"Sudahlah, saya tidak mau tahu lagi tentang itu," jawab Nyonya
Fatmawati Sukarno ketika ditanya berapa besar uang pensiun yang
diterimanya. Katanya lagi: "Tok (maksudnya Guntur Sukarno red.)
melarang saya mengurus atau minta-minta kepada Pemerintah
tentang itu. Biarlah Nak, Tuhan akan memberi rezeki apa adanya
kepada hamba-Nya."
Ibu Fatmawati kini tinggal di Cilandak dalam sebuah rumah
sederhana yang tidak begitu besar. Jalan di depan rumahnya tidak
beraspal dan listrik di daerah itu baru dikenal sekitar 4 tahun
terakhir. Semula dia tinggal di Jalan Sriwijaya, setelah di
tahun 1954 angkat kaki dari Istana sebagai tindakan protes atas
tindakan Sukarno menikahi Hartini. Karena perlu uang, rumah
tersebut kemudian dikontrakkannya kepada sebuah perusahaan
asing.
Ketika uang habis di tahun 1974, Fatmawati berniat berdagang.
"Tanah di depan rumah saya jual lagi untuk ongkos Guruh belajar
di Negeri Belanda. Apa salahnya kalau saya mulai dagang
kecil-kecilan." Tapi tindakan ini kurang mendapat persetujuan
dari Guntur, adik-adiknya, juga teman-teman dekat keluarga
Sukarno.
Dan bagaimana nasib pensiunnya sebagai janda Sukarno? Tetap
tidak jelas, sampai-sampai Guntur sebagai anak sulung mengirim
surat kepada Sudiro (bekas Walikota Jakarta) yang kini duduk
sebagai Ketua Pengurus Pusat PWRI, dengan pesan: tidak setuju
ibunya minta-minta hak pensiun dari Pemerintah. Surat itu
dikirim di bulan April, 1974, karena sang ibu mencoba mengurus
sendiri ke sana ke mari: menemui Sultan Hamengkubuwono, pergi
ke Sekretariat Negara dan banyak instansi lain.
Sementara Presiden Suharto di tahun 1974, telah mengeluarkan
peraturan baru tentang pensiun presiden (sejumlah Rp 75.000
sebulan) dan wakil presiden (Rp 50.0003, instansi terakhir yang
didatangi Nyonya Fatmawati mengeluarkan keraguan: bagaimana
sebetulnya status Fatmawati: cerai atau belum, dengan Almarhum
Sukarno?
Untuk memperjelas, Sekjen Departemen Agama (waktu itu Bahrum
Rangkuti, aLmarhum, minta nasehat Prof. Ibrahim Hosen tentang
persoalan: seorang wanita, telah memaksa minta cerai kepada
suaminya yang berkeberatan menceraikan isterinya. Karena desakan
isterinya, akhirnya sang suami memberikan surat cerai talak
satu. Surat mana kemudian diminta kembali oleh sang suami dengan
alasan "akan dibikin betul."
Kesaksian ketika surat itu diminta kembali bisa diberikan oleh
K.H. Ilyas (Menteri gama waktu itu, almarhum) dan orangtua
Nyonya Fatmawati, H. Hassandin. Hingga Fatmawati angkat kaki
dari Istana, surat itu tidak pernah dikembalikan lagi oleh
Sukarno. Sampai Bung Karno sndiri meninggal. Kalangan dekat dan
teman-teman Bung Karno sendiri tahu bahwa Sukarno sebetulnya
tidak mau menceraikan Fatmawati, ibu dari kelima anak-anaknya.
Pendek kata, Prof. Ibrahim Hosen yang duduk sebagai Penasehat
Menteri Agama menyatakan, bahwa hukumnya surat talak itu tidak
sah, dan Fatmawati masih berstatus sebagai isteri Sukarno sampai
yang terakhir ini wafat. Untuk lebih kuatnya lagi hal ini dibawa
ke Pengadilan Agama. Dan Ketua Pengadilan Agama Istimewa K.H.
Moh. Mocht tanggal 16 Mei 1974 menyatakan: Fatmawati masih
resmi sebagai isteri Sukarno. Dapat difahami bahwa ia berhak
pensiun.
Sudiro (yang menolak diwawancarai) kemudian mengirim surat
kepada PresidenSuharto pada tanggal 7 Juni 1974, sambil
melampirkan surat keputusan PengadiLan Agama Istimewa, dan
pernyataan bahwa Sukarno sebagai pegawai negeri--berdasar PP no.
20/60 - bisa memenuhi syarat pensiun, karena almarhum telah
bekerja selarna 30 tahun. Beberapa hari kemudian Tjokropranolo
(waktu itu Sekretaris MiLiter Kepresi denan) menelepon bahwa
syaratnya kurang lengkap. Harus ada saksi, karena Fatmawati
telah meninggalkan Istana.
Nyonya S. Kartowiyono (almarhum) dan Nyonya H.L. Soekanto
(keduanya tokoh-tokoh wanita di masa perkawinan Sukarno-Hartini)
bulan Juni 1974 juga membuat surat pernyataan bahwa keduanya
telah melihat surat Fatmawati kepada Sukarno, untuk minta izin
meninggaLkan Istana di bulan Desember 1954. Surat tersebut
antara lain berbunyi: "untuk ketenangan hati saya, saya minta
supaya disetujui diri saya pindah dari Istana ke rumah yang
hampir selesai dibangun, di Kebayoran " Itulah sebabnya
Fatmawati meninggalkan Istana: sekedar untuk ketenangan.
Setelah surat kesaksian tersebut, hingga kini tidak ada
penyelesaian. Sudiro sendiri sebagai Ketua PWRI menanti
persetujuan pemerintah itu. Sedang dari kalangan pemerintah ada
suara-suara: "Kalau dia dibeli, bagaimana dengan isteri-isteri
yang lain?"
Kemudian ada yang mendapat akal: bagaimana kalau Fatmawati
mendapat uang sebagai janda Perintis Kemerdekaan. Tapi hingga
kini Sukarno tidak pernah diangkat sebagai Perintis Kemerdekaan.
Semasa masih hidup hal ini memang pernah diusulkan kepada
Sukarno. Tapi Bung Karno menolak. Setelah-didesak, di tahun 1966
Bung Karno cuma berkata: "Jadilah, tapi masukkan saya sebagai
orang yang paling akhir."
Panitia yang mengurus hal itu sudah beberapa kali berapat, tapi
ada satu orang yang tidak. setuju kalau Sukarno atau Fatmawati
(yang pernah menjahit bendera pusaka merah-putih) diangkat
sebagai Perintis Kemerdekaan. Orang tersebut adalah R.P.
Suroso,yang,pernah menjabat Menteri Perburuhan, dengan alasan
tidak jelas. Berapa tunjangan sebagai Perintis Kemerdekaan? Rp
25.000 sebulan. Tetapi, mungkin juga, Fatmawati akan mendapat
tunjangan sebagai isteri Pahlawan Kemerdekaan. Berapa? Rp 9.000
sebulan.
Hingga memasuki tahun 1978 pertama belum menerima apa-apa.
"Masakan saya ditanya, mau tidak sebagai perintis kemerdekaan,"
ujarnya. "Yang menilai saya kan bukan saya sendiri. Harus orang
lain." Terus terang saja dia sebenarnya masih penuh harap akan
uang rapel sekian tahun dari tunjangan atau pensiun sebagai
haknya. "Lumayanlah, untuk ongkos Guruh belajar lagi," kata
Fatma yang kini juga mengidap sakit kencing manis.
"Tapi sudahlah. Malu awak jadinya kalau mengingat hal itu."
Kabarnya, Ibu Fatma kini bisa memijat. "Lumayan juga hasilnya,
bisa untuk makan,'' kata Fatmawati Sukarno, yang Pebruari nanti
genap berusia 55 tahun. Katanya: "Tuhan telah membuka jalan
untuk saya cari rezeki."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini