Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Menulis novel

Slamet danusudirjo, deputi ketua bappenas bidang pengendalian pelaksanaan, 56, menyelesaikan sebuah novel revolusi berjudul "kereta api terakhir ke yogjakarta", & diserahkan kepada g. dwipayana. (pt)

29 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAKU tak pernah membaca karya sastra, Mayjen (Purn.) Slamet Danusudirdjo, Deputy Ketua Bappenas Bidang Pengendalian Pelaksanaan, toh menulis puisi. Bahkan barusan saja ia, dalam usia 56, menyelesaikan sebuah novel revolusi, Kereta Api Terakhir ke Yogyakarta. Cerita 156 halaman kuarto itu mengisahkan 48 jam yang menegangkan ketika tahun 1947, para pejuang berusaha mengungsikan gerbong-gerbong kereta api di Jawa ke Sala. "Supaya tidak dipakai Belanda," tuturnya. Dan tokoh kisah yang ditulis selama empat bulan di sela-sela kesibukannya itu, ternyata, dua orang perempuan kembar. Barangkali karena "saya sendiri kembar," katanya. "Anak saya pun kembar, laki-laki," sambungnya, tentang anak yang hanya dua itu. Mengapa pejabat tinggi ini menulis novel? "Karena merasa punya utang pada revolusi," katanya. Soalnya, dulu, sewaktu bergerilya di kawasan PatiBlora sebagai Kastaf Pemerintahan Militer di bawah Mayor Munadi (yang kemudian pernah menjadi gubernur JaTeng), ia kehilangan satu tas besar catatan hariannya. "Hanyut di sungai Blora." Sesudah itu, pada suatu malam, ia diganggu oleh kicau burung kedasih. Dengan kesal burung itu dikejar dan disambitnya dengan batu. "E, kok berkicau tems," katanya. Puluhan tahun kemudian, si kedasih mengganggunya lagi.Berkicau di belakang rumahnya, di Kebayoran Baru - jadi, pasti bukan kedasih yang dulu. Tapi, "istri saya lantas mengingatkan, mungkin saya masih punya utang," katanya. Yakni catatan masa revolusi yang hilang itu. Karena itu, ditulisnyalah novel yang kemudian diserahkannya pada G. Dwipayana dari PPFN (Pusat Produksi Film Negara) -yang konon tertarik untuk memfilmkannya--itu. Tak cuma itu. "Saya masih punya banyak cerita yang bagus," ujarnya. Dua judul yang sudah disiapkannya: Rintihan Burung Kedasih dan Huru-Hara di Kaki Gunung Slamet. Yang terakhir itu, "ceritanya mengenai apa yang dikenal sebagai 'peristiwa tiga daerah'," tutur Slamet. Sedang yang pertama, menceritakan seluk beluk pemerintahan gerilya. "Jadi, revolusi '45 itu bukan hanya dor-doran tapi juga how to organize warfare." Di buku itu nanti akan dimasukkan juga sajak-sajaknya. Orang yang pernah menulis syair tentang operasi anti penyelundupan "Walisongo " itu, merasa perlu menuliskan semua cerita itu karena ia menilai generasi muda tak Banyak tahu tentang itu. Dad katanya, "anak-anak ternyata kepingin mendengarkan dongeng. Cerita yang lebih hidup mengenai revolusi." Lalu sambungnya "Untuk mewariskan nilai-nilai '45 tidak mungkin hanya lewat pidato saja ." Bagi Slamet, apa yang dilakukannya itu adalah "perjuangan." Sehingga ia terkejut ketika ditanya dibeli berapa novelnya yang sudah rampung itu oleh PPFN. "Wah, Pak Dwipo tidak bicara apa-apa tentang itu," katanya. "Tapi PPFN 'kan punya negara. Jadi biar sajalah." Slamet Danusudirdjo memang orang yang sederhana. Ia, misalnya, memakai nama samaran Pandir Kelana. "Pandir itu tolol. Kelana itu pengembara. Nah, kalau ada pengembara yang tolol, itulah saya!" katanya bersungguhsungguh -- sambil tertawa. Dengan jujur -- mungkin Juga bercanda--iapun mengaku, satu-satunya hobinya adalah: tidur. Dan ia bisa memakan segala macam makanan. Yang seharusnya tak boleh dimakannya pun diganyangnya. "Saya ini memang orang yang tidak teratur," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus