TERDAKWA tinggal menunggu vonis jatuh. Banyak saksi melihat
terdakwa menusuk ketika berkelahi dengan lawannya. Koran pun
sudah memberi stempel haginya sebagai pembunuh. Tapi ternyata
hakim membebaskan terdakwa. Ia tak terbukti telah menyebabkah
kematian lawannya.
Soemarno P. Wirjanto SH. advokat dari Solo, membeberkan
pengalamannya sekitar tahun 1955 di depan peserta diskusi ilmiah
Masalah Hukum di Bidang Kedokteran, medio bulan ini. Dari
awal pembela kurang yakin bahwa korban meninggal akibat
tusukan pisau kliennya. Sebab pisaunya kecil dan perut korban
gemuk. Pembela minta visum dan autopsi. Hasil pemeriksaan
Fakultas Kedokteran Gajahmada menunjukkan bahwa luka tusukan
pisau tidak pula mengenai bagian badan yang penting. Ada
pendarahan dalam perut yang dapat menimbulkan kejutan. Dan ada
pula bibit penyakit TBC yang sedemikian rupa, sehingga orang itu
bisa mati karena TBC, kapan saja.
Tapi diskusi yang diadakan Proyek Pengembangan Penelitian Hukum
LIPI bersama yayasan Law Centre itu tak hanya membahas soal
penyebab kematian. Juga kapan orang dikatakan mati. Kapan pula
hidup diawali dan bagaimana profesi kedokteran. Tambah ramai
lagi ketika muncul teknologi mutakhir. Sekarang sudah
dimungkinkan si buyung dan si upik dilahirkan dalam tabung,
pencangkokan jantung, inseminasi serta pernafasan buatan. Lalu
tak lupa dipertanyakan sikap hukum dalam menghadapi kemajuan
yang rupa-rupa itu.
Berhenti Bernafas
"Kalau teknologi Flash Gordon sudah masuk, kita juga akan
mempunyai hukum Flash Gordon", sambut Soemarno. Jadi tak usah
khawatir. Kendati begitu, dra SK Trimurti mengingatkan, supaya
kita jangan terlalu bersandar kepada ilmuwan. Ia mempertanyakan
apakah kita perlu latah memakai teknologi mutakhir. Bayi
menurutnya memiliki getaran emosi dari getaran emosi sang ibu
yang mengandungnya. Sedangkan bayi tabung tak mempunyai benda
strak tersebut. "Apakah kita akan menciptakan manusia-manusia
robot, yang tak tahu baik buruk, benar salah", tanya tokoh
wanita ini. Karena itu ia menilai terlalu berani sikap yang
membenarkan membunuh calon bayi hanya atas dasar perhitungan
genetika bahwa juga bayi bakal lahir dengan sifat jahat yang
terlalu dominan. Hal yang terakhir ini sebelumnya dilemparkan
oleh Prof. Dr. Hanifa Wignjosastro, dari Bagian Obstetri dan
Ginekologi, FKUI - sebagai satu rentetan perkembangan
teknologi kedokteran.
Kemudian Prof. Dr. H. Djamaluddin mempertanyakan kapan orang
berhak mati. "Jawabnya sulit", kata Dekan FKUI itu. Sebab selain
melibatkan soal medis, juga etis, sosial dan agama. Dari
kacamata sosial, bila pasien terlalu banyak membutuhkan
perongkosan dan perawatan, si pasien boleh berhenti bernafas.
Tapi dari sudut susila kedokteran. hidup orang itu harus tetap
dipertahankan. Dan dari pandangan agama. hanya Tuhan lah yang
berhak mencabut kehidupan manusia.
Damai Dengan Polisi
Djamaluddin yang ahli bedah itu punya beberapa kesulitan dalam
mengurus orang-orang yang mati secara tak wajar (dysthanasia)
seperti bunuh diri atau dibunuh orang. Sudah ada peraturan bahwa
terhadap kematian seperti itu termasuk pula kecelakaan
lalulintas, harus diadakan pemeriksaan mayat luar dalam untuk
menentukan sebab-sebab kematian. Celakanya, keluarga korban
sering pakai jalan damai dengan polisi. Lalu da pula pasien,
yang sewaktu masuk rumahsakit masih hidup, lalu polisi minta
visum. Tapi kemudian pasien meninggal. Polisi tak diberitahu
lagi, sehingga tidak dimintakan pemeriksaan luar dalam. Mayat
dibawa pulang untuk dimakamkan. Susahnya bila dokter yang
memeriksa korban diperiksa di pengadilan. Tentu saja dia tidak
dapat menentukan kematian si korban secara pasti. Itulan
sebabnya RSTM pernah mengusulkan diadakannya kantor polisi di
bagian kecelakaam Jadi bila ada orang yang membutuhkan visum,
segera bisa dibikin permintaan tertulis. Dan bila pasien
meninggal dibuatkan pula permintaan untuk pemeriksaan dokter.
Namun usul itu belum makbul.
Cuplikan-cuplikan di atas hanya sebagian saja dari pembahasan
yang makan satu hari penuh dengan 3 moderator itu. Dihadiri
tokoh-tokoh ilmu dan pemuka-pemuka masyarakat itu, di forum
tersaji beberapa kertas kerja. Sekitar Masalah Awal Hidup
(Prof. Dr. Ir. Bachtiar Rifai), Awalnya Hidup (Hanifah,) Awal
dan Akhir Hidup (Soemarno) Masalah Akhirnya Hidup
(Djamaluddin). Akhirnya Hidup: Persoalan di Sekitar
Euthanasia (Prof Ihromi), dan Masalah Profesi Kedokteran (dr.
Partomo M. Alibazan ). Kesimpulan sengaja tak diambil, karena
perbincangan ini rupanya memang belum final.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini