INI baru UT, Universitas Terbuka yang benar-benar terbuka. Siapa saja yang berijazah SMTA, ditanggung bisa masuk, kapan saja. Tak seperti sebelumnya, mulai tahun ini pintu UT terbuka setiap hari, sepanjang tahun. Lagi pula, ijazah SMTA itu tak akan dilihat nilainya -- asal ijazah asli, bukan palsu, silakan masuk. Diperkirakan, dengan pintu yang terbuka lebar ini, tahun ini UT akan mendapat tambahan 125 ribu mahasiswa baru. Keterbukaan lain adalah dihapuskannya sistem tahun ajaran dan sistem semesteran. Ini berarti, terbuka peluang untuk menjadi mahasiswa abadi. Itu boleh karena si mahasiswa ogah-ogahan, atau mempunyai tingkat kecerdasan yang hanya pas-pasan. Tapi, sebaliknya, bagi mahasiswa yang mampu, terbuka kesempatan untuk mempersingkat waktu belajar. Soalnya, UT akan menyelenggarakan ujian tiga kali dalam setahun. Menurut Rektor UT, Setijadi, maksud diadakannya perubahan -- yang berlaku mulai September nanti -- tak lain demi penyempurnaan. "Sistem lama terlalu kaku," ujarnya kepada TEMPO. Padahal, tujuan UT bukan semata-mata menjaring membludaknya tamatan SMA yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tapi tak bisa masuk perguruan tinggi negeri karena gagal di tes Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru. Atau, tak mungkin ke swasta karena biayanya mahal. Bukan pula untuk sekadar memberi kesempatan bagi karyawan, khususnya pegawai negeri, untuk beroleh gelar agar bisa naik pangkat. UT dibuka, juga untuk pemerataan memperoleh pendidikan tinggi bagi masyarakat luas. Singkat kata, UT memang tambah terbuka, termasuk dalam hal konsep dasarnya. Perubahan, atau perkembangan, itu memang wajar. UT berbeda dengan perguruan tinggi biasa. Mahasiswa di sini tak perlu pergi ke kampus setiap hari, karena ini jenis universitas yang tak punya ruang kuliah. Mereka cukup belajar di rumah, di kamar mandi, atau saat jam istirahat di kantor. Dari sekitar 115 ribu mahasiswa UT yang tercatat kini, menurut Setijadi, 7% memang berstatus karyawan. Mereka umumnya juga sudah berkeluarga. Dari segi ini saja, sulit diharapkan mereka bisa belajar secara teratur seperti mahasiswa umumnya. Maksud Rektor ini, perkembangan konsep UT kini bukan sok gaya, tapi memang didasarkan pada kenyataan. Bayangkan, bagaimana mahasiswa yang pegawai itu bisa konsentrasi ujian, bila anak sakit, uang belanja habis, atau pekerjaan sedang menumpuk? Setijadi berkesimpulan, terhadap mereka perlu diberi kelonggaran. Mahasiswa yang tak bisa menyelesaikan semua pelajarannya dalam suatu semester tak usah memaksa diri harus ikut semester berikutnya agar tak gugur sebagai mahasiswa. Ia masih bisa memilih mata kuliah baru yang kira-kira bisa diikuti, sembari mencoba menyelesaikan tunggakannya. Pokoknya, tak perlu ngoyo kalau memang tidak sanggup, kata bekas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen P & K itu. Bagi mahasiswa lama, registrasi sepanjang tahun juga diberlakukan. "Untuk menghindarkan kekacauan administrasi," seperti dikatakan Setijadi. Berdasar pengalaman di UT yang mulai dibuka September 1984, cukup banyak mahasiswa yang tidak mendaftar ulang karena terbentur soal biaya. Kini, mahasiswa tak usah takut namanya dicoret. Mereka tak usah buru-buru, atau berutang kiri-kanan hanya untuk mendaftarkan kembali nomor mahasiswanya. Sudah barang tentu kemudahan-kemudahan itu disambut baik oleh para mahasiswa UT. "Itu, terutama, akan cukup meringankan mahasiswa yang nyambi bekerja," tutur Ratnawati, 29, yang mengambil program studi Statistika Terapan. Dia sendiri, seorang sarjana biologi, kini bekerja di pabrik farmasi di Jakarta. Juga tentang waktu ujian yang diselenggarakan tiga kali dalam setahun, itu akan membuat mahasiswa bergairah untuk belajar. Yang bakal terangsang, dan bisa memanfaatkan peluang ini, memang mahasiswa UT yang baru tamat SMTA, yang cukup cerdas dan belum mempunyai tanggungan. Boleh diharapkan, bila singkatnya waktu untuk memperoleh gelar ternyata mungkin dijalani, bakal banyak tamatan SMTA menyerbu UT. Guna memenuhi permintaan, tahun ini UT membuka pula delapan jurusan baru, yakni mulai tahun kuliah 1986/1987 ini. Yaitu empat di program non-kependidikan (Matematika, Manajemen, Administrasi Pembangunan, Perpajakan), dan empat lagi program kependidikan (Luar Sekolah, Olah Raga dan Kesehatan, Bahasa Indonesia, Biologi). Maka, kini UT punya delapan jurusan di program non-kependidikan, dan 15 jurusan di kependidikan. Tak semua perkembangan di UT membuat hati terbuka. Salah satu yang mungkin bisa menjadi ganjalan mahasiswa atau calon mahasiswa, yakni naiknya uang kuliah. Bagi mahasiswa yang mengambil 12 SKS naik dari Rp 25 ribu menjadi Rp 40 ribu. Sedangkan bagi yang mengambil 18 SKS naik dari Rp 40 ribu menjadi Rp 60 ribu. Kenaikan sebegitu dinilai oleh Ratnawati, yang tadi sudah disebut, sebagai, "Cukup mahal." Banyak, memang, mahasiswa -- khususnya karyawan yang bergaji pas-pasan -- yang mengeluh mendengar kenaikan ini. "Bagaimana, ya? Dengan jumlah uang kuliah yang lama saja, kami terpaksa menghemat. Sekarang, tak tahulah," ujar seorang mahasiswa UT, seorang pegawai negeri, yang telah berkeluarga, yang tak mau disebut namanya. Yang agak diragukan bisa dilaksanakan adalah ujian yang tiga kali setahun. Sebab, seperti dikatakan Rini, 22, dari Bandung, yang mengambil Jurusan Ekonomi, ujian yang sekarang ini saja sering diundur-undur. Memang tak ada perkembangan tanpa cacat, apalagi bila usia baru sekitar dua tahun. Tapi inilah sebuah harapan, sebuah kemudahan untuk lahirnya sebuah masyarakat belajar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini