Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Walaupun ada hukum flash gordon

Proyek pengembangan penelitian hukum lipi bersama yayasan law centre mengadakan diskusi tentang teknologi kedokteran. juga dicari masalah pencangkokan jantung, inseminasi & pernafasan buatan.

30 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERDAKWA tinggal menunggu vonis jatuh. Banyak saksi melihat terdakwa menusuk ketika berkelahi dengan lawannya. Koran pun sudah memberi stempel haginya sebagai pembunuh. Tapi ternyata hakim membebaskan terdakwa. Ia tak terbukti telah menyebabkah kematian lawannya. Soemarno P. Wirjanto SH. advokat dari Solo, membeberkan pengalamannya sekitar tahun 1955 di depan peserta diskusi ilmiah Masalah Hukum di Bidang Kedokteran, medio bulan ini. Dari awal pembela kurang yakin bahwa korban meninggal akibat tusukan pisau kliennya. Sebab pisaunya kecil dan perut korban gemuk. Pembela minta visum dan autopsi. Hasil pemeriksaan Fakultas Kedokteran Gajahmada menunjukkan bahwa luka tusukan pisau tidak pula mengenai bagian badan yang penting. Ada pendarahan dalam perut yang dapat menimbulkan kejutan. Dan ada pula bibit penyakit TBC yang sedemikian rupa, sehingga orang itu bisa mati karena TBC, kapan saja. Tapi diskusi yang diadakan Proyek Pengembangan Penelitian Hukum LIPI bersama yayasan Law Centre itu tak hanya membahas soal penyebab kematian. Juga kapan orang dikatakan mati. Kapan pula hidup diawali dan bagaimana profesi kedokteran. Tambah ramai lagi ketika muncul teknologi mutakhir. Sekarang sudah dimungkinkan si buyung dan si upik dilahirkan dalam tabung, pencangkokan jantung, inseminasi serta pernafasan buatan. Lalu tak lupa dipertanyakan sikap hukum dalam menghadapi kemajuan yang rupa-rupa itu. Berhenti Bernafas "Kalau teknologi Flash Gordon sudah masuk, kita juga akan mempunyai hukum Flash Gordon", sambut Soemarno. Jadi tak usah khawatir. Kendati begitu, dra SK Trimurti mengingatkan, supaya kita jangan terlalu bersandar kepada ilmuwan. Ia mempertanyakan apakah kita perlu latah memakai teknologi mutakhir. Bayi menurutnya memiliki getaran emosi dari getaran emosi sang ibu yang mengandungnya. Sedangkan bayi tabung tak mempunyai benda strak tersebut. "Apakah kita akan menciptakan manusia-manusia robot, yang tak tahu baik buruk, benar salah", tanya tokoh wanita ini. Karena itu ia menilai terlalu berani sikap yang membenarkan membunuh calon bayi hanya atas dasar perhitungan genetika bahwa juga bayi bakal lahir dengan sifat jahat yang terlalu dominan. Hal yang terakhir ini sebelumnya dilemparkan oleh Prof. Dr. Hanifa Wignjosastro, dari Bagian Obstetri dan Ginekologi, FKUI - sebagai satu rentetan perkembangan teknologi kedokteran. Kemudian Prof. Dr. H. Djamaluddin mempertanyakan kapan orang berhak mati. "Jawabnya sulit", kata Dekan FKUI itu. Sebab selain melibatkan soal medis, juga etis, sosial dan agama. Dari kacamata sosial, bila pasien terlalu banyak membutuhkan perongkosan dan perawatan, si pasien boleh berhenti bernafas. Tapi dari sudut susila kedokteran. hidup orang itu harus tetap dipertahankan. Dan dari pandangan agama. hanya Tuhan lah yang berhak mencabut kehidupan manusia. Damai Dengan Polisi Djamaluddin yang ahli bedah itu punya beberapa kesulitan dalam mengurus orang-orang yang mati secara tak wajar (dysthanasia) seperti bunuh diri atau dibunuh orang. Sudah ada peraturan bahwa terhadap kematian seperti itu termasuk pula kecelakaan lalulintas, harus diadakan pemeriksaan mayat luar dalam untuk menentukan sebab-sebab kematian. Celakanya, keluarga korban sering pakai jalan damai dengan polisi. Lalu da pula pasien, yang sewaktu masuk rumahsakit masih hidup, lalu polisi minta visum. Tapi kemudian pasien meninggal. Polisi tak diberitahu lagi, sehingga tidak dimintakan pemeriksaan luar dalam. Mayat dibawa pulang untuk dimakamkan. Susahnya bila dokter yang memeriksa korban diperiksa di pengadilan. Tentu saja dia tidak dapat menentukan kematian si korban secara pasti. Itulan sebabnya RSTM pernah mengusulkan diadakannya kantor polisi di bagian kecelakaam Jadi bila ada orang yang membutuhkan visum, segera bisa dibikin permintaan tertulis. Dan bila pasien meninggal dibuatkan pula permintaan untuk pemeriksaan dokter. Namun usul itu belum makbul. Cuplikan-cuplikan di atas hanya sebagian saja dari pembahasan yang makan satu hari penuh dengan 3 moderator itu. Dihadiri tokoh-tokoh ilmu dan pemuka-pemuka masyarakat itu, di forum tersaji beberapa kertas kerja. Sekitar Masalah Awal Hidup (Prof. Dr. Ir. Bachtiar Rifai), Awalnya Hidup (Hanifah,) Awal dan Akhir Hidup (Soemarno) Masalah Akhirnya Hidup (Djamaluddin). Akhirnya Hidup: Persoalan di Sekitar Euthanasia (Prof Ihromi), dan Masalah Profesi Kedokteran (dr. Partomo M. Alibazan ). Kesimpulan sengaja tak diambil, karena perbincangan ini rupanya memang belum final.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus