GENERATOR Kubota menderu-deru, enam mesin rollan mengeringkan
pucuk-pucuk teh dan satu mesin Jackson menggilasnya dengan
rajin. Bagi sepuluh karyawan yang melayani tujuh mesin itu,
agaknya tidak ada yang lebih mengasyikkan daripada bekerja di
pabrik (yang kapasitasnya mencapai 4 ton), tiap hari memproses
0,7 - 1 ton pucuk tek.
Ini berarti ada yang mubazir di pabrik teh Kampung Bojongari,
Salawu, Tasikmalaya, Provinsi Ja-Bar itu. "Bukan tidak ada pucuk
teh," ujar Kiai Abdulmajid, 56 tahun, menjelaskan duduk perkara.
Guru mengaji yang merangkap sebagai bendahara Kelompok Tani Teh
Copo Alam Gunungpayung I ini dengan jujur mengakui bahwa
perusahaannya kekurangan uang untuk membeli pucuk teh. Tapi
dalam keadaan begitu, pabrik teh sudah mencatat kemajuan yang
tidak kecil, paling tidak untuk lingkungan yang dulu tergolong
miskin bahkan terpencil.
Berkat adanya pabrik, Bojongsari sekarang dikenal sebagai
pengekspor teh "Peko Aseli", made in Kelompok Tani tersebut.
Tiap 1 ons teh dikemas dalam bungkus plastik yang siap
dipasarkan ke Bandung, Tasikmalaya, Garut, Ciamis, bahkan sudah
pula tersebar ke beberapa kota di Jawa Tengah. Agaknya teh Peko
Aseli merupakan puncak pengusahaan teh di Bojongsari yang,
sepanjang riwayatnya tidak pernah dihinggapi sukses.
Sejak zaman Belanda, 70% penduduk desa (sekarang 1157 jiwa)
bertani teh, usaha turun-temurun yang akhirnya kandas di tangan
Kempeitai Jepang. Kebun teh rakyat ini dibabat habis oleh mereka
lalu kemudian ditanami ubi jalar dan singkong. Hasilnya
mengecewakan, penduduk banyak yang kelaparan hingga merantau
bertemperasan sampai-sampai ke Sumatera Selatan dan Kalimantan.
Yang bertahan di Bojongsari keadaannya juga tidak lebih baik,
sampai pada suatu hari di awal tahun 1977 manakala PMU (Proyek
Manajemen Unit) Teh Dinas Pertanian Ja-Bar datang menawarkan
kredit, dengan syarat wajib mengikuti latihan ketrampilan PMU.
Angkatan I peserta kursus teh PMU dari Bojongsari ada sepuluh
orang, dari Mandalasari, sebuah desa yang berdekatan, 15 orang.
Dalam percobaan pertama, semua benih yang disemai 95% tumbuh.
Serentak dengan itu semangat wiraswasta mereka juga tumbuh.
Sekarang, produksi tiap hektar rata-rata 4 kuintal teh basah,
yang oleh para ahli digolongkan dalam jenis teh hijau, bukan
kualitas ekspor. Harganya Rp 90 per kg, dengan masa petik 10
hari sekali. "Setelah kebun teh berhasil baik, segala keperluan
kami kecukupan," kata Kiai lega.
Tapi bersama rekannya sesama petani yang sudah belajar bertani,
manajemen dan pemasaran tidak mau berhenti sampai di sini.
Bertolak dari gagasan Enjoh, Ketua Kelompok Tani, mereka
kumpulkan modal Rp 4 juta. Ditambah kredit Rp 14 juta dari BRI
dan Rp 2 juta dari HKTl, berdirilah sebuah pabrik yang tiap hari
menderu-deru, bukan hanya di Bojongsari tapi juga di
Mandalasari. Teh yang diolah berasal dari kebun teh rakyat
seluas 200 hektar.
Saat ini kekayaan (asset) Kelompok Tani Gunungpayung I berupa
bangunan pabrik, kios, pupuk, tanah, seluruhnya bernilai Rp 30
juta. Tersisa modal kerja Rp 1 juta, yang terasa kurang. Karena
itu Kelompok Tani minta kredit lagi pada BRI, sebesar Rp 30
juta.
"Dengan penghasilan seperti sekarang, saya optimistis dalam 9
tahun kredit itu bisa dilunasi," ujar Enjoh. Untuk melunasi
utang, tiap anggota wajib setor, khusus untuk 40% utang
kelompok. Jumlah itu nanti menjadi saham anggota. Tapi diakui
Enjoh, pabrik sampai sekarang belum memberi untung pada para
anggotanya.
Meski demikian, dari penjualan daun teh ke pabrik saja, para
petani sudah bisa bernapas longgar. Engkar, misalnya, 52 tahun,
yang memiliki 1,5 hektar pula, pernah meninggalkan tanahnva
untuk menjadi buruh bangunan. Kini rumah panggungnya sudah
diganti ubin
dan beratap genteng. Tanahnya sebulan bisa menghasilkan 4
kuintal (400 kg) daun teh. "Dari daun teh yang dibeli pabrik,
kami bisa mendapat uang Rp 36 ribu sebulan," katanya. Hasil ini
termasuk lumayan dibanding kebun teh negara yang rata-rata cuma
menghasilkan 200 kg per hektarnya.
Petani teh se-Kabupaten Tasikmalaya, 20-21 Maret baru lalu malah
meresmikan panen raya kebun binaan PMU, yang rata-rata mencatat
hasil 1600 kg per hektar per tahun. Rekor ini mengejutkan PMU
dan pihak perkebunan.
Menengok keberhasilannya meng himpun petani dan mendirikan
pabrik, kelompok tani ini agaknya kurang berminat membentuk
koperasi -- yang kini lagi menjadi model di mana-mana. "Cara
kerjanya saja yang mirip koperasi. Tapi bila disebut koperasi,
orang pada takut. Terkenang pengalaman koperasi yang selalu
gagal di masa lampau," kata EnJoh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini