliah tentang etika. Pada 1970, Akbar Tandjung, yang menjabat Ketua Umum HMI, mengajak saya ke HMI, lalu saya berkenalan dengan Nurcholish Madjid, yang kemudian mengajar Islamologi di Driyarkara, sebelum ke Amerika. Lama-kelamaan jaringan saya meluas. Berkenalan dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Hingga sekarang saya pun sering diundang dialog antaragama di berbagai tempat.
Mantan Ketua Partai Golkar Akbar Tandjung menaruh hormat kepada Romo Franz Magnis-Suseno, yang pertama kali dikenalnya sebagai pastor pamong di SMA Kolese Kanisius, Menteng, Jakarta. Ia mengatakan Romo Magnis dikenal di kalangan pelajar karena kedisiplinannya.
Suatu kali, Akbar dan temannya terlambat datang ke sekolah. Ia menghadap Romo Magnis di kantornya dan ditegur atas keterlambatan tersebut. "Lalu saya dan teman diberi sanksi untuk menulis cerita," kata Akbar kepada Tempo, Rabu malam pekan lalu. Kala itu Akbar terlambat karena menunggu temannya menjemput.
Akbar menuturkan, Romo Magnis juga pengajar etika dan disiplin. Kemudian Romo Magnis, melalui perantaraan teman Akbar di Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dihubungkan untuk berkomunikasi dengan Nurcholish Madjid, yang memiliki pemikiran baru tentang Islam, pada 1971. Saat itu Akbar menjadi Ketua HMI. "Waktu itu Romo mengatakan bangga dengan pencapaian saya," ujarnya.
Akbar, yang memiliki sekolah kepemimpinan politik, bahkan meminta Romo Magnis mengajar etika politik di kampusnya. Sebab, menurut dia, kiprah Romo Magnis sudah diakui sebagai budayawan, yang bahkan mengetahui etika Jawa secara mendalam.
Pada 1971-1973, saya mengambil gelar doktor di Universitas Maximilian München, Jerman. Selesai dalam waktu 22 bulan dengan predikat summa cum laude. Saya gembira. Disertasi saya berjudul "Normative Voraussetzungen im Denken des jungen Marx (1843-1848)".
Bagi saya, ada gunanya menspesialisasi diri dalam kajian Karl Marx di Indonesia, yang pernah memiliki partai komunis dalam sejarahnya. Saya juga menulis buku-buku tentang Marx supaya orang tahu secara obyektif tentang Marx, Lenin, dan Mao Tse Tung. Buku diterbitkan setelah Soeharto lengser pada 1998.
Bagi saya sendiri, Marx itu tidak berbinar-binar. Beberapa teman saya heran karena saya Marxolog tapi tidak percaya terhadap teori Marx. Namun pemikiran Marx perlu diketahui karena Lenin memanfaatkan pengaruhnya untuk komunisme.
Saya sendiri menganggap komunis sebagai ancaman besar. Pada 11 Maret 1966, peristiwa Supersemar, saya gembira komunis dilarang mulai keesokan harinya. Saya berpendapat perang ideologis Indonesia dengan komunis pada saat itu besar.
Komunisme jangan dikembalikan lagi, sekalipun proxy war. Simbol palu-arit itu dilarang, jangan dipakai lagi. Meski bagi saya, negara seharusnya meminta maaf atas pembunuhan, mungkin 1 atau 2 juta orang korban yang tidak bersalah karena mereka ikut aliran besar komunisme, seperti para Gerwani.
Pendapat saya ini didasarkan pengalaman Jerman, yang pada abad ke-20 menjadi negara yang mengerikan dengan Nazi. Hitler mengakui kesalahan atas kematian sekitar 3 juta orang, 12 juta orang kehilangan tumpah darah, termasuk keluarga saya, yang kehilangan semuanya.
PADA waktu senggang, saya memilih mendaki gunung. Saya pernah mendapatkan rekor Muri dari Jaya Suprana sebagai rohaniwan yang mencapai gunung di atas 3.000 meter. Saya kira-kira sudah mendaki gunung secara vertikal sejauh 222 kilometer. Terakhir kali, saya mendaki Gunung Merapi untuk ke-12 kalinya pada 2012, setelah meletus. Di Indonesia, dalam setahun, saya mendaki 5-6 kali, di antaranya Gunung Pangrango, Gunung Dempo, Gunung Marapi di Sumatera Barat, Gunung Kerinci, Gunung Rinjani, dan Gunung Agung.
Kesukaan mendaki gunung itu diawali ketika saya berusia 21 tahun, saat noficiat (kehidupan dua tahun rohaniwan) di Pullach. Sekitar 60 kilometer dari desa itu adalah Gunung Alpen. Pukul dua pagi, saya dan beberapa teman berangkat ke Gunung Alpen dan kembali malam hari ke asrama. Tapi fisik harus kuat. Saya sejak sekolah dulu menyukai atletik dan gemar berolahraga. Namun sekarang lutut saya terkena osteoporosis, sehingga saya memilih olahraga sepeda statis dengan teknik. Saya bersepeda pada sore hari, sekitar lima kali seminggu. Saya tidak ada pantangan makanan dan minum kopi Kapal Api.
Di usia menjelang 81 tahun, saya masih aktif menghadiri undangan di dalam dan luar negeri, antara lain mengenai etika, demokrasi, filsafat (Marxisme), hak asasi manusia, dan dialog antarumat beragama.
Pada Mei mendatang, saya diundang ke Jerman. Saya akan menyempatkan diri mengunjungi keluarga. Keempat adik perempuan saya masih hidup. Kami keluarga besar dengan cucu dan cicit dari keluarga saya mencapai ratusan. Mereka menyebar di seluruh Jerman, Spanyol, Austria, Portugal, Prancis, tapi jarang ketemu.
Di usia senja ini, saya berpikir bertemu dengan keluarga menjadi sesuatu yang penting. Dibanding ketika saya masih muda, ketika saya melepaskan diri dengan damai dari keluarga. Karena saya menjadi rohaniwan, yang kemudian melepaskan keduniawian saya, termasuk warisan keluarga. Seperti Jesuit lainnya, saya ingin dimakamkan di Girisonta, bila tugas telah selesai.
Martha Warta Silaban | Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo