DALAM sebuah lokakarya, seorang tokoh terkemuka gerakan
nonpemerintah membuat analogi dengan budaya kraton di Jawa.
Organisasi nonpemerintah (ornop) yang berkiprah di bawah, untuk
rneningkatkan kualitas hidup masyarakat punya fungsi yang unik.
Yaitu sebagai bulan-bulanan rasa tidak senang aparat
pemerintahan di daerah, bahkan di lapangan. Dianggap saingan
berat yang dapat mematikan 'usaha' pemerintah sendiri. Ini sama
dengan kedudukan sejenis makhluk istimewa dalam budaya kraton
Jawa disebut untul-untul (bunyi t menurut lidah Bali dan Aceh).
Mereka para pengawal bangsawan Jawa.
Karena terpisah sama sekali dari komunikasi dengan rakyat
banyak, kecuali melalui laporan petugas kraton sendiri, para
bangsawan itu sering kesepian. Untuk diajak berbincang-bincang
dan meramaikan suasana, diangkatlah untul-untul. Dalam bahasa
kerennya disebut court jesters, walaupun istilah tersebut tidak
hanya terbatas untuk untul-untul. Kalau sang bangsawan kesal
hati, mungkin kalah memperebutkan gundik, berubahlah fungsi
untul-untul: tidak lagi menghibur secara aktif, melainkan secara
pasif -- dengan menyediakan badan sendiri sebagai sasaran
pelampiasan. Dengan kata lain harus bersedia ditempeleng
sekali-sekali.
Sudah tentu bukan nasib ornop untuk dijadikan bulan-bulan tindak
kekerasan para petugas pemerintahan di bawah. Mustahil dijadikan
sasaran tempeleng. Bukankah untuk itu masih banyak pencuri dan
pencopet, yang dapat dipermak? Apalagi tahanan yang belum tahu
sudah ada KUHAP di negeri ini, yang diundangkan setelah proses
bertele-tele. Namun memang nyata juga keuntul-untulan ornop itu.
Dijadikan sasaran kecurigaan. Dikenakan berbagai restriksi, demi
stabilitas nasional. Dibuat loyo, dengan berbelit-belitnya
prosedur yang harus ditempuh sebelum bisa memulai kerja. Dan
sedikit banyak dicurigai sebagai rongrongan terhadap pola
pembangunan nasional. Ini terasa, walaupun tak terkatakan, oleh
pejabat pemerintah mana pun.
Karena adanya perasaan dicurigai seperti itulah, kebanyakan omop
lalu berkecil hati. Sehingga akhirnya menggunakan istilah
organisasi nonpemerintah juga terasa berat. Bukankah itu artinya
"terpisah dari pemerintah?" Apa tidak ada implikasi "menentang
pemerintah", kalau digunakan terus istilah tersebut? Heran juga,
kalau kata bukan (arti harfiah istilah asing 'non') lalu
disamakan artinya dengan menentang (terjemahan istilah anti).
Orang boleh bersumpah-serapah menyalahkan sikap takut
menggunakan istilah itu. Tapi sikap pemerintah sendiri
bagaimana.
Masalahnya tidak sederhana. Sang ornop bertolak dari rasa wajib
berpartisipasi penuh dalam pembangunan. Sudah tentu melalui
bidang yang dianggap terkuasai dengan baik. Kesehatan
masyarakat, kredit untuk usaha sosial-ekonomi, pengalihan
teknologi tepatguna ke pedesaan, bantuan hukum, pembinaan
industri kerajinan, dan seterusnya. Sudah tentu bertolak dari
visi masing-masing, tentang apa yang seharusnya didahulukan dan
dikerjakan. Di samping skala prioritas apa yang akan dikerjakan,
juga orientasinya, pendekatan kemasyarakatan untuk
mempersiapkannya, pengelolaan organisatorisnya, pengawasan dan
penilaian atasnya, dan seterusnya.
Nah, dalam masalah visi inilah sering terjadi perbedaan
pandangan dengan pejabat pemerintah di daerah, yang bagaimanapun
juga tidak boleh menyimpang dari 'aturan' berupa Repelita, RAPBN
dan RAPBD, sekian juklak (petunjuk pelaksanaan) dan seribu satu
kelengkapan pembangunan sendiri. Belum lagi masih kuatnya budaya
etatis (serba negara) di kalangan petug,as pemerintahan dibawah.
Jadi wajar kalau ada rasa curiga, ketika datang-datang ada orang
muncul dengan proyek yang tadinya terpikirkan pun tidak oleh
mereka. Walaupun tidak bertentangan dengan GBHN dan Repelita,
apalai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Cukup'tidak
sama'dengan yang tertera dalam 'konsep pembangunan' di tangan
mereka, harus dicurigai. Dan di negeri ini, kecurigaan sudah
cukup untuk menggagalkan kerja yang paling mulia sekalipun.
Sepintas lalu, menjadi benar penyamaan antara ornop kita dan
untul-untul, itu lembaga tersial dalam budaya kraton Jawa. Yang
jadi masalah pokok adalah: tidakkah diperlukan pendekatan lebih
jauh? Bukankah masih mungkin dicari penyelesaian segenap
keruwetan yang melanda ornop, kalau dibicarakan, secara terbuka,
dengan pihak pemerintah di tingkat pusat? Umpamanya saja,
wewenang lebih besar dan dorongan kepada petugas di daerah untuk
'membina' ornop. Katakanlah semacam perlombaan: instansi mana
yang paling banyak membina ornop, di samping BKKBN dengan pihak
dampingan bernama 'unit pelaksana'.
Lalu penyederhanaan prosedur memulai kerja. Tidak lagi harus ada
semacam persetujuan formal antara 'organisasi induk' dan
direktorat atau badan pemerintahan yang bersangkutan. Itu
mungkin salah satu titik strategis untuk membina peranserta
(partisipasi) ornop. Apalagi setelah mereka bersaling wajah,
tidak lagi menggunakan istilah ornop. Melainkan dipersolek
dengan sebutan LPSM dan LSM (Lembaga Pembina Swadaya Masyarakat
dan Lembaga Swadaya Masyarakat). KUD, kalau menurut konsep
semula, adalah sebuah LPSM. Sedang BWD melakukan kerja LSM.
Memang sudah wajar kalau aparat pemerintahanmenaruh kecurigaan,
demi kepentingan warga negara. Kalau tidak begitu tidak akan ada
pengadilan dan petugas keamanan - kedua-duanya adalah antisipasi
terhadap kemungkinan kejahatan. Jadi di antara sekian juta warga
negara pasti ada yang harus dicurigai. Dibuatlah prototipe
manusia yang harus dicurigai, dan ilmu-ilmu seperti kriminologi
pun berkembang.
Yang menjadi masalah adalah kadar kecurigaan itu. Haruskah
semuanya diperlakukan sama? Atau justru dalam pola antisipatif
saja? Ya, dalam pergaulan dengan omop, pemerintah pun lebih baik
bersikap preventif longgar. Jangan represif. Apalagi kalau
sampai menjadi obsesi. Kalau telah begini, memang sudah
nasibnya ornop sebagai untul-untul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini