SEORANG pemuda 30-an tahun duduk di kereta api jurusan
Yogyakarta dekat jendela. Ia menatap ke luar. Pertempuran sedang
berkecamuk - Belanda berusaha merebut kembali kemerdekaan bangsa
Indonesia. Sesekali tampak segerombol anak-anak telanjang
mengacungkan tangan berteriak "merdeka", dengan gembira.
Di tengah irama derak-derik kereta api, diwarnai semangat
kegembiraan anak-anak telanjang itu, terngiang-ngiang sebuah
lagu di telinga pemuda itu Dwiwarna, dwiwarna/Dwiwarna bendera
kita/ Bendera persatan bangsa Indonesia/Dwiwarna, dwiwarna . .
.
Lagu itu, Dwiwarna, kemudian ditulisnya pada 1947. Dan setahun
kemudian, rupanya pemuda itu pula yang dipercaya menerima wasiat
untuk menyimpan Sang Dwiwarna. Ketika itu, 1948, untuk kedua
kalinya Belanda berusaha kembali ke Indonesia. Yogyakarta -
ibukota republik waktu itu -- diduduki. Peluru dan bom
berjatuhan di sekitar istana kepresidenan di Gedung Agung.
PAI
Alkisah, Presiden Soekarno segera memanggil seorang pegawai
tinggi Sekretariat Negara. Ia adalah Husein Mutahar, pemuda
yang menumpang kereta api tadi. "Dalam keadaan apa pun aku
perintahkan engkau menjaga bendera kita ini dengan nyawamu,"
kata Bung Karno menyerahkan selembar merah-putih, bendera
pusaka yang dibikin dan dijahit sendiri oleh Fatmawati, istri
Presiden.
"Bila engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakan
tugasmu kepada orang lain dan dia kemudian harus menyerahkannya
ke tanganku sendiri, sebagaimana engkau seharusnya
mengerjakannya," kata Presiden lagi. Mutahar memejamkan matanya
dan berdoa. Bagaimana membawa bendera itu keluar di tengah
kepungan musuh ? Akhirnya ia dapat akal.
Dicabutnya benang jahitan yang memisahkan kedua belahan bendera.
Bagian yang putih disembunyikan di dalam baju, bagian yang merah
di dalam tas pakaian. Aman. Setahun kemudian, dialah pula yang
menjahit kembali bendera pusaka itu sebelum dikibarkan di
Jakarta setelah penyerahan kedaulatan.
Warna merah dan putih itu memang mengalir dalam darahnya sejak
muda. Nasionalisme yang menggelegak dalam jiwanya itu ia
salurkan melalui bakat seninya. Ia dikenal sebagai komponis
lagu-lagu perjuangan: Dwiwarna, Hymne Pancasla, Hari Merdeka,
Satu Tujuh Delapan Tahun Empat Lima. Grembira.
"Tapi saya sudah lupa lagu-lagu apa saja yang pernah saya gubah.
Saya tidak pernah mencatatnya," kata Mutahar, kini 65 tahun.
Bahkan kalau ada teman yang mengingatkan lagu ciptaannya,
Mutahar tidak berani mengakuinya. "Takut salah, karena tidak ada
buktinya," ujarnya. Tapi semua orang tahu, dialah pencipta lagu
Syukur yang terasa agung itu.
Cerita lahirnya lagu itu menarik. Di zaman pendudukan Jepang
Mutahar mendapat hadiah sebuah radio gramafon dari seorang
Jepang, Taschiro. Entah disengaja atau karena lupa radio itu
tidak disegel. Ketika itu memang banyak orang-orang Jepang yang
pro-lndonesia. Lewat radio itulah Mutahar mendengarkan siaran
stasiun-stasiun Pemancar di luar negeri, seperti VOA (Amerika)
dan BBC (Inggris).
Ketika tersiar berita Jepang sudah di ambang pintu kekalahan
melawan Sekutu, Mutahar lantas bersyukur: Dari yakinku
teguh/Hati ikhlasku penuh/Karna karuniaMu/Tanah air
pusaka/lndonesia merdeka/Syukur aku tegakkan/Ke hadiratMu Tuhan
. . .
Mutahar yang semula ingin menjadi dokter, tak pernah mendapat
pendidikan musik secara formal. Sejak masih muda belajar
sendiri, terutama kepada dua musikus -- seorang Polandia dan
Hongaria yang tinggal di kota kelahirannya, Semarang.
Ia juga pencipta lagu Jambore Pramuka 1981. "Lagu yang berirama
mars itu mudah dihafal. Mendengar dua-tiga kali saja anak-anak
sudah bisa menyanyikannya," kata Mutahar. Lagu ini kabarnya
pesanan Nyonya Tien Soeharto. "Saya mengenal Nyonya Tien sejak
1945 ketika sama-sama menjadi anggota Pandu Rakyat Indonesia,"
tuturnya.
Sejak kecil Mutahar, yang kini jadi staf ahli di Deplu itu,
memang seoran pandu. Ia ingat betul ketika pada 4 Februari 1926
dilantik sebagai padvinder (pandu) anggota NIPV (Nederlands
Indische Padvinders Vereniging). Ketika itu ada grup Belanda,
grup Cina dan lan-lain. Mutahar masuk grup yang lebih terbuka,
terdiri dari bermacam-macam suku dan bangsa. Ketika itu ia baru
9« tahun, kelas enam ELS (Europesche Lagere School).
Di sekolah menengah, Mutahar menjadi anggota Pandu Arjuna yang
kebanyakan terdiri dari anak-anak Jawa. Di antara
teman-temannya. antara lain terdapat Sajidiman, kini letnan
jenderal, dubes di Jepang.
"Meskipun mereka anak-anak suku Jawa, tapi jiwanya Indonesia,"
kata Mutahar. Sebagai bukti, tak lama kemudian Pandu Arjuna
mengganti dasi yang semula berwarna biru menjadi merah-putih
kotak-kotak. "Ketika itu kan tidak berani terus-terang memakai
warna merah-putih," katanya. Mutahar masih menyimpan dasi
merah-putih kotak-kotak itu sampai sekarang.
Sementara itu perkembangan politik semakin menggugah Muntahar.
Gerakan kebangsaan menggebu-gebu, Kongres Pemuda baru saja
diselenggarakan. Dan beberapa tahun kemudian, 5 Oktober 1934
muncul A.R. Baswedan membentuk Persatuan Arab Indonesia, yang
beberapa tahun kemudian dilebur menjadi partai di Semarang. Ini
menyadarkan banyak pemuda keturunan Arab, termasuk Husein
Mutahar, bahwa hanya Indonesialah tanah airnya.
Pada usia 22, tahun 1938, ia mengikuti jambore internasional di
London bersana Teuku Hadi Thayeb kini Gubernur Aceh. Dalam
jambore itu ia sempat mengikuti pendidikan kepanduan, bahkan
belakangan mendapat semacam ijazah sebagai "pendidik tertinggi".
Mutahar adalah satu-satunya orang Indonesia yang mendapat
pangkat DCC (Deputy Camp Chief), gelar tertinggi sesudah CC
(Camp Chief) yang memimpin kepanduan sedunia. Waktu itu CC-nya
adalah Baden Powell, kemudian J.S. Wilson.
Di masa revolusi fisik, ia menjadi wartawan majalah dwipekan
Revolusi Pemuda yang dipimpin salah seorang saudara Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Di tengah kancah revolusi itu jiwa pandunya
tak terlupakan. Ia hadir dalam pertemuan di Sudion Semarang yang
kemudian memutuskan konperensi nasional di Sala, 27 Desember
1945.
"Ketika itu banyak yang datang langsung dari medan pertempuran,
masih pakai sepatu lars, bersenjata dan rambut sampai bahu '
kenang Mutahar. Esoknya, 28 Desember 1945 sore, lahir keputusan
mempersatukan beberapa organisasi kepanduan dalam Pandu Rakyat
Indonesia. Hanya empat bulan setelah proklamasi, puluhan
organisasi kepanduan itu bersatu.
Sejarah kepanduan berubah ketik pada 1961 Presiden Soekarno
memutuskan seluruh organisasi kepanduan dilebur jadi Pramuka,
dengan sebuah keppres yang ditandantangani oleh Perdana Menteri
Djuanda -- yang di zaman sebelum perang menjadi anggota Pandu
Pasundan. Dan Mutahar pula yang menciptakan kepanjangan dari
pramuka yakni: pradya muda karana.
Sampai 1969 ia aktif sebagai salah seorang pimpinan Kwartir
Nasional Pramuka di samping jabatan resminya sebagai Dirjen
Pramuka dan Pemuda (1966-1969). Sesudah itu ia menjadi dubes di
Vatikan sampai 1973. Di Italia, hanya dalam waktu enam bulan,
jebolan FH-UGM ini sudah bisa ngomong Italia. "Saya bicara
langsung dengan Paus, tanpa penerjemah," ujarnya bangga. Ia
memang seorang penggemar bahasa.
Ketika pertama kali bertugas di lual negeri itulah, Mutahar
merasa perlu menciptakan pakaian resmi bagi diplomat Indonesia
misalnya untuk upacara penyerahan surat-surat kepercayaan.
Seragam itu diilhami oleh Teluk Belanga, pakaian yang dikenakan
Presiden Soeharto ketika pertama kali bertandang ke luar negeri.
Jongos
Rancangan pakaian itu disetujui oleh Presiden. Dan sejak itu
resmilah sebagai pakaian dinas para diplomat Indonesia di luar
negeri. Tapi pakaian itu agak aneh. Bahkan Sri Sultan sendiri
menilai, "kok se.perti seragam jongos." Menanggapi penilaian itu
Mutahar menukas: "Tidak Pak, seperti pakaian bupati."
Mutahar sendiri yang sehari-hari lebih suka mengenakan sarung,
menyukai kemeja batik. Di rumahnya, di kawasan Kebayoran Baru,
Mutahar punya koleksi batik dan sarung. Beberapa di antara
koleksi batiknya hasil kreasi Haji Akwan dari Pekalongan, bekas
muridnya. Semuanya batik tulis, harganya antara Rp 7.500 sampai
Rp 60.000. Ia juga punya koleksi batik karya Iwan Tirta.
Pensiunan Deplu yang tetap bujangan ini punya belasan tanda
penghargaan, antara lain Bintang Mahaputra. Dia memang tidak
menikah. lapi ia mengaku punya tiga istri: buku, musik, batik.
Ia punya tiga anak angkat, lelaki semua Dua orang sudah
berkeluarga dan sudah memberinya dua cucu. "Saya sudah puas
dengan anak dan cucu-cucu angkat saya," katanya. Sekitar tahun
50-an ia pernah naksir seorang gadis Sunda. "Tapi urung dan saya
tidak patah hati," katanya tertawa terbahak-bahak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini