Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sukses peko aseli

Kelompok tani di Bojongsari, Tasikmalaya mendirikan pabrik teh 'peko sari'. sudah mencatat kemajuan yang tidak kecil, paling tidak untuk lingkungannya yang dulu tergolong miskin. (eb)

10 April 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GENERATOR Kubota menderu-deru, enam mesin rollan mengeringkan pucuk-pucuk teh dan satu mesin Jackson menggilasnya dengan rajin. Bagi sepuluh karyawan yang melayani tujuh mesin itu, agaknya tidak ada yang lebih mengasyikkan daripada bekerja di pabrik (yang kapasitasnya mencapai 4 ton), tiap hari memproses 0,7 - 1 ton pucuk tek. Ini berarti ada yang mubazir di pabrik teh Kampung Bojongari, Salawu, Tasikmalaya, Provinsi Ja-Bar itu. "Bukan tidak ada pucuk teh," ujar Kiai Abdulmajid, 56 tahun, menjelaskan duduk perkara. Guru mengaji yang merangkap sebagai bendahara Kelompok Tani Teh Copo Alam Gunungpayung I ini dengan jujur mengakui bahwa perusahaannya kekurangan uang untuk membeli pucuk teh. Tapi dalam keadaan begitu, pabrik teh sudah mencatat kemajuan yang tidak kecil, paling tidak untuk lingkungan yang dulu tergolong miskin bahkan terpencil. Berkat adanya pabrik, Bojongsari sekarang dikenal sebagai pengekspor teh "Peko Aseli", made in Kelompok Tani tersebut. Tiap 1 ons teh dikemas dalam bungkus plastik yang siap dipasarkan ke Bandung, Tasikmalaya, Garut, Ciamis, bahkan sudah pula tersebar ke beberapa kota di Jawa Tengah. Agaknya teh Peko Aseli merupakan puncak pengusahaan teh di Bojongsari yang, sepanjang riwayatnya tidak pernah dihinggapi sukses. Sejak zaman Belanda, 70% penduduk desa (sekarang 1157 jiwa) bertani teh, usaha turun-temurun yang akhirnya kandas di tangan Kempeitai Jepang. Kebun teh rakyat ini dibabat habis oleh mereka lalu kemudian ditanami ubi jalar dan singkong. Hasilnya mengecewakan, penduduk banyak yang kelaparan hingga merantau bertemperasan sampai-sampai ke Sumatera Selatan dan Kalimantan. Yang bertahan di Bojongsari keadaannya juga tidak lebih baik, sampai pada suatu hari di awal tahun 1977 manakala PMU (Proyek Manajemen Unit) Teh Dinas Pertanian Ja-Bar datang menawarkan kredit, dengan syarat wajib mengikuti latihan ketrampilan PMU. Angkatan I peserta kursus teh PMU dari Bojongsari ada sepuluh orang, dari Mandalasari, sebuah desa yang berdekatan, 15 orang. Dalam percobaan pertama, semua benih yang disemai 95% tumbuh. Serentak dengan itu semangat wiraswasta mereka juga tumbuh. Sekarang, produksi tiap hektar rata-rata 4 kuintal teh basah, yang oleh para ahli digolongkan dalam jenis teh hijau, bukan kualitas ekspor. Harganya Rp 90 per kg, dengan masa petik 10 hari sekali. "Setelah kebun teh berhasil baik, segala keperluan kami kecukupan," kata Kiai lega. Tapi bersama rekannya sesama petani yang sudah belajar bertani, manajemen dan pemasaran tidak mau berhenti sampai di sini. Bertolak dari gagasan Enjoh, Ketua Kelompok Tani, mereka kumpulkan modal Rp 4 juta. Ditambah kredit Rp 14 juta dari BRI dan Rp 2 juta dari HKTl, berdirilah sebuah pabrik yang tiap hari menderu-deru, bukan hanya di Bojongsari tapi juga di Mandalasari. Teh yang diolah berasal dari kebun teh rakyat seluas 200 hektar. Saat ini kekayaan (asset) Kelompok Tani Gunungpayung I berupa bangunan pabrik, kios, pupuk, tanah, seluruhnya bernilai Rp 30 juta. Tersisa modal kerja Rp 1 juta, yang terasa kurang. Karena itu Kelompok Tani minta kredit lagi pada BRI, sebesar Rp 30 juta. "Dengan penghasilan seperti sekarang, saya optimistis dalam 9 tahun kredit itu bisa dilunasi," ujar Enjoh. Untuk melunasi utang, tiap anggota wajib setor, khusus untuk 40% utang kelompok. Jumlah itu nanti menjadi saham anggota. Tapi diakui Enjoh, pabrik sampai sekarang belum memberi untung pada para anggotanya. Meski demikian, dari penjualan daun teh ke pabrik saja, para petani sudah bisa bernapas longgar. Engkar, misalnya, 52 tahun, yang memiliki 1,5 hektar pula, pernah meninggalkan tanahnva untuk menjadi buruh bangunan. Kini rumah panggungnya sudah diganti ubin dan beratap genteng. Tanahnya sebulan bisa menghasilkan 4 kuintal (400 kg) daun teh. "Dari daun teh yang dibeli pabrik, kami bisa mendapat uang Rp 36 ribu sebulan," katanya. Hasil ini termasuk lumayan dibanding kebun teh negara yang rata-rata cuma menghasilkan 200 kg per hektarnya. Petani teh se-Kabupaten Tasikmalaya, 20-21 Maret baru lalu malah meresmikan panen raya kebun binaan PMU, yang rata-rata mencatat hasil 1600 kg per hektar per tahun. Rekor ini mengejutkan PMU dan pihak perkebunan. Menengok keberhasilannya meng himpun petani dan mendirikan pabrik, kelompok tani ini agaknya kurang berminat membentuk koperasi -- yang kini lagi menjadi model di mana-mana. "Cara kerjanya saja yang mirip koperasi. Tapi bila disebut koperasi, orang pada takut. Terkenang pengalaman koperasi yang selalu gagal di masa lampau," kata EnJoh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus