Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Bersimpang Jalan dengan Soeharto

Setelah 20 tahun bersama, CSIS mulai menjauh dari Soeharto. Menyesal tak bisa dekat dengan kelompok Islam.

25 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Waktu saya bersama Soeharto ikut mendirikan Orde Baru, kalian masih berumur berapa? Masih SD? Kalian tahu tidak, saya yang bikin Soeharto jadi presiden.”

”Ceramah” itu saya ucapkan saat diperiksa beberapa perwira polisi militer di Guntur, Jakarta Pusat. Saat itu menjelang Mei 1998. Situasi politik sangat panas. Terjadi rangkaian keributan, ke rusuhan, dari Tasikmalaya, sampai bom yang meledak menjelang kejatuhan Soeharto. Saya dan adik saya, Sofjan Wanandi, ikut terseret kasus bom di Tanah Tinggi, Senen, yang meledak pada Januari 1998. Tuduhan bermula dari surat elektronik yang katanya dari aktivis Partai Rakyat Demokratik.

Sebelum diperiksa polisi militer, saya dipanggil Badan Intelijen Strategis. Badan ini juga yang mencekal saya dan Sofjan selama dua bulan sehingga tidak bisa bepergian ke luar negeri. Proses terakhir adalah pembuatan berkas pemeriksaan oleh polisi dari Kepolisian Daerah Metro Jaya. Sejak awal, polisi yang memeriksa saya sudah mengatakan, ”Maaf, Pak, ini sebetulnya bukan urusan kami. Kami juga enggak percaya, tapi kami bisa apa?”

Saya tak tahu persis siapa yang menuduh saya dan adik saya tersangkut soal bom itu. Tapi hubungan kami dengan Soeharto memang tak lagi mesra sejak saya menulis memo kepadanya pada 1987. Kemudian Sofjan terang-terangan menyatakan penolakannya soal pencalonan Habibie menjadi wakil presiden pada 1997 kepada Jenderal Prabowo. Saat itu Prabowo mengira kami mengajak dia melakukan kudeta kepada Soeharto.

Setelah pemeriksaan terhadap saya dan Sofjan selesai, di beberapa media muncul tulisan bahwa saya menyesal atas insiden itu. Ketika diperiksa, saya memang menyatakan menyesal, tapi bukan untuk tuduhan politik itu. Saya menyesal karena hubungan kami dengan kelompok Islam tak baik seperti dulu.

Pada masa Orde Lama, Partai Katolik dan Masyumi merupakan sahabat baik. Saat Masyumi dibubarkan Sukarno, kami tetap membela. Namun, setelah 1966, muncul persoalan lama yang memisahkan kami, yaitu soal ideologi tentang Piagam Jakarta. Awalnya, Soeharto juga tidak akrab dengan kalangan Islam. Menjelang kejatuhannya, barulah dia mendekati kelompok Islam.

l l l

Memo yang saya tulis itu sampai di meja Soeharto pada September 1987. Ketika itu, Golkar baru saja menang lagi, untuk keempat kalinya, dan kursi presiden pasti kembali diduduki Soeharto. Isi memo itu cuma dua poin, dengan penje lasan terperinci di tiap poinnya. Pertama, soal masyarakat yang semakin majemuk. Masyarakat ini adalah kelas menengah yang dibentuk Soeharto selama 20 tahun berkuasa di Indonesia. Konsekuensinya, masyarakat ini akan sulit diatur, tak seperti di masa kacau dan Soeharto muncul sebagai pahlawan. Maka perlu disiapkan tim baru yang bisa mengatur masyarakat yang majemuk ini.

Kedua, saya sampaikan kepada Soeharto bahwa dia mesti memiliki visi baru untuk Indonesia 20 tahun ke depan. Tak cuma mengutak-atik persoalan jangka pendek. Saya sarankan agar persoalan itu diserahkan kepada menteri koordinator. ”Tak bisa Anda yang pegang semuanya.” Tapi saya paham, dia justru mengutak-atik supaya bisa mengatur bisnis untuk dibagi kepada putra-putrinya.

Setelah 20 tahun, saya sadar tak bisa lagi mengingatkan Soeharto soal segala sesuatu yang baik buat Indonesia ke depan. Bisa diduga, Soeharto marah. Dia langsung memerintahkan semua menteri tak lagi berhubungan dengan kami. Bahkan beberapa jenderal yang sebetulnya dekat tak boleh lagi berhubungan dengan kami. Misalnya Wiyogo Atmodarminto, yang ketika itu Gubernur DKI Jaya. Mereka juga dilarang memberikan proyek bisnis kepada Sofjan.

Kendati sumber-sumber keuangan ka mi diputus, kami masih bisa melakukan kegiatan. Kredibilitas lembaga ini di arena internasional telah membuat Centre for Strategic and International Studies tak kekurangan sumber daya penunjang riset dan bisa membuat kajian untuk lembaga mana pun.

Bisnis putra-putri Soeharto tak hanya merisaukan saya. Dua pekan sebelum meninggal, pada 1984, Ali Moer topo memanggil saya ke rumahnya. ”Situasi sudah gawat, famili Soeharto semakin merajalela,” ujarnya. Dia menambahkan, ”Kalau begini terus, bukan cuma dia yang hancur. Republik ini juga bisa hancur!”

Saat itu dia berpesan ke saya supaya berbicara kepada Benny Moerdani. ”Minta dia bicara ke Pak Harto, tertibkan anak-anaknya,” kata Ali. Di antara kami, memang cuma Benny yang masih ada dalam lingkaran dalam Soeharto. Ali sudah menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung, posisi yang berada di luar lingkaran Soeharto.

Kebetulan Benny juga diminta Soehar to mengawasi anak-anaknya. Langkah pertama yang dilakukan Benny adalah menahan paspor Sigit Harjojudanto, putra pertama Soeharto, supaya dia tak lagi berjudi ke luar negeri. Dalam semalam dia bisa kalah dua juta dolar di meja judi. Benny mengatakan duit sebanyak itu bisa membantu fakir miskin selama setahun. Benny juga mengingatkan Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut, putri pertama Soeharto.

Situasi menjadi runyam ketika mereka mengadu ke Soeharto soal gaya peng awasan Benny yang keras. Kemudian Prabowo, sang menantu, ikut marah karena ditarik dari Timor Timur. Saat itu Prabowo adalah perwira menengah di Komando Pasukan Khusus. Prabowo ditarik karena tabiatnya yang temperamental. Anak buah yang ditempeleng mengancam, sesuatu bisa terjadi di medan perang. Benny tentu tak mau menantu presiden mengalami celaka saat dia menjadi Panglima ABRI.

l l l

Setelah 20 tahun, Soeharto memang mulai arogan. Dulu, ketika dia masih pejabat presiden, saya dan teman-teman banyak memberikan masukan kepadanya. Pada dasarnya dia orang yang cerdas secara alamiah tapi tidak mendapat pendidikan yang memadai. Ketika mulai terbiasa sebagai presiden dan bertambah pandai, dia tak mau menghargai jasa orang lain.

Setelah Ali Moertopo meninggal, Soeharto mengatakan dulu orang menganggapnya tak akan bisa berhasil menjalan kan tugas tanpa Ali. ”Kenyataannya,” kata Soeharto, ”Ali sudah meninggal, dan saya masih bisa menjadi presiden.”

Begitu pula dengan Soedjono Hoemardani, yang satu perguruan kebatinan dengan dia. Romo Diyat, guru spiritual keduanya di Semarang, pernah berpesan kepada Soedjono agar menjaga Soeharto baik-baik lantaran diramalkan akan menjadi orang besar. Itu sebabnya Soe djono menahan surat pengunduran diri Soeharto dari militer.

Kala itu Soeharto sudah merasa tak punya masa depan di ketentaraan karena hanya dijadikan Wakil Panglima Komando Mandala Siaga. Padahal dia lebih senior daripada Omar Dani, yang menjadi panglimanya. Di angkatan darat, karena senioritasnya, Soeharto menjadi orang kedua setelah Jenderal Ahmad Yani. Namun Soeharto tak masuk lingkaran dalam Yani karena tak bisa berbahasa Inggris dan Belanda—yang biasa digunakan Yani dan rekan-rekannya sebagai bahasa pengantar dalam diskusi mereka.

Soeharto menampik anggapan orang tentang Soedjono sebagai guru spiritualnya. ”Justru Djono biasa mencium tangan saya,” ujarnya. Padahal Soedjono merupakan perantara dalam hubungan spiritual antara Soeharto dan Romo Diyat. Kepada Sofjan Wanandi, Soeharto juga berkali-kali menyindir bahwa keberha silannya sebagai konglomerat semata bermodal jaket kuning pada 1966.

Setelah Soeharto jatuh, Benny bercerita kepada saya bahwa dia ditemui Tutut. yang menyebutnya sombong karena tak mau lagi menemui ayahnya. Benny langsung menjawab bahwa bila Soeharto meminta, dia tak akan pernah menolak. Akhirnya, Tutut mengatur pertemuan mereka di rumah Sigit. Saat itu Soeharto bertanya kepada Benny, apa salahnya sehingga jatuh dari kekuasaan. Benny menjawab tegas, ”Bapak meninggalkan ABRI, padahal itu yang menjadi dasar kekuatan Bapak selama ini.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus