Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Menyimpan bendera merah putih ia bernyanyi dan bersyukur

Husein mutahar, 65, seorang pandu dan pencipta lagu-lagu perjuangan. pernah menjabat duta besar di italia. ia dipercayakan untuk menyimpan bendera merah putih. (pt)

10 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pemuda 30-an tahun duduk di kereta api jurusan Yogyakarta dekat jendela. Ia menatap ke luar. Pertempuran sedang berkecamuk - Belanda berusaha merebut kembali kemerdekaan bangsa Indonesia. Sesekali tampak segerombol anak-anak telanjang mengacungkan tangan berteriak "merdeka", dengan gembira. Di tengah irama derak-derik kereta api, diwarnai semangat kegembiraan anak-anak telanjang itu, terngiang-ngiang sebuah lagu di telinga pemuda itu Dwiwarna, dwiwarna/Dwiwarna bendera kita/ Bendera persatan bangsa Indonesia/Dwiwarna, dwiwarna . . . Lagu itu, Dwiwarna, kemudian ditulisnya pada 1947. Dan setahun kemudian, rupanya pemuda itu pula yang dipercaya menerima wasiat untuk menyimpan Sang Dwiwarna. Ketika itu, 1948, untuk kedua kalinya Belanda berusaha kembali ke Indonesia. Yogyakarta - ibukota republik waktu itu -- diduduki. Peluru dan bom berjatuhan di sekitar istana kepresidenan di Gedung Agung. PAI Alkisah, Presiden Soekarno segera memanggil seorang pegawai tinggi Sekretariat Negara. Ia adalah Husein Mutahar, pemuda yang menumpang kereta api tadi. "Dalam keadaan apa pun aku perintahkan engkau menjaga bendera kita ini dengan nyawamu," kata Bung Karno menyerahkan selembar merah-putih, bendera pusaka yang dibikin dan dijahit sendiri oleh Fatmawati, istri Presiden. "Bila engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakan tugasmu kepada orang lain dan dia kemudian harus menyerahkannya ke tanganku sendiri, sebagaimana engkau seharusnya mengerjakannya," kata Presiden lagi. Mutahar memejamkan matanya dan berdoa. Bagaimana membawa bendera itu keluar di tengah kepungan musuh ? Akhirnya ia dapat akal. Dicabutnya benang jahitan yang memisahkan kedua belahan bendera. Bagian yang putih disembunyikan di dalam baju, bagian yang merah di dalam tas pakaian. Aman. Setahun kemudian, dialah pula yang menjahit kembali bendera pusaka itu sebelum dikibarkan di Jakarta setelah penyerahan kedaulatan. Warna merah dan putih itu memang mengalir dalam darahnya sejak muda. Nasionalisme yang menggelegak dalam jiwanya itu ia salurkan melalui bakat seninya. Ia dikenal sebagai komponis lagu-lagu perjuangan: Dwiwarna, Hymne Pancasla, Hari Merdeka, Satu Tujuh Delapan Tahun Empat Lima. Grembira. "Tapi saya sudah lupa lagu-lagu apa saja yang pernah saya gubah. Saya tidak pernah mencatatnya," kata Mutahar, kini 65 tahun. Bahkan kalau ada teman yang mengingatkan lagu ciptaannya, Mutahar tidak berani mengakuinya. "Takut salah, karena tidak ada buktinya," ujarnya. Tapi semua orang tahu, dialah pencipta lagu Syukur yang terasa agung itu. Cerita lahirnya lagu itu menarik. Di zaman pendudukan Jepang Mutahar mendapat hadiah sebuah radio gramafon dari seorang Jepang, Taschiro. Entah disengaja atau karena lupa radio itu tidak disegel. Ketika itu memang banyak orang-orang Jepang yang pro-lndonesia. Lewat radio itulah Mutahar mendengarkan siaran stasiun-stasiun Pemancar di luar negeri, seperti VOA (Amerika) dan BBC (Inggris). Ketika tersiar berita Jepang sudah di ambang pintu kekalahan melawan Sekutu, Mutahar lantas bersyukur: Dari yakinku teguh/Hati ikhlasku penuh/Karna karuniaMu/Tanah air pusaka/lndonesia merdeka/Syukur aku tegakkan/Ke hadiratMu Tuhan . . . Mutahar yang semula ingin menjadi dokter, tak pernah mendapat pendidikan musik secara formal. Sejak masih muda belajar sendiri, terutama kepada dua musikus -- seorang Polandia dan Hongaria yang tinggal di kota kelahirannya, Semarang. Ia juga pencipta lagu Jambore Pramuka 1981. "Lagu yang berirama mars itu mudah dihafal. Mendengar dua-tiga kali saja anak-anak sudah bisa menyanyikannya," kata Mutahar. Lagu ini kabarnya pesanan Nyonya Tien Soeharto. "Saya mengenal Nyonya Tien sejak 1945 ketika sama-sama menjadi anggota Pandu Rakyat Indonesia," tuturnya. Sejak kecil Mutahar, yang kini jadi staf ahli di Deplu itu, memang seoran pandu. Ia ingat betul ketika pada 4 Februari 1926 dilantik sebagai padvinder (pandu) anggota NIPV (Nederlands Indische Padvinders Vereniging). Ketika itu ada grup Belanda, grup Cina dan lan-lain. Mutahar masuk grup yang lebih terbuka, terdiri dari bermacam-macam suku dan bangsa. Ketika itu ia baru 9« tahun, kelas enam ELS (Europesche Lagere School). Di sekolah menengah, Mutahar menjadi anggota Pandu Arjuna yang kebanyakan terdiri dari anak-anak Jawa. Di antara teman-temannya. antara lain terdapat Sajidiman, kini letnan jenderal, dubes di Jepang. "Meskipun mereka anak-anak suku Jawa, tapi jiwanya Indonesia," kata Mutahar. Sebagai bukti, tak lama kemudian Pandu Arjuna mengganti dasi yang semula berwarna biru menjadi merah-putih kotak-kotak. "Ketika itu kan tidak berani terus-terang memakai warna merah-putih," katanya. Mutahar masih menyimpan dasi merah-putih kotak-kotak itu sampai sekarang. Sementara itu perkembangan politik semakin menggugah Muntahar. Gerakan kebangsaan menggebu-gebu, Kongres Pemuda baru saja diselenggarakan. Dan beberapa tahun kemudian, 5 Oktober 1934 muncul A.R. Baswedan membentuk Persatuan Arab Indonesia, yang beberapa tahun kemudian dilebur menjadi partai di Semarang. Ini menyadarkan banyak pemuda keturunan Arab, termasuk Husein Mutahar, bahwa hanya Indonesialah tanah airnya. Pada usia 22, tahun 1938, ia mengikuti jambore internasional di London bersana Teuku Hadi Thayeb kini Gubernur Aceh. Dalam jambore itu ia sempat mengikuti pendidikan kepanduan, bahkan belakangan mendapat semacam ijazah sebagai "pendidik tertinggi". Mutahar adalah satu-satunya orang Indonesia yang mendapat pangkat DCC (Deputy Camp Chief), gelar tertinggi sesudah CC (Camp Chief) yang memimpin kepanduan sedunia. Waktu itu CC-nya adalah Baden Powell, kemudian J.S. Wilson. Di masa revolusi fisik, ia menjadi wartawan majalah dwipekan Revolusi Pemuda yang dipimpin salah seorang saudara Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Di tengah kancah revolusi itu jiwa pandunya tak terlupakan. Ia hadir dalam pertemuan di Sudion Semarang yang kemudian memutuskan konperensi nasional di Sala, 27 Desember 1945. "Ketika itu banyak yang datang langsung dari medan pertempuran, masih pakai sepatu lars, bersenjata dan rambut sampai bahu ' kenang Mutahar. Esoknya, 28 Desember 1945 sore, lahir keputusan mempersatukan beberapa organisasi kepanduan dalam Pandu Rakyat Indonesia. Hanya empat bulan setelah proklamasi, puluhan organisasi kepanduan itu bersatu. Sejarah kepanduan berubah ketik pada 1961 Presiden Soekarno memutuskan seluruh organisasi kepanduan dilebur jadi Pramuka, dengan sebuah keppres yang ditandantangani oleh Perdana Menteri Djuanda -- yang di zaman sebelum perang menjadi anggota Pandu Pasundan. Dan Mutahar pula yang menciptakan kepanjangan dari pramuka yakni: pradya muda karana. Sampai 1969 ia aktif sebagai salah seorang pimpinan Kwartir Nasional Pramuka di samping jabatan resminya sebagai Dirjen Pramuka dan Pemuda (1966-1969). Sesudah itu ia menjadi dubes di Vatikan sampai 1973. Di Italia, hanya dalam waktu enam bulan, jebolan FH-UGM ini sudah bisa ngomong Italia. "Saya bicara langsung dengan Paus, tanpa penerjemah," ujarnya bangga. Ia memang seorang penggemar bahasa. Ketika pertama kali bertugas di lual negeri itulah, Mutahar merasa perlu menciptakan pakaian resmi bagi diplomat Indonesia misalnya untuk upacara penyerahan surat-surat kepercayaan. Seragam itu diilhami oleh Teluk Belanga, pakaian yang dikenakan Presiden Soeharto ketika pertama kali bertandang ke luar negeri. Jongos Rancangan pakaian itu disetujui oleh Presiden. Dan sejak itu resmilah sebagai pakaian dinas para diplomat Indonesia di luar negeri. Tapi pakaian itu agak aneh. Bahkan Sri Sultan sendiri menilai, "kok se.perti seragam jongos." Menanggapi penilaian itu Mutahar menukas: "Tidak Pak, seperti pakaian bupati." Mutahar sendiri yang sehari-hari lebih suka mengenakan sarung, menyukai kemeja batik. Di rumahnya, di kawasan Kebayoran Baru, Mutahar punya koleksi batik dan sarung. Beberapa di antara koleksi batiknya hasil kreasi Haji Akwan dari Pekalongan, bekas muridnya. Semuanya batik tulis, harganya antara Rp 7.500 sampai Rp 60.000. Ia juga punya koleksi batik karya Iwan Tirta. Pensiunan Deplu yang tetap bujangan ini punya belasan tanda penghargaan, antara lain Bintang Mahaputra. Dia memang tidak menikah. lapi ia mengaku punya tiga istri: buku, musik, batik. Ia punya tiga anak angkat, lelaki semua Dua orang sudah berkeluarga dan sudah memberinya dua cucu. "Saya sudah puas dengan anak dan cucu-cucu angkat saya," katanya. Sekitar tahun 50-an ia pernah naksir seorang gadis Sunda. "Tapi urung dan saya tidak patah hati," katanya tertawa terbahak-bahak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus