"SAYA paling benci melihat WNI keturunan Cina yang hanya
mementingkan diri sendiri," kata Yohannes Darmawan Jayakusuma
alias The Twan Lien, 81 tahun. Siapa dia?
Lahir di Tulungagung, dibesarkan di Surabaya. Tahun 1940
kalangan Cina Surabaya mengenalnya sebagai jago silat, tapi
pemerintah Belanda waktu itu mencurigainya sebagai komunis --
sebagaimana dibisikkan dr. Soetomo, yang lantas menyuruhnya
sembunyi di Yogya. Ia ngumpet di sana bersama keluarga.
Jaman Jepang masuk Gunsei Kanbu (AL), ditempatkan di Cilacap.
Sejak 1943 mengaku sering bertemu Pak Dirman, "tapi jarang orang
yang tahu," tuturnya sambil menambahkan dengan bangga, bahwa
dialah satu-satunya orang Cina yang dipercaya Pak Dirman.
1946-1949, tergabung dalam kesatuan Gubernur Militer Daerah
Istimewa Yogyakarta di bawah Sri Sultan. Yohannes menjadi Kepala
Keamanan dan intel dengan pangkat letnan II. "Sebagai intel saya
tidak dikenal teman-teman maupun keluarga," ujarnya. "Intel dulu
memang begitu. Satu-satunya orang sipil yang tahu bahwa saya
intel Pak Dirman hanya Ibu Dirman."
Tahun 1950, setelah KMB, mengundurkan diri. Sekarang penasihat
pada Proyek Perikemanusiaan RI (Properi) yang berpusat di
Surabaya. 20 hingga 25 Juli lalu, ia ikut melacak jejak Pak
Dirman dari Pakisbaru Pacitan sampai Kediri. Tapi karena sudah
tua, hanya di atas mobil -- sebab untuk berjalan ia tak kuat
lagi.
Meski begitu, di rumahnya di Surabaya dia masih aktif. Hampir
setiap hari melatih kungfu pada murid-muridnya sekitar 250
orang, di antaranya anggota Brimob dan Marinir. "Untuk cari
nafkah penyambung hidup," katanya. Dia pun menjual ramuan obat
Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini