Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1964 saya sudah menjadi asisten profesor dan sekretaris eksekutif Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dekannya waktu itu Profesor Soejono Hadinoto. Ketika Soejono diangkat menjadi menteri merangkap Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung, dia menawari saya menjadi sekretarisnya.
Sebelum menerima tawaran itu, saya meminta pertimbangan rekan saya, Harry Tjan, yang saat itu sudah menjadi Sekretaris Jenderal Partai Katolik. Saya katakan, "Piye, yo? Cita-cita saya itu menjadi profesor." Saya juga berencana mencari beasiswa untuk meraih gelar PhD dari Universitas Harvard pada 1965, tapi saya batalkan.
Atas saran Harry dan rekan-rekan kelompok Katolik, saya akhirnya menerima tawaran Profesor Soejono. Mereka menganggap perlu "mata dan telinga" untuk mengetahui siapa saja orang yang dekat dengan Bung Karno, mengingat situasi politik saat itu mulai genting. Waktu itu saya menjabat Wakil Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI).
Kantor saya berada di lingkungan Istana. Bung Karno saat itu merangkap Ketua DPA. Maka saya mulai aktif mengikuti kegiatan Bung Karno. Hampir tiap pagi saya ikut sarapan bersama Bung Karno dan tamu-tamunya di Istana. Kemudian tiap Sabtu malam saya turut acara menari lenso di Istana Bogor. Ini kegiatan yang sepenuhnya saya ikuti dengan hati senang.
Sepulang dari kunjungan ke Eropa pada awal Agustus 1965, Bung Karno jatuh sakit. Ketika ingin menemui beliau, saya dicegat salah satu ajudan, Kolonel Surachmat, di beranda Istana Merdeka. Dia mengatakan, "Bapak sedang tidak enak badan." Beberapa hari kemudian, Ketua PKI D.N. Aidit membawa enam atau tujuh dokter dari Republik Rakyat Cina. Sejak 1960, PKI memang mengambil garis lebih dekat dengan Partai Komunis Cina ketimbang Partai Komunis Uni Soviet.
Di kulit tubuh Bung Karno sudah muncul bercak-bercak biru. Itu gejala kera cunan karena ginjalnya sudah lama tidak bekerja. Dokter-dokter Cina itu kabarnya mengatakan kepada Aidit, "Apa pun yang mau dilakukan, lakukan segera." Saat itu pertengahan Agustus. Pada akhir Agustus, PKI mulai menyiapkan gerakan.
Saya tidak mendengar sendiri siaran pertama Dewan Jenderal dan Dewan Revolusi pada 1 Oktober pagi oleh Letkol Untung. Saya justru mendengar dari Harry Tjan. Waktu itu saya mau berangkat ke kantor di Istana dengan jip Toyota inventaris dari Sekretariat Negara. Saya mau mampir dulu ke Biro Dokumen tasi Partai Katolik di Jalan Gunung Sahari, tiba-tiba dicegat Harry Tjan. "Kok, ada tembak-tembakan di rumah Nasution dan Yani?"
Harry lantas meminta saya memeriksa keberadaan Bung Karno di Istana. Saya masuk ke Sekretariat Negara dan bertemu dengan sekretaris presiden, Djamin. Saya tanya dia, "Bung Karno di mana?" Djamin menjawab, "Saya tidak tahu." Rupanya dia hanya pura-pura tidak tahu. Se betulnya dia tahu Bung Karno ada di Halim sejak pukul 10 pagi. Saat itu tidak ada seorang pun yang tahu persis apa yang sedang terjadi.
Sekitar pukul 14.00, saya pulang ke Margasiswa markas PMKRI di Jalan Sam Ratulangi, Menteng, Jakarta Pusat. Terdengar pengumuman kedua tentang dewan revolusi di radio. Lho, ada dewan revolusi berjumlah 45 orang tapi tidak ada dari golongan Katolik? Kami langsung menyimpulkan, "Ini mesti PKI." Itu naluri yang bicara. Sebab, ada juga orang Katolik yang pro-Bung Karno, mengapa tak ada yang masuk? Di masa itu, Partai Katolik terhitung partai yang berani menentang PKI.
Setelah sadar PKI ada di balik gerakan itu, langkah pertama kami adalah mengamankan Pak Kasimo. Ketua Partai Katolik itu dikenal anti-PKI. Dia diungsikan ke rumah salah satu teman di daerah Kwitang, Jakarta Pusat. Saya waktu itu berusia 27 tahun, sudah menikah dan dikaruniai dua anak: Yudi dan Ari. Anak-anak saya titipkan kepada mertua.
PMKRI bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dalam HMI ada Firdaus Wajdi, Sulastomo, Mar'ie Muhammad, Akbar Tandjung, dan Fahmi Idris. Kami menggelar aksi massa pertama pada 6 Oktober 1965 di depan Papernas. Sejak itu aksi terjadi setiap hari. Kami berusaha menggunakan Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Tapi PPMI banyak yang kiri. Kami akhirnya membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Selanjutnya diadakan pertemuan pa da 9 November 1965. Sebanyak 1,5 juta orang berkumpul di Lapangan Banteng. Seluruh lapangan sampai jalanan penuh sesak. Kami menuntut pembubaran PKI. Taktik ini juga dipakai dalam Pemilu 1971. Kami memakai hansip yang keliling dari rumah ke rumah, mengumumkan pertemuan wajib dihadiri kalau tidak ingin dicap PKI.
Namun Bung Karno menolak membubarkan PKI. Belakangan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Pemuda Marhaen bahkan melakukan serangan balik. Mereka mau menyerbu kampus UI Salemba yang menjadi markas KAMI. Saat itu pemimpin-pemimpin KAMI dipersenjatai pistol. Tapi kurang ajar, pistolnya tak ada yang bisa meletus. Saya bahkan memegang sten gun karena situasi genting.
KAMI akhirnya dibubarkan pada 25 Februari 1966. Pasukan Tjakrabirawa bergerak mencari para aktivis, kami terpaksa pindah-pindah tidur. Sofjan pindah tidur ke tempat Ali Moertopo di Kebon Sirih, yang sekarang menjadi kantornya. Markas KAMI juga pindah ke sana. Kala itu saya berperan di Front Pancasila. Tugasnya mengorganisasi partai-partai agar mendukung Soeharto. Juga menyiapkan pernyataan-pernyataan untuk mahasiswa yang melakukan aksi.
Mendekati 11 Maret 1966, ketegangan politik terus meningkat. Pada 11 Maret pagi, Bung Karno menggelar sidang kabinet. Soeharto sakit dan tidak hadir. Kira-kira pukul 10.00 sidang baru mulai, masuklah Pangdam Jaya Mayjen Amir Machmud melapor kepada Bung Karno. Ada pasukan tidak dikenal menuju ke Istana.
Bung Karno lalu dievakuasi ke Istana Bogor menggunakan helikopter. Dia ditemani Soebandrio dan Chairul Saleh. Tiga orang yang hadir dalam sidang kabinet: Jenderal M. Jusuf, Basuki Rachmat, dan Amir Machmud, kemudian datang menghadap Soeharto di Jalan Agus Salim, Menteng. Soeharto meminta mereka menemui Bung Karno di Bogor. "Beritahukan kepada Bung Karno bahwa dia serahkan kekuasaan kepada saya, saya jaga keamanan dan sebagainya."
Bung Karno awalnya tidak mau me nyerahkan kekuasaan, tapi dia bisa diyakinkan karena tiga orang ini cukup dia percaya. Menjelang sore, mereka bertiga kembali menghadap Soeharto dengan membawa surat yang kemudian disebut Surat Perintah Sebelas Maret alias Supersemar. Saya pernah membaca surat itu. Isinya, pertama, mengembalikan keamanan dan ketertiban; kedua, membela pemimpin besar revolusi, keluarganya, dan doktrin-doktrinnya. Namun poin kedua ini dihilangkan, ha-ha-ha.
Aktivis Front Pancasila dan KAMI sedang tidur-tiduran ketika Kemal Idris datang memberi tahu bahwa Soeharto ingin bertemu. Kira-kira pukul 09.00 malam, kami diperlihatkan isi Supersemar dari Bung Karno. Maksudnya agar mendukung pembubaran PKI sekaligus mengembalikan ketertiban. Esoknya, RPKAD mengadakan unjuk kekuatan de ngan parade tank.
Bung Karno, yang mengetahui aksi parade dan rencana pembubaran PKI itu, marah besar. Sabtu, 14 Maret 1966, dia memanggil semua panglima ke Istana. Semuanya dimarahi. Tapi Soeharto pura-pura tidak tahu.
Berdasar Supersemar, tiga orang diangkat sebagai presidium yang mengatur pemerintahan sehari-hari. Soeharto sebagai ketua merangkap anggota bidang ke amanan. Adam Malik anggota bidang politik dan luar negeri. Sedangkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX anggota bidang ekonomi.
Bung Karno makin marah karena ada normalisasi hubungan RI-Malaysia. Pada 15 Agustus 1966, persetujuan normalisasi diteken. Pada 17 Agustus 1966, Wakil Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak diundang menjadi tamu kehormatan di Istana. Bung Karno merasa di-fait-accompli. Setelah itu terjadi ketegangan terus-menerus antara Soeharto dan Bung Karno.
Untuk mengatasi dualisme kekuasaan itu, Persatuan Sarjana Hukum (Persahi) di bawah Mashuri meminta MPRS mengadakan sidang istimewa untuk menuntut pertanggungjawaban Bung Karno soal peristiwa 30 September 1965. Pada Februari 1967, MPRS menggelar sidang istimewa. Kami ingin Soeharto menjadi pejabat presiden.
Masalahnya, Soeharto tidak mau memakai istilah "Pejabat Presiden". Dia hanya mau memakai istilah "Pemangku Jabatan Presiden". Alasan Soeharto, "Saya ini cuma pemangku jabatannya. Kalau menggantikan, nanti saya bisa dilaknat." Perdebatan ini memakan waktu satu malam dalam lobi di luar sidang paripurna.
Solusi akhirnya ditemukan. Jabatan itu hanya ditulis PD Presiden. "Pemangku Djabatan Presiden" menurut Soeharto, tapi "Pedjabat Presiden" sesuai ejaan lama menurut mahasiswa dan intelektual yang masuk DPR Gotong-Royong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo