Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soal game, misalnya, Ayushita memilih bermain Candy Crush atau Bingo ketika orang lain tengah asyik dengan Mobile Legends atau PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG). “Yang penting gue happy,” kata Ayushita di sela peluncuran trailer film Perburuan di Jakarta, Kamis, 4 Juli lalu. Film yang disutradarai Richard Oh ini diangkat dari novel dengan judul sama karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
Pada waktu jeda pengambilan gambar, sembari berlatih dialog, Ayushita pun kerap menemani lawan mainnya, Adipati Dolken, bermain PUBG. Namun ia tidak ikut bermain game bergenre battle royale tersebut. Hanya Adipati yang asyik dengan permainan itu. “Dengan bangga aku mengatakan bahwa aku tidak main PUBG. Ha-ha-ha…,” tutur Ayushita, 30 tahun.
Meski demikian, ia mengakui cukup kecanduan game, apalagi Candy Crush. Sampai-sampai teman-temannya kerap menegurnya ketika ia tak kunjung kelar memainkan game bergenre puzzle tersebut. “Karena satu level bisa aku ulang berkali-kali sampai dapat bintang tiga. He-he-he…,” ujarnya.
Irianto Lambrie
Serasa di Rumah
Irianto Lambrie/TEMPO/ Gunawan Wicaksono
Tiap kali menyaba Jakarta, Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie serasa di rumah sendiri. Bukan apa-apa. Dia kerap mendengar warga Jakarta menyebut nama-nama daerah di provinsi termuda tersebut.
Ditemui di kantor Tempo, akhir Juni lalu, Irianto dengan fasih menceritakan asal-usul “kehadiran” Kalimantan Utara di Ibu Kota. Bulungan di Jakarta Selatan, dia mengatakan, berasal dari Kesultanan Bulungan. Kerajaan Melayu tersebut memperoleh konsesi minyak dari Belanda pada abad ke-19. “Konon, karena uangnya banyak, mereka membeli tanah di selatan Batavia,” ujar Irianto, 60 tahun.
Berikutnya, Kerajaan Tidung di Malinau. Dipimpin Raja Pandita, Irianto melanjutkan, kerajaan kecil itu melawan Belanda. Namun mereka takluk dan sang Raja dibuang ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu. “Masih ada keturunannya di Pulau Tidung,” katanya.
Lalu ada pula Tarakan, pulau kaya penghasil minyak. “Tapi tidak ada hubungannya dengan jalan dan Rumah Sakit Tarakan di Jakarta Barat. Kebetulan saja, he-he-he...,” ucapnya.
Rohidin Mersyah
Keluar dari Pakem
Rohidin Mersyah/TEMPO/ Gunawan Wicaksono
Sebagai dokter hewan, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah mengaku tak terlalu menyukai hewan. Ia mengurus hewan hanya sekitar satu setengah tahun saat bertugas di Pos Kesehatan Hewan Kabupaten Bengkulu Selatan, lebih dari 20 tahun silam. Setelah itu, ia lebih banyak ditugaskan di bidang pembangunan.
Rohidin, 49 tahun, pun tidak punya hewan peliharaan. “Saya bukan penyayang hewan,” katanya di Gedung Tempo, Selasa, 25 Juni lalu. Ia mengaku sudah keluar dari pakem ilmu kedokteran.
Meski persentuhannya dengan hewan singkat, ada kejadian yang tak bisa ia lupakan. Saat menjadi koasisten di klinik hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta—tempat ia kuliah—ia pernah merawat seekor kucing. Saat kucing itu mati, ia menelepon pemiliknya untuk minta maaf karena gagal menolong pasiennya tersebut.
Pemilik kucing datang ke klinik dan menerima kenyataan kucingnya mati. Sejak itu, hubungan mereka dekat. Rohidin diundang ke rumahnya. Sampai sekarang, pemilik kucing itu masih berkirim surat kepadanya. Rohidin dijadikan anak angkat. Setiap kali berulang tahun, ia diberi hadiah. “Dia selalu bilang, itu karena saya memperlakukan kucingnya dengan sangat baik,” ujar Wakil Bupati Bengkulu Selatan 2010-2015 tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo