A Fin kelelahan. Ia meletakkan pacul sebentar ke tanah. Peluh
telah memandikan sekujur tubuhnya. Dadanya kembang-kempis
mempertahankan nafas yang seperti hampir putus. Air mata meleleh
menahan malu, tak dapat disembunyikan lagi dari penonton yang
mengelilinginya di mana-mana. "Aku kapok . . . kapok," keluhnya
pelan sambil meremas-remas jarinya. Tapak tangannya kelihatan
biru memar.
Kapok? Itulah dia memang tujuan Kopkamtib: memberi contoh
bagaimana menghukum siapa saja yang berani menjegal Kenop 15.
Contoh pertama dikenakan kepada A Fin alias Arifin. Pengusaha di
Medan ini (36 tahun) dituduh melakukan kejahatan ekonomi --
karena di gudangnya ada tertimbun ribuan sak semen -- harus
melakukan kerja paksa-eh kerja bakti -- membersihkan sampah di
beberapa pelosok kota.
Pertanyaan memang sudah lama menunggu: adakah hukuman kerja
paksa dapat dikenakan betul-betulan? Barulah Rabu lalu, 7
Pebruari, soal kerja paksa terbukti bukan gertak sambal apalagi
sekedar kelakar Kopkamtib belaka.
Pagi itu, 07.45, telepon di Kanto Kepala Kepolisian Sumatera
Utara di Medan berdering. Brigjen Pol. Montolalu, Kadapol, pagi
itu mendapat perintah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo "Harap
laksanakan perintah kerja paksa kepada Arifin!" Dari Kadapol
perintah ini disambut Dantabes Medan dan Sekitarnya Kolonel
Pol. Darwo Soeondo.
Dan pagi itu juga Arifin, penyalur semen PT Indo Aceh, segera
dijemput dari tempat penahanannya di Kampung Durian. Dari situ
terus digiring ke markas polisi. Di sana sudah menunggu sebuah
truk sampah milik Dinas Kebersihan Kotamadya Medan.
"Naik!" perintah salah seorang polisi. Arifin, yang pagi itu
berpakaian rapi -- bersepatu sandal, berbaju lengan panjang
putih bertitik-titik hitam dengan sebungkus rokok Dunhill di
kantongnya -- tanpa bertanya ini atau itu, terus naik truk
sampah. Beberapa orang polisi dan wartawan sudah lebih dulu siap
di atas. Berangkat.
Saya Lelah Betul
Jam 11.45, tanpa menyingsingkan lengan bajunya, Arifin mulai
mengorek sampah di Jalan Panjaitan/Gajahmada dan terus ke Jalan
Nusantara. Dari Jalan Surabaya, Pandu dan Bengkalis bertongtong
sampah harus diangkat dan ditumpahkan dengan kedua lengan Arifin
sendiri ke dalam bak truk. Terus ke Jalan Rupat. Di sini Arifin
harus mengorek sampah dengan pacul, memasukkannya ke dalam
keranjang sebelum melemparkannya ke atas truk. Beres semuanya,
tanpa istirahat, kendaraan dinas kebersihan yang sudah penuh
sampah itu membawa Arifin ke tempat pengumpulan sampah di
Mariendal. Sekitar 1,5 ton sampah diturunkannya di sana. "Saya
lelah betul," kata Arifin sambil mengusap keringatnya.
'Eksekusi' hukuman ala Kopkamtib bagi Arifin tersebut hanya
disaksikan perwira penerangan kepolisian dan militer setempat
saja. Tapi Darwo Soegondo bilang: "Kerja paksa seperti itu
pertama kali diadakan di Indonesia." Siapa berikutnya?
"Pedagang-pedagang lain yang mencoba-coba memanipulasi barang
apa saja, tanpa pandang bulu, akan kita tindak!"
Sedangkan perkara PT Indo Aceh sendiri, menurut Darwo Soegondo,
diakuinya memang masih ditangani kepolisian. Belum dilimpahkn
ke kejaksaan mtuk kemudian sampai di pengadilan. Jadi Arifin
belum tentu bersalah, Dantabes Medan & Sekitarnya sadar hal itu.
Tapi, katanya, jika Kopkamtib masih menghendaki agar Arifin
bekerja paksa atau kerja bakti lagi, ya, akan tetap dilaksanakan.
Kejadian ini tentu saja menarik dan tak luput dari kejapan mata
para ahli hukum. Dr T. Jafizham SH, guru besar pada Fak. Hukum
Univ. Sumatera Utara dan IAIN, geleng kepala. "Tak ada fasal
yang satu ayatpun dari KUH Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) yang mencantumkan soal hukuman kerja paksa," katanya.
Sedangkan bentuk-bentuk hukuman yang berlaku, seperti hukuman
penjara, kurungan, denda sampai hukuman mati pun "hanya boleh
ditentukan oleh lembaga peradilan saja."
Serupa dengan itui adalah komentar Mr Tjiam Djoe Khiam. Untuk
suatu kepastian hukum, kata advokat tua ini, "bukankah tak ada
sesuatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali oleh putusan
pengadilan?" Bahkan Tjiam tak melihat ada alasan cukup bagi
pemerintah untuk memperkarakan seseorang dengan tuduhan menimbun
barang dagangan di gudangnya sendiri. "Dulu memang ada
undang-undang yang melarang menimbun barang -- 'kan ketentuan
begitu sudah tidak ada lagi?" kata Tjiam.
Yap Thiam Hien -- pengacara yang biasanya galak -- kali ini
mencoba mengerti sikap Kopkamtib. "Kalau menuruti hati kecil,"
katanya, "ya, biar saja mereka disuruh kerja paksa -- habis
mereka itulah yang membuat harga semen jadi membumbung tinggi."
Hanya dari segi hukum apa boleh buat: "Secara yuridis memang
tidak ada aturan yang membenarkan kerja paksa bagi seorang
tahanan."
Ilmiah
Siapa tak setuju hukuman berat bagi pengganggu ekonomi? "Cuma,"
kata Albert Hasibuan, pimpinan organisasi ahli hukum (Persahi),
"hukuman tersebut harus didasarkan pada ketentuan hukum yang
adil." Hukuman kerja paksa oleh Kopkamtib, menurut advokat,
anggota DPR dan bagian hukum Fraksi Karya Pembangunan ini,
"dapat dinilai sebagai tindakan yang mengarah
kesewenang-wenangan."
"Saya kaget," kata Albert "saya kira ancaman hukuman kerja
paksa itu hanya gertakan saja." Penertiban yang dilakukan
Kopkamtib menurut Albert memang banyak memuaskan masyarakat.
Tapi tindakan kali ini "sangat tidak tertib hukum." Memberantas
kejahatan sekalipun, katanya, harus tetap berlandaskan hukum.
Apa kata hakim? "Saya tidak tahu pertanyaan ilmiah begitu," kata
Soemadijono SH, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengelak.
Tapi para hakinl di pengadilannya ada yang bicara terus terang:
Jangankan suatu hukuman yang dijatuhkan di luar ruang
pengadilan, "seandainya jaksa menuntut demikian di pengadilan
pun, kami pasti menolaknya," seperti kata Hakim Loudoe SH dan
Henky Ismu Azhar SH. Sebab bagaimana pun, "tidak ada sebuah
peraturan hukum pun yang dapat diterapkan untuk menghukum
seseorang apapun kesalahannya -- dengan hukuman kerja paksa."
Stop! Para ahli hukum diminta untuk jangan buru-buru mengupas
hukuman kerja paksa Kopkamtib itu melulu dan segi hukum. Sebab
kalau ditanya fasal mana yang ditunjuk Kopkamtib untuh
menentukan hukuman demikian, Sudomo hanya mengatakan: "Hukum
gregetan, hukum jengkel!" Dan manfaatnya? Tentu saja Medan
kekurangan sampah lebih dari seton. Yang penting menurut Sudomo
"untuk mendidik agar si terhukum tidak hanya memikirkan diri
sendiri -- ia akan lebih menghayati Pancasila!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini