MESKI korannya, Pedoman, dilarang terbit sejak tahun 1974, H.
Rosihan Anwar, 57 tahun, tetap saja bertahan sebagai wartawan.
"Saya tidak bisa dagang, seperti kawan-kawan lain," begitu ia
pernah berkata. Maka selain menulis di berbagai koran dan
majalah -- di dalam maupun luar negeri -- Rosihan, kini Direktur
Karya Latihan Wartawan (KLW), menggunakan sebagian dari waktunya
untuk membimbing wartawan muda lewat berbagai penataran.
Karena jasanya itulah Rosihan pekan silam mendapat kehormatan
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk menerima Pena Emas.
Tanda kehormatan dari para wartawan itu terbuat dari emas murni
dengan berat 15 gram. Rosihan orang ketiga menerima tanda
kehormatan tersebut. Sebelumnya Sumanang SH dan almarhum Mayjen
Harsono telah mendapatkannya. Upacara penyematan -bersamaan
dengan ulang tahun ke 33 PWI -- berlangsung tanggal 9 Pebruari.
Yang menyematkan Harmoko, Ketua PWI Pusat. Dalam pidatonya,
Harmoko tidak hanya memuji-muji pengabdian Rosihan, tapi juga
mengungkapkan suatu hal yang amat pribadi mengenai tokoh
wartawan tersebut.
Syahdan, seorang Asisten Demang di Sumatera Barat suatu hari
berkelahi dengan perampok. Kejadian ini hampir bersamaan saatnya
dengan kelahiran bayinya, seorang lelaki. Semangat yang masih
tersisa dari perkelahian itu rupanya mengilhami sang Demang
untuk memberi nama bayinya dengan nama yang berbau kejantanan.
Nama Rosihan tidak beranjak jauh dari Rosihan Pasha, yakni nama
seorang jenderal Turki yang berjuang di bawah pimpinan Kemal
Ataturk. Tidak diketahui adakah waktu itu ayah Rosihan
mengharapkan anaknya suatu hari bisa jadi jenderal. Yang jelas
sekarang, "bayi itu tidak jadi jenderal, tapi wartawan," kata
Harmoko. Tapi meski tidak jenderal, rasa-rasanya arwah tuan
Asisten nemang tidaklah kecewa dengan puteranya: Rosihan Anwar,
memang "cuma wartawan". Tapi ia toh wartawan terkemuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini