Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Penjaga Keberagaman Umat Beragama

Ia gigih membangun dialog antarumat beragama dan keberagaman. Kritis terhadap masalah ketidakadilan dan hak asasi manusia. Menolak Achmad Bakrie Award.

20 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

November tahun lalu, dalam upacara di Universitas Sacro Cuore, Italia, Franz Magnis-Suseno, SJ, menerima anugerah Premio Internazionale Matteo Ricci atau Matteo Ricci Award (MRA). Sebuah pengakuan, apresiasi atas perannya dalam memajukan dialog antarumat beragama di Indonesia. Penghargaan itu diserahkan oleh Dewan Fakultas Sosial universitas yang didirikan Pastor Agostino Gemelli pada 1921 itu. Matteo Ricci Award adalah penghargaan yang terinspirasi jasa Pastor Matteo Ricci (1552-1610), misionaris sekaligus ilmuwan matematika dan astronomi Katolik dari Italia yang menjadi lambang ideal dari persaudaraan antarmanusia.

Pada kesempatan itu, Franz Magnis menyampaikan kuliah umum (Lectio Cathedrae Magistralis) dengan tema "Bearing Witness to the Gospel in a Muslim Society. A Learning Process", yang menceritakan pengalamannya sebagai misionaris Jerman menyelami kehidupan masyarakat Jawa hingga kemudian ia memilih menjadi warga negara Indonesia pada 1977. Ia juga berkisah tentang pendekatan terhadap keberagaman.

Sebenarnya kegiatan dialog antaragama dan keberagaman yang saya lakukan berjalan begitu saja, seiring dengan pertemuan dengan para tokoh agama lain, baik Islam maupun Kristen. Awalnya memang dari Akbar Tandjung. Setahun di Jakarta, dia menghubungkan saya dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Setelah itu, saya bertemu dengan Cak Nur (Nurcholish Madjid), lalu Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Saya berkenalan dengan Gus Dur pada 1980-1990. Saya sering naik Vespa ke tempat beliau di Ciganjur (Jakarta Selatan). Kami berbicara tentang berbagai masalah, dari etika politik, demokrasi, hingga hak asasi manusia. Kadang-kadang saya juga diminta berbicara tentang Marxisme.

Semasa Presiden Soeharto, hubungan antaragama lebih ke Islam. Muncul banyak hal, seperti ada peradilan agama. Bermula pada 1980 dengan munculnya bahasan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang diterima organisasi agama. Setelah Pak Harto merapat ke Islam, saya kemudian ikut forum demokrasi. Lalu ada juga tema yang berubah-ubah dalam hubungan antar¡©agama itu. Seperti terjadi serangan besar gereja-gereja di Situbondo, Tasikmalaya, Rengasdengklok, dibiarkan oleh pemerintah Soeharto. Saya anggap ini sebagai tanda, kalau Katolik sebagai oposisi, jangan macam-macam.

Pada 1996, saat kejadian gereja Kristen dan Katolik dihancurkan di Situbondo, Jawa Timur, seorang pastor muda, Romo Benny Susetyo, kemudian melakukan pendekatan kepada Nahdlatul Ulama. Tahun berikutnya hubungan Katolik-Protestan dan NU pun membaik. Lalu pada 1998 hubungan kami dengan Muhammadiyah juga membaik. Ketua Muhammadiyah saat itu, Amien Rais, juga mengundang saya menyaksikan pendirian Majelis Amanat Rakyat (Mara), yang menjadi cikal-bakal Partai Amanat Nasional (PAN). Sebagai rohani¡©wan, saya diundang menyaksikan tapi saya menolak bergabung sebagai pendiri.

Dalam 20 tahun ini masalah antarumat membaik. Hubungan Kristiani dengan Islam sudah lebih baik. Saya kira ini perlu dalam rakyat yang berdemokrasi, saling percaya, tidak curiga satu sama lain. Jika ada masalah atau konflik lokal dengan umat Islam, lebih baik kami menghadap ke NU atau Muhammadiyah ketimbang ke polisi. Itu lebih kondusif, bisa dibendung dan lebih sehat. Dialog antarumat beragama juga dilakukan oleh beberapa romo dengan tinggal di pesantren. Atau, sewaktu terjadi tsunami di Aceh, misalnya, Romo Ismartono bekerja sama dengan lembaga swadaya muslim. Ini juga agar tidak menimbulkan kecurigaan Kristenisasi, jadi tidak ada masalah.

Intinya membuka diri dan membangun komunikasi. Baik yang mayoritas maupun yang minoritas membuka diri, membangun komunikasi, saling belajar. Kami suka ketemu dengan Hasyim Muzadi. Saya juga kenal baik dengan Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat. Saya minta mereka mengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara atau saya mengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Lalu saya bersama Musdah Mulia ikut dalam dialog agama di luar negeri. Saya menghormati dan menghargai beliau. Sering bersama dalam kajian interfaith. Saya juga menjadi anggota Indonesia-German Advisory Group (IGAG)-salah satu program Kementerian Luar Negeri RI pada 2014-2015.

Franz Magnis terus gigih berbicara tentang kerukunan umat beragama dan kemajemukan seperti yang dicita-citakan Pancasila. Seperti yang ia tuangkan dalam bukunya, Berebut Jiwa Bangsa Dialog Perdamaian dan Persaudaraan. Ia menulis, Pancasila merupakan kesepakatan rakyat Indonesia untuk membangun sebuah negara, tempat semua warga jadi tempat kedudukan, sama kewajiban, sama hak. Jadi tempat semua warga masyarakat, tanpa diskriminasi, tanpa membedakan agama masing-masing (dan implikasinya tanpa membedakan suku, ras, etnis, jadi tanpa membedakan antara warga mayoritas dan minoritas, merupakan warga negara sepenuhnya). Karena itu, setia pada yang mendasari Indonesia, Pancasila, dan yang dirintis dari Sumpah Pemuda, berarti kesediaan untuk menata bangsa ini secara inklusif, bukan secara eksklusif.

Menurut saya, kemampuan bertoleransi merupakan kemampuan sosial yang paling penting untuk terus dikembangkan dalam masyarakat, melawan segala kecenderungan kepada sikap-sikap eksklusif sektarian. Sejak kecil, manusia Indonesia perlu dididik untuk bisa bergaul enak dengan saudara sebangsa yang berbeda suku, adat, bahasa ibu, agamanya, atau berbeda dalam penghayatan agamanya yang sama tanpa terus menjadi marah. Tendensi akhir-akhir ini untuk menyekat orang, melarang anak bergaul dengan anak agama lain, mencela orang yang ikut gembira dengan hari raya saudara, perlu dilawan.

Berbahaya jika Pancasila tidak dihayati, apalagi melibatkan masalah emosi. Intoleransi bertambah karena ada kelompok yang berbeda dianggap sebagai ancaman. Belakangan ini, hal itu menjadi semakin kompleks. Di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari ditentukan oleh persaingan, tidak diperlakukan dengan adil, di lain pihak juga ada identitas politik. Tak hanya di masyarakat global, di Indonesia juga mengalami itu. Menurut saya, perlu ada beberapa pendekatan, yakni terus diusahakan keadilan. Kalau pada dasarnya diperlakukan secara adil, tidak akan larut dalam identitas politik. Selain itu, tokoh agama harus menyuarakan sikap inklusif. Mereka yang menghasut perlu ditindak. Orang kecil di Indonesia ini tidak menuntut banyak-bahwa dia dan keluarga bisa hidup, makan, bekerja, dan terjamin. Jadi tidak mudah iri hati.

Tak hanya soal etika dan kerukunan umat beragama, Franz Magnis juga aktif mengkritik banyak kebijakan dan isu hak asasi manusia, seperti soal Undang-Undang Anti-Pornografi, penggusuran, kemanusiaan, dan keadilan. Atas kegigihannya itu, ia mendapatkan Roosseno Award pada 2015. Penghargaan itu diberikan karena ia dinilai memberi inspirasi di bidang kemanusiaan demi kesejahteraan lahir-batin masyarakat Indonesia.

Pada tahun yang sama, Franz Magnis juga mendapat penghargaan Bintang Mahaputera dari Presiden RI. Dari pemerintah Jerman, ia lebih dulu dianugerahi Bintang Jasa Kehormatan "Das Große Verdienstkreuz des Verdienstordens" pada 2001. Pada 2007, ia juga mendapat Achmad Bakrie Award untuk bidang pemikiran sosial. Tapi Franz Magnis menolaknya.

Saya berpendapat lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, kemungkinan besar adalah kesalahan manusia, yang membuat rakyat menderita. Saya tidak mau menerima hadiah yang ada kaitannya dengan itu. Perusahaan Lapindo tidak mau membayar, menolak tanggung jawab kepada rakyat, kok saya terima? Saya merasa malu jika saya menerima hadiah itu.

Dian Yuliastuti | Martha Warta Silaban

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus