WARTAWAN kawakan Rosihan Anwar menurut pengakuannya mengidap
penyakit tekanan darah rada tinggi. "Puteri saya yang paling
kecil, Naila Karima (21 tahun) kini duduk di tingkat II FK UI",
ujar Rosihan. "Dia baru belajar mengambil tensi orang. Maka
sayalah yang jadi kelinci percobaannya, untuk berlatih mengukur
tekanan darah orang. Pertama kali diambilnya pertengahan April
lalu. Dia bilang, tekanan darah saya 110-170. Sudah barang tentu
membuat saya kaget. Sebab normal tensi saya hanya 95-165. Maka
tiada ayal, saya minta kakaknya dr. Aida Fathya alias Noni
mencek lagi. Ternyata tensi saya lewat ukuran si Noni, 105-165".
Apakah darah sedikit tinggi ini disebabkan tensi Pemilu? Jawab
Rosihan: "Saya kira tidak. Sebab umumnya dalam 3 tahun terakhir
ini saya tiada lagi menaruh perhatian terhadap soal-soal
politik". Kesibukannya kini: berceramah, menatar wartawan dan
momong cucunya yang baru seorang Alma Nadhira. "Ada kesayangan
khusus terhadap cucu saya ini", katanya. "Saya fikir-fikir,
memang ada perbedaan rasa sayang antara anak dan cucu. Sayang
pada anak disertai tanggung jawab, pada cucu, sayang melimpah
tanpa harus bertanggung jawab untuk mendidiknya. Karena itu
bagian orangtua si cucu".
Ditanya bagaimana kehidupannya sebagai wartawan, Rosihan
berkata: "Saya sering disebut teman-teman sebagai wartawan
blo'on. Artinya, yang segenerasi dengan saya, bisa berhasil
(dari sudut materi). Tapi bagi saya, yang paling penting adalah
pengertian dari isteri saya".
25 April lalu, genaplah suami isteri Rosihan Anwar mengarungi
lautan perkawinan selama 30 tahun. Bagaimana dia ketemu jodo?
"Pada mulanya kami berkenalan di tahun 1943. Waktu itu umur saya
baru 21 tahun, dan kerja di surat kabar Asia Raya sebagai
reporter muda. Ida bekerja di staf sekretariat redaksi Asia Raya
bersama Halimah, yang sekarang jadi nyonya Mochtar Lubis. Ya
saya lihat-lihat, terus kenalan. Di luar kantor, biasa dah,
bergaul, berteman".
Tahun 1944, bersama Usmar Ismail almarhum, Rosihan membentuk
grup sandiwara Maya. Saya ketuanya, Usmar sutradaranya. Lakon
pertama yang kami pentaskan: Taufan di Atas Asia, karangan dr.
Abu Hanifah. "Ida bersama kakak perempuannya (yang kemudian jadi
isteri Usmar Ismail) turut main", ceritera Rosihan. "Waktu itu,
belum ada fikiran untuk kawin, belum serius, karena antara saya
dan Ida, kami bergaul biasa saja. Baru ketika di tahun 1947,
ketika keluarganya tinggal di Yogya, dan saya beberapa saat di
Jakarta, wah, saya baru sadar, ada yang kurang. Nah, disitulah
mulai ada rasa".
Rosihan Anwar dan Ida (yang masih keponakan Husni Thamrin
almarhum) menikah tahun 1947, di jalan Sumbing Yogya, di rumah
Usmar Ismail. "Modal saya waktu itu cuma: 1 stel piyama 1 stel
khaki dril. Almarhum Sudaryo Tjokrosisworo pergi ke Sala untuk
cari surjan dan blangkon buat saya. Saya menginap di rumah Mr.
Sumanang, jalan Tanjung. Eh stelan Jawa yang dibawa dari Sala
terlalu kecil buat saya. Kemudian saya pinjam stelan teluk
belanga kepunyaan Laksamana (AL) Nazir, yang hingga kini belum
juga menikah".
Pengantin laki-laki datang ke rumah pengantin perempuan dengan
naik mobil sedan. "Mobil milik Kolonel Zulkifli Lubis, ketua BPI
(sekarang sama dengan Bakin). Mobilnya besar benar. Rasanya
hebat betul, biar mobil pinjaman pula".
Upacara pernikahan dilakukan dengan cara sederhana. Yang hadir
waktu itu antara lain: Mr. Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri
Syahrir. Malamnya diadakan resepsi, juga sederhana. "Yang saya
ingat malam itu hadir pula Brigjen (pens.) Rahman Mansyur,
Haryono Nimpuno (Dirjen Perla). "Haryono malam itu menyumbang
nyanyi. Dia main gitar sambil nyanyi", kata Rosihan.
Kini Rosihan berusia 55 tahun. Isterinya cuma beda 1,5 tahun
lebih muda. Anak mereka tiga: dr. Ny. Aida Fathya Darwis
(suaminya: dr. Idral Darwis), Omar Luthfi Anwar (tamatan Akademi
Cas Cepu kini bekerja di Pertamina), dan Naila Karima Anwar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini