Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ornop: benarkah untul-untul ?

Organisasi non pemerintah, dianggap saingan berat yang dapat mematikan usaha pemerintah. salah satu titik strategis untuk peran ornop, istilahnya diganti dengan lpsm dan lsm sebagai konsep semula kud & buud.

10 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM sebuah lokakarya, seorang tokoh terkemuka gerakan nonpemerintah membuat analogi dengan budaya kraton di Jawa. Organisasi nonpemerintah (ornop) yang berkiprah di bawah, untuk rneningkatkan kualitas hidup masyarakat punya fungsi yang unik. Yaitu sebagai bulan-bulanan rasa tidak senang aparat pemerintahan di daerah, bahkan di lapangan. Dianggap saingan berat yang dapat mematikan 'usaha' pemerintah sendiri. Ini sama dengan kedudukan sejenis makhluk istimewa dalam budaya kraton Jawa disebut untul-untul (bunyi t menurut lidah Bali dan Aceh). Mereka para pengawal bangsawan Jawa. Karena terpisah sama sekali dari komunikasi dengan rakyat banyak, kecuali melalui laporan petugas kraton sendiri, para bangsawan itu sering kesepian. Untuk diajak berbincang-bincang dan meramaikan suasana, diangkatlah untul-untul. Dalam bahasa kerennya disebut court jesters, walaupun istilah tersebut tidak hanya terbatas untuk untul-untul. Kalau sang bangsawan kesal hati, mungkin kalah memperebutkan gundik, berubahlah fungsi untul-untul: tidak lagi menghibur secara aktif, melainkan secara pasif -- dengan menyediakan badan sendiri sebagai sasaran pelampiasan. Dengan kata lain harus bersedia ditempeleng sekali-sekali. Sudah tentu bukan nasib ornop untuk dijadikan bulan-bulan tindak kekerasan para petugas pemerintahan di bawah. Mustahil dijadikan sasaran tempeleng. Bukankah untuk itu masih banyak pencuri dan pencopet, yang dapat dipermak? Apalagi tahanan yang belum tahu sudah ada KUHAP di negeri ini, yang diundangkan setelah proses bertele-tele. Namun memang nyata juga keuntul-untulan ornop itu. Dijadikan sasaran kecurigaan. Dikenakan berbagai restriksi, demi stabilitas nasional. Dibuat loyo, dengan berbelit-belitnya prosedur yang harus ditempuh sebelum bisa memulai kerja. Dan sedikit banyak dicurigai sebagai rongrongan terhadap pola pembangunan nasional. Ini terasa, walaupun tak terkatakan, oleh pejabat pemerintah mana pun. Karena adanya perasaan dicurigai seperti itulah, kebanyakan omop lalu berkecil hati. Sehingga akhirnya menggunakan istilah organisasi nonpemerintah juga terasa berat. Bukankah itu artinya "terpisah dari pemerintah?" Apa tidak ada implikasi "menentang pemerintah", kalau digunakan terus istilah tersebut? Heran juga, kalau kata bukan (arti harfiah istilah asing 'non') lalu disamakan artinya dengan menentang (terjemahan istilah anti). Orang boleh bersumpah-serapah menyalahkan sikap takut menggunakan istilah itu. Tapi sikap pemerintah sendiri bagaimana. Masalahnya tidak sederhana. Sang ornop bertolak dari rasa wajib berpartisipasi penuh dalam pembangunan. Sudah tentu melalui bidang yang dianggap terkuasai dengan baik. Kesehatan masyarakat, kredit untuk usaha sosial-ekonomi, pengalihan teknologi tepatguna ke pedesaan, bantuan hukum, pembinaan industri kerajinan, dan seterusnya. Sudah tentu bertolak dari visi masing-masing, tentang apa yang seharusnya didahulukan dan dikerjakan. Di samping skala prioritas apa yang akan dikerjakan, juga orientasinya, pendekatan kemasyarakatan untuk mempersiapkannya, pengelolaan organisatorisnya, pengawasan dan penilaian atasnya, dan seterusnya. Nah, dalam masalah visi inilah sering terjadi perbedaan pandangan dengan pejabat pemerintah di daerah, yang bagaimanapun juga tidak boleh menyimpang dari 'aturan' berupa Repelita, RAPBN dan RAPBD, sekian juklak (petunjuk pelaksanaan) dan seribu satu kelengkapan pembangunan sendiri. Belum lagi masih kuatnya budaya etatis (serba negara) di kalangan petug,as pemerintahan dibawah. Jadi wajar kalau ada rasa curiga, ketika datang-datang ada orang muncul dengan proyek yang tadinya terpikirkan pun tidak oleh mereka. Walaupun tidak bertentangan dengan GBHN dan Repelita, apalai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Cukup'tidak sama'dengan yang tertera dalam 'konsep pembangunan' di tangan mereka, harus dicurigai. Dan di negeri ini, kecurigaan sudah cukup untuk menggagalkan kerja yang paling mulia sekalipun. Sepintas lalu, menjadi benar penyamaan antara ornop kita dan untul-untul, itu lembaga tersial dalam budaya kraton Jawa. Yang jadi masalah pokok adalah: tidakkah diperlukan pendekatan lebih jauh? Bukankah masih mungkin dicari penyelesaian segenap keruwetan yang melanda ornop, kalau dibicarakan, secara terbuka, dengan pihak pemerintah di tingkat pusat? Umpamanya saja, wewenang lebih besar dan dorongan kepada petugas di daerah untuk 'membina' ornop. Katakanlah semacam perlombaan: instansi mana yang paling banyak membina ornop, di samping BKKBN dengan pihak dampingan bernama 'unit pelaksana'. Lalu penyederhanaan prosedur memulai kerja. Tidak lagi harus ada semacam persetujuan formal antara 'organisasi induk' dan direktorat atau badan pemerintahan yang bersangkutan. Itu mungkin salah satu titik strategis untuk membina peranserta (partisipasi) ornop. Apalagi setelah mereka bersaling wajah, tidak lagi menggunakan istilah ornop. Melainkan dipersolek dengan sebutan LPSM dan LSM (Lembaga Pembina Swadaya Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat). KUD, kalau menurut konsep semula, adalah sebuah LPSM. Sedang BWD melakukan kerja LSM. Memang sudah wajar kalau aparat pemerintahanmenaruh kecurigaan, demi kepentingan warga negara. Kalau tidak begitu tidak akan ada pengadilan dan petugas keamanan - kedua-duanya adalah antisipasi terhadap kemungkinan kejahatan. Jadi di antara sekian juta warga negara pasti ada yang harus dicurigai. Dibuatlah prototipe manusia yang harus dicurigai, dan ilmu-ilmu seperti kriminologi pun berkembang. Yang menjadi masalah adalah kadar kecurigaan itu. Haruskah semuanya diperlakukan sama? Atau justru dalam pola antisipatif saja? Ya, dalam pergaulan dengan omop, pemerintah pun lebih baik bersikap preventif longgar. Jangan represif. Apalagi kalau sampai menjadi obsesi. Kalau telah begini, memang sudah nasibnya ornop sebagai untul-untul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus