ANTREAN panjang sekali di gedung pertunjukan Balai Desa. Harga
karcis satu Rp 20 juta, termasuk kupon berhadiah tiket ke
Polandia -- perginya saja.
Lakonnya 'Masa Dewasa Kedua', sebuah "seminarasehan", bentuk
tontonan yang lagi in masa itu. Masa itu adalah tahun 2000-plus.
Plus berapa, boleh ditawar. Seminarasehan konon keturunan
gabungan berbagai pertunjukan rakyat abad ke-20 yang serupa tapi
sama: seminar, simposium, penataran, lokakarya, diskusi panel,
sarasehan.
Moderator mulai. "Kami sengaja sajikan tema 'Masa Dewasa Kedua'
berhubung problem ini makin menjadi masalah yang dapat
membahayakan dinamika nasional.
"Masa dewasa kedua terjadi pada usia 60-80 tahun. Di usia ini
orang diserang rasa ingin tenteram, ditandai dengan menurunnya
gairah, mengendurnya vitalitas, tumbuhnya nafsu hidup tenang dan
santai. Ini berakar pada kecemasan bahwa sesudah umur 80 nanti
mereka akan seperti anak-anak lagi, senil, persis waktu remaja
kedua. Mereka mau lawan takdir ini mereka ingin buktikan mereka
masih dewasa.
"Pria dewasa kedua mulai bersikap kedewasa-dewasaan bertingkah
aneh-aneh. Mulai berhenti bersolek. Alis tak lagi disemirnya,
dan parfumnya yang pour l'homme ia ganti Rheumason. Ia jadi
malas keluyuran malam, lebih suka tinggal di rumah bersama istri
yang sudah dikawininya selama 50 tahun.
"Yang lebih gawat ialah kalau ia mulai berperilaku menyimpang
dengan meninggalkan para simpanannya, apalagi menceraikan
istri-istri mudanya. Ini akan tidak mendukung program pemerintah
untuk memantapkan norma KB, Keluarga Banyak.
"Padahal masalah nasional paling mendesak dewasa ini adalah
kelangkaan penduduk. Kita tahu, makin membanjir saja rakyat yang
bertransmigrasi ke Amerika. Baik untuk studi lewat biro
pariwisata maupun sebagai budak kontrakan. Lama-lama negeri kita
akan hampa-penduduk! Untuk mencegah itu kita harus mensukseskan
crash program pelipatgandaan produksi bayi baru, melalui
ekstensifikasi dan diversifikasi ibu-ibu. Bagaimana ini bisa
dicapai kalau pria hanya terpaku pada satu wanita saja, apalagi
istri tua yang sudah dikawininya selama 50 tahun?"
Moderator masih nerocos, tapi para panelis mulai gelisah.
Akhirnya seorang dari mereka, PhD. Berijazah dalam ilmu
pubertologi, menjambret palu Moderator dan mendokdokkannya pada
meja.
"Saudara Moderator hanya bertugas memperkenalkan kami dan
menjaga lalu-lintas pembicaraan!" tegurnya. "Saudara tidak
berwenang untuk ceramah sendiri, apalagi memakai makalah saya!"
Moderator seketika pucat, kaget. Lalu merah padam, malu. Lalu
pucat sekaligus merah padam. (Di tahun 2000 plus, orang bisa
pucat sekaligus merah padam). Karena itu ia tidak bisa
meneruskan pembicaraannya. (Di tahun 2000-plus, orang yang pucat
sekaligus merah padam tidak bisa terus bicara). Maka pubertolog
tadi langsung menimpakan gilirannya.
"Usia dewasa kedua lebih merupakan masalah kaum laki-laki
daripada kaum bencong," bukanya. "Tetapi yang sering
dipersalahkan justru kaum istri. Kalau suami betah di rumah dan
enggan pelesir dengan perempuan lain, itu katanya salah si istri
karena si istri di rumah pun selalu dandan rapi, berpakaian
sexy, atau melayani suami penuh bakti. Padahal suami harus
menyadari, betapa menarik pun istri sendiri, wanita lain banyak
saja yang lebih menggairahkan. Punya istri cantik bukan alasan
bagi suami untuk menyeleweng dari pacar-pacarnya."
Moderator menghentikannya, dalam rangka balas dendam dibikin
malu tadi. "Waktu dipersilakan" kepada pembicara berikut,
seorang doktor spesialis hormon.
"Dalam semua buku kedokteran yang saya punyai, tidak satu pun
yang menyebut kasus dewasa kedua. Padahal tidak satu pun buku
kedokteran yang saya punyai. Itu buktinya masa dewasa kedua
tidak ada! Jadi seminarasehan ini juga tidak ada! Bahkan tulisan
ini juga tidak ada!"
"Honorariumnya juga tidak bakal ada!" seru Moderator jengkel,
sambil menyerahkan giliran kepada seorang tokoh Majelis Wali
Sesepuh.
"Kepercayaan kita memang mengizinkan seorang pria mempunyai satu
istri saja," tuturnya, "tapi hanya atas syarat-syarat tertentu.
Misalnya asal ia tetap menggauli gundik dan istri-istri mudanya.
Atau bila ia tak mampu lagi beli jamu pasakbumi. Itu pun, harus
ada izin tertulis dari perempuan-perempuannya yang lain tadi."
Selanjutnya tampil seorang sosiolog ngetop, idola kaum dewasa.
"Kaum gelandangan," katanya, "tidak bisa disamakan dengan kaum
pengembara. Pengembara terdapat dalam masyarakat yang tidak
mengenal pelapisan sosial dan hirarki yang tajam. Gelandangan
terdapat dalam masyarakat dengan sistem pelapisan sosial tajam
sekaligus elite penguasanya berorientasi sentripetal . . . "
Semula disambut hangat, lama-lama disambut panas oleh hadirin.
Teriakan "Huu! Huu!" mulai menderu-deru. Suatu benda nampak
dilempar ke panggung. Cekatan pembicara itu bangkit dan memungut
benda tersebut. Setelah tahu benda itu bukan uang, ia kembali
lagi.
Tapi Moderator menanyakan KTP dan SIMnya. Ternyata ia panelis
kesasar yang seharusnya bicara dalam Seminarasehan Nasional
Penggalakan Gelandangan yang diadakan bersamaan dekat situ. Ia
cepat-cepat berlalu, tanpa mengembalikan uang muka yang sudah
diterimanya.
Ada juga panelis lain yang tidak jadi bicara. Ia diskors karena
lupa berdiri ketika hadirin masuk ruangan. Namun ia masih
berharap para wartawan akan mengerumuninya. Tapi berhubung tidak
ada wartawan yang mengerumuninya, ia sendiri yang pergi
mengerumuni wartawan. Para wartawan yang bingung bagaimana satu
orang bisa mengerumuni banyak orang, segan mewawancarainya.
Kehilangan semangat, ia pulang tanpa membakar panggung dan
mobil-mobil yang sedang diparkir.
Seminarasehan usai. Para panelis meninggalkan ruangan. Moderator
memperhatikan mereka. Ia geleng-geleng kepala, menghela napas
panjang. Ia sedih. Ia sedih bukan karena harus geleng-geleng
kepala dan menghela napas panjang, tetapi karena tahu apa yang
akan mereka lakukan. Mereka akan langsung pulang, beristirahat
santai di sisi istri masing-masing. Ya, para ilmuwan yang tadi
begitu gigih menganjurkan pola hidup berbirahi itu! Munafik.
Moderator berkemas dan melangkah pulang -- ke tempat istrinya
yang sudah dikawininya selama 50 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini