Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kerja Paksa Itu, Hukum & Hati Kecil

A Fin yang dituduh menimbun semen harus melakukan kerja bakti membersihkan sampah di kota Medan, atas perintah Pangkopkamtib. Para ahli hukum mengupasnya dari segi hukum.(hk)

17 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A Fin kelelahan. Ia meletakkan pacul sebentar ke tanah. Peluh telah memandikan sekujur tubuhnya. Dadanya kembang-kempis mempertahankan nafas yang seperti hampir putus. Air mata meleleh menahan malu, tak dapat disembunyikan lagi dari penonton yang mengelilinginya di mana-mana. "Aku kapok . . . kapok," keluhnya pelan sambil meremas-remas jarinya. Tapak tangannya kelihatan biru memar. Kapok? Itulah dia memang tujuan Kopkamtib: memberi contoh bagaimana menghukum siapa saja yang berani menjegal Kenop 15. Contoh pertama dikenakan kepada A Fin alias Arifin. Pengusaha di Medan ini (36 tahun) dituduh melakukan kejahatan ekonomi -- karena di gudangnya ada tertimbun ribuan sak semen -- harus melakukan kerja paksa-eh kerja bakti -- membersihkan sampah di beberapa pelosok kota. Pertanyaan memang sudah lama menunggu: adakah hukuman kerja paksa dapat dikenakan betul-betulan? Barulah Rabu lalu, 7 Pebruari, soal kerja paksa terbukti bukan gertak sambal apalagi sekedar kelakar Kopkamtib belaka. Pagi itu, 07.45, telepon di Kanto Kepala Kepolisian Sumatera Utara di Medan berdering. Brigjen Pol. Montolalu, Kadapol, pagi itu mendapat perintah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo "Harap laksanakan perintah kerja paksa kepada Arifin!" Dari Kadapol perintah ini disambut Dantabes Medan dan Sekitarnya Kolonel Pol. Darwo Soeondo. Dan pagi itu juga Arifin, penyalur semen PT Indo Aceh, segera dijemput dari tempat penahanannya di Kampung Durian. Dari situ terus digiring ke markas polisi. Di sana sudah menunggu sebuah truk sampah milik Dinas Kebersihan Kotamadya Medan. "Naik!" perintah salah seorang polisi. Arifin, yang pagi itu berpakaian rapi -- bersepatu sandal, berbaju lengan panjang putih bertitik-titik hitam dengan sebungkus rokok Dunhill di kantongnya -- tanpa bertanya ini atau itu, terus naik truk sampah. Beberapa orang polisi dan wartawan sudah lebih dulu siap di atas. Berangkat. Saya Lelah Betul Jam 11.45, tanpa menyingsingkan lengan bajunya, Arifin mulai mengorek sampah di Jalan Panjaitan/Gajahmada dan terus ke Jalan Nusantara. Dari Jalan Surabaya, Pandu dan Bengkalis bertongtong sampah harus diangkat dan ditumpahkan dengan kedua lengan Arifin sendiri ke dalam bak truk. Terus ke Jalan Rupat. Di sini Arifin harus mengorek sampah dengan pacul, memasukkannya ke dalam keranjang sebelum melemparkannya ke atas truk. Beres semuanya, tanpa istirahat, kendaraan dinas kebersihan yang sudah penuh sampah itu membawa Arifin ke tempat pengumpulan sampah di Mariendal. Sekitar 1,5 ton sampah diturunkannya di sana. "Saya lelah betul," kata Arifin sambil mengusap keringatnya. 'Eksekusi' hukuman ala Kopkamtib bagi Arifin tersebut hanya disaksikan perwira penerangan kepolisian dan militer setempat saja. Tapi Darwo Soegondo bilang: "Kerja paksa seperti itu pertama kali diadakan di Indonesia." Siapa berikutnya? "Pedagang-pedagang lain yang mencoba-coba memanipulasi barang apa saja, tanpa pandang bulu, akan kita tindak!" Sedangkan perkara PT Indo Aceh sendiri, menurut Darwo Soegondo, diakuinya memang masih ditangani kepolisian. Belum dilimpahkn ke kejaksaan mtuk kemudian sampai di pengadilan. Jadi Arifin belum tentu bersalah, Dantabes Medan & Sekitarnya sadar hal itu. Tapi, katanya, jika Kopkamtib masih menghendaki agar Arifin bekerja paksa atau kerja bakti lagi, ya, akan tetap dilaksanakan. Kejadian ini tentu saja menarik dan tak luput dari kejapan mata para ahli hukum. Dr T. Jafizham SH, guru besar pada Fak. Hukum Univ. Sumatera Utara dan IAIN, geleng kepala. "Tak ada fasal yang satu ayatpun dari KUH Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang mencantumkan soal hukuman kerja paksa," katanya. Sedangkan bentuk-bentuk hukuman yang berlaku, seperti hukuman penjara, kurungan, denda sampai hukuman mati pun "hanya boleh ditentukan oleh lembaga peradilan saja." Serupa dengan itui adalah komentar Mr Tjiam Djoe Khiam. Untuk suatu kepastian hukum, kata advokat tua ini, "bukankah tak ada sesuatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali oleh putusan pengadilan?" Bahkan Tjiam tak melihat ada alasan cukup bagi pemerintah untuk memperkarakan seseorang dengan tuduhan menimbun barang dagangan di gudangnya sendiri. "Dulu memang ada undang-undang yang melarang menimbun barang -- 'kan ketentuan begitu sudah tidak ada lagi?" kata Tjiam. Yap Thiam Hien -- pengacara yang biasanya galak -- kali ini mencoba mengerti sikap Kopkamtib. "Kalau menuruti hati kecil," katanya, "ya, biar saja mereka disuruh kerja paksa -- habis mereka itulah yang membuat harga semen jadi membumbung tinggi." Hanya dari segi hukum apa boleh buat: "Secara yuridis memang tidak ada aturan yang membenarkan kerja paksa bagi seorang tahanan." Ilmiah Siapa tak setuju hukuman berat bagi pengganggu ekonomi? "Cuma," kata Albert Hasibuan, pimpinan organisasi ahli hukum (Persahi), "hukuman tersebut harus didasarkan pada ketentuan hukum yang adil." Hukuman kerja paksa oleh Kopkamtib, menurut advokat, anggota DPR dan bagian hukum Fraksi Karya Pembangunan ini, "dapat dinilai sebagai tindakan yang mengarah kesewenang-wenangan." "Saya kaget," kata Albert "saya kira ancaman hukuman kerja paksa itu hanya gertakan saja." Penertiban yang dilakukan Kopkamtib menurut Albert memang banyak memuaskan masyarakat. Tapi tindakan kali ini "sangat tidak tertib hukum." Memberantas kejahatan sekalipun, katanya, harus tetap berlandaskan hukum. Apa kata hakim? "Saya tidak tahu pertanyaan ilmiah begitu," kata Soemadijono SH, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengelak. Tapi para hakinl di pengadilannya ada yang bicara terus terang: Jangankan suatu hukuman yang dijatuhkan di luar ruang pengadilan, "seandainya jaksa menuntut demikian di pengadilan pun, kami pasti menolaknya," seperti kata Hakim Loudoe SH dan Henky Ismu Azhar SH. Sebab bagaimana pun, "tidak ada sebuah peraturan hukum pun yang dapat diterapkan untuk menghukum seseorang apapun kesalahannya -- dengan hukuman kerja paksa." Stop! Para ahli hukum diminta untuk jangan buru-buru mengupas hukuman kerja paksa Kopkamtib itu melulu dan segi hukum. Sebab kalau ditanya fasal mana yang ditunjuk Kopkamtib untuh menentukan hukuman demikian, Sudomo hanya mengatakan: "Hukum gregetan, hukum jengkel!" Dan manfaatnya? Tentu saja Medan kekurangan sampah lebih dari seton. Yang penting menurut Sudomo "untuk mendidik agar si terhukum tidak hanya memikirkan diri sendiri -- ia akan lebih menghayati Pancasila!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus