"LHO, kok tidak ada gong. Setiap saya membuka pameran biasanya ada gong," kata Fuad Hassan. Lalu ia menghampiri istrinya, dan menitipkan rokok yang masih menyala -- karena asbak juga tak ada. "Mari kita tepuk tangan bersama sebagai tanda pameran ini resmi dibuka," ajak Fuad. Plok, plok, plok. Lalu ia mengambil rokok yang dititipkan tadi, menyulutnya sebentar, dan berpidato. "Saya ingat betul, bagaimana di gedung ini kita menyelenggarakan diskusi-diskusi. Jadi, Horison sudah berumur 20 tahun, gedung ini tak nampak berubah, tidak seperti stadion sepak bola kita, umpamanya," pidato Fuad, di gedung Balai Budaya, Jakarta, dalam acara peringatan 20 tahun majalah sastra Horison. "Maaf, teman-teman saya ke sini berpakaian formal. Dulu, ya, biasa ke sini pakai kaus oblong, sekarang perlu jas lengkap dan dasi. Biarlah ini menjadi tanda dari perubahan." Lalu, Menteri P dan K yang akrab dengan sastrawan ini diajak melihat-lihat pameran yang berisi 33 jenis majalah sastra dan kebudayaan yang pernah terbit di Indonesia. Sebelum itu, Mochtar Lubis dan Taufiq Ismail menggiring Fuad menuju sebuah lukisan. Mochtar menyebut lukisan itu "kaligrafi". Fuad pun tertawa. "Apa, sih, itu? Apa, sih,?" Nyonya Fuad penasaran. Fuad melepas kaca matanya dan dipasangnya di mata istrinya. "Apa, jih,?" istrinya tetap tak paham. "Ah, masa nggak tahu, coba amati," kata Fuad. Ternyata, bukan lukisan kaligrafi. Itu coretan Fuad yang dibuatnya ketika membuka pameran lukisan Alam Minangkabau, April lalu, di gedung yang sama. Dan yang mirip kaligrafi itu, tanda tangan Fuad Hassan. Rupanya, ada seorang sastrawan yang mengoleksi tanda tangan itu, lalu disertakan dalam pameran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini