KARENA diburu waktu, 3 Februari itu ia ngebut dengan Fiat 124
dengan kecepatan 140 km/jam -- Bandung-Jakarta. Untuk menghadiri
pertemuan alumni Sekolah Tinggi Theologi Makassar. Dan meskipun
merupakan orang paling muda, ia diharuskan memberi ceramah di
situ.
"Untung saya banyak belajar theologi. Jadi saya cukup menguasai
masalah," ujar lelaki 35 tahun itu, Remy Sylado, novelis pop,
musikus, orang teater, penyair dan entah apalagi. "Ayah saya
pendeta dan pernah mengajar di sekolah itu. Dan ibu saya
pimpinan asramanya. Karena ayah sudah meninggal, sayalah yang
diminta berceramah."
Tengah malam ia kembali ke Bandung. Dan besoknya sakit keras.
Selama 3 minggu ia tak berkutik di sisi Marie Louise, gadis
Semarang yang dinikahinya 1976. Ia terserang flu berat. Dokter
menyuruhnya masuk rumahsakit, tapi ia memang mbeling. "Selama
hidup saya belum pernah, jangan, dan tidak mau masuk
rumahsakit," katanya.
Begitu sembuh, pimpinan grup Dapur Theater 23761 itu langsung
ngebut lagi: bikin novel. Untuk bayar utang pada penerbitnya. Ia
juga tengah menyiapkan sebuah naskah drama. "Sesudah itu saya
akan tinggalkan teater dan konsentrasi pada novel." Dunia musik
juga akan ditinggalkannya setelah baru saja merampungkan album.
Nyanyian Para Bajingan -- campuran bau-bau musik klasik Barat,
Sunda, Jawa, Arab, Cina dan Bali. "Musik indo ini merupakan
cerita tentang tokoh-tokoh yang terbunuh tapi legendaris,
termasuk tentang Kusni Kasdut," katanya.
Kenapa berhenti main musik? "Umur 35 menurut ukuran Indonesia
'kan sudah tua," kilahnya. "Ironistis kalau orang sudah tua
masih harus menyanyikan lagu-lagu anak remaja, bahkan anak
ingusan," lanjutnya. Ia sudah menyelesaikan 30 judul novel pop,
20 rancangan panggung dan 6 album musik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini