Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perkampungan Turki di Kreuzberg, dekat pusat Kota Berlin, seperti sebuah dunia lain: tak mirip Turki modern, tapi juga bukan Jerman.
Para tetua lelaki hanya mengerti satu-dua patah kata Jerman, yang wanita mengenakan jilbab lebih rapat daripada perempuan Turki masa kini. Kebanyakan hanya bekerja di dalam lingkungan mereka.
Perkampungan ini yang antara lain ”disentil” Kanselir Angela Merkel kala berbicara kepada kelompok muda Uni Demokrat Kristen (CDU) dua pekan lalu. ”Pada awal 1960-an kita mengundang pekerja asing ke Jerman dan mereka di sini sekarang,” katanya. ”Ada yang bilang, oke kalau begitu mari terapkan konsep multikulturalisme dan hidup bahagia berdampingan. Tapi itu gagal, sepenuhnya gagal.”
Saat ini ada sekitar 3,5 juta orang Turki di Jerman, yang merupakan kelompok imigran terbesar di sana. Mereka umumnya datang pada 1961 ketika Jerman Barat mengalami kekurangan tenaga kerja yang parah.
Sebenarnya para pekerja ini harus kembali ke negara mereka setelah dua tahun. Namun pengusaha Jerman Barat kala itu berhasil melobi pemerintah agar mengizinkan mereka tinggal lebih lama. Alasannya para pengusaha sudah mengeluarkan banyak uang untuk mendatangkan dan melatih mereka. Lagi pula perekonomian negara sedang kurang bagus dan pengusaha membutuhkan banyak tenaga kerja. Pemerintah pun tak bisa lain kecuali setuju.
Hingga kini, hampir setengah abad sudah pekerja imigran asal Turki tinggal di sana. Namun cuma sekitar 500 ribu di antara mereka yang sudah diterima menjadi warga negara Jerman. Situasi ini membuat anak-anak para imigran yang gagal menjadi warga Jerman tak punya pijakan. Mereka lahir tanpa ikatan budaya ataupun bahasa dengan Turki, tapi mereka pun bukan Jerman. Kesempatan bagi mereka untuk berusaha di negara itu sangat sempit. Sebagian malah tak diizinkan belajar di universitas.
Lantaran tak ada insentif untuk menjadi bagian dari komunitas Jerman, para orang tua Turki ini menolak belajar bahasa Jerman. ”Menurut sebuah studi, 80 persen orang tua Turki tak berpartisipasi dalam pertemuan guru-murid karena tak bisa bicara Jerman,” tulis The Globe and Mail. Menurut riset tersebut, mereka juga menjadi sangat religius, jauh lebih taat daripada penganut Islam di tanah leluhurnya.
Bahkan imigran yang sudah membaur, seperti Ozcan Mutlu, mengeluh atas perlakuan yang dia terima. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Berlin dari Partai Hijau yang keturunan Turki ini menjadi warga Jerman sejak 20 tahun lalu, tapi tetap melihat sikap berbeda dari sejawatnya.
”Saya dapat merasa, bermimpi, berperilaku, bahkan menguruk seperti orang Jerman, tapi saya tetap dianggap sebagai pendatang dari Turki. Ini menunjukkan rumitnya situasi,” ujarnya.
Pidato Merkel mendapat tanggapan luas. Kebetulan saat ini masalah multikulturalisme tengah ramai diperdebatkan gara-gara buku Thilo Sarrazin yang terbit Agustus lalu. Dalam buku best seller-nya yang berjudul Germany Does Away With It self, direksi bank sentral yang dipaksa mundur ini menuding imigran muslim sebagai penyebab kemerosotan Jerman.
Dua minggu sebelum pidato Merkel, Horst Seehofer, Gubernur Bavaria dari Uni Sosial Kristen (CSU) yang merupakan koalisi CDU, bahkan bicara lebih keras kepada majalah Focus. ”Imigran dari Turki dan Arab sulit beradaptasi.... Kita tidak lagi membutuhkan imigran dari kebudayaan yang berbeda,” katanya dalam sebuah wawancara. Seehofer menegaskan Jerman harus lebih dulu ”mengurus yang sudah tinggal di sana” dan ”menindak keras mereka yang menolak berbaur”, sebelum membuka pintu bagi imigran baru.
Ketika itu, koran konservatif berbahasa Inggris, Frankfurter Allgemeine Zeitung, mengatakan Seehofer telah keliru menanggapi perubahan demografis di Jerman. ”Masyarakat tidak khawatirapakah Islam akan menjadi bagian dari Jerman, tapi sebaliknya, bahwa suatu hari nanti Jerman akan menjadi bagian dari Islam,” tulis mereka.
Setelah pidato Merkel, Die Welt, koran konservatif lainnya, mengatakan CSU dan CDU tengah mencoba mengirimkan dua pesan secara bersamaan. Di satu pihak, Merkel dan Seehofer hendak bicara kepada para pemilih bahwa mereka tak sependapat dengan ide masyarakat multikultur. Tapi di sisi lain, tulis koran itu, mereka seolah bicara kepada para penganut liberal sayap kiri: ”Kami lebih bisa mengelola multikulturalisme daripada partai-partai tengah kiri.”
Saat ini 18 persen dari sekitar 82 juta penduduk Jerman adalah pendatang. Empat juta di antaranya imigran Turki dan Arab. Die Welt menulis, kelompok konservatif Jerman pada dasarnya tak menentang imigran, asalkan mereka mau menerima dan menghormati tradisi negara yang ditinggali. ”Untuk alasan ini, Angela Merkel dan Horst Seehofer benar ketika mengatakan perlu ada aturan yang jelas dalam imigrasi.”
Minggu dua pekan lalu, dalam sebuah kunjungan ke Bulgaria, Merkel ”memperhalus” pernyataan Seehofer. Kata dia, Seehofer dan dirinya sebenarnya cuma mau bicara soal fokus kepada imigran yang terampil. ”Kami tetap akan menjadi tanah air bagi beragam orang dan berharap mereka nyaman di Jerman,” katanya kepada wartawan.
Nyatanya di Jerman, pidato Merkel—yang seolah menegaskan buku Sarrazin—telah meningkatkan perilaku negatif warga terhadap pendatang. Hasil survei Friedrich Ebert Stiftung yang dirilis pekan lalu menyebutkan satu dari tiga responden menganggap imigran hanya datang untuk menikmati jaminan sosial negara itu. Bahkan satu dari sepuluh responden ingin Jerman dipimpin dengan tangan besi oleh seorang Fuhrer baru.
Fakta itu membuat para pemuka Turki di Jerman marah. ”Komentar-komentar mereka membakar dan tidak bertanggung jawab,” kata Hilmi Kaya Turan, Wakil Ketua Komunitas Turki di sana. Menurut dia, Merkel dan Seehofer mengeksploitasi kekhawatiran umum warga Jerman untuk tujuan politis.
Beberapa hari setelah pidato Merkel, dua website milik pengurus cabang partainya dibajak hacker. Mereka mengganti halaman kedua website tersebut dengan desain khas Turki. Juga ada komentar yang mempersoalkan kebijakan pemerintahan Merkel, misalnya: ”Di mana uang untuk integrasi? Di mana uang untuk masjid? Di mana toleransi? Di mana kebebasan beragama?”
Banyak pengamat mengatakan Merkel terjebak dalam tarik-menarik politik. Kepemimpinannya di CDU sedang terancam oleh kaum konservatif. Kalau sampai CDU kalah dalam pemilihan regional di Negara Bagian Baden-Württemberg, Maret mendatang—beberapa polling memperkirakan koalisi Partai Sosial Demokrat dan Partai Hijau akan menang—posisi Merkel di CDU terancam. Itu sebabnya, untuk menarik simpati kelompok konservatif, dia membuat pernyataan anti-imigran.
Namun menolak imigran begitu saja jelas bukan langkah bijak pada saat seperti ini. Setelah Eropa bangkit dari resesi ekonomi yang baru lewat, menurut Kementerian Perdagangan Jerman, negara itu membutuhkan 400 ribu tenaga kerja terampil, khususnya insinyur dan ahli teknologi informasi. Kementerian menghitung kurangnya tenaga kerja menggerogoti perekonomian Jerman setidaknya US$ 20 miliar tiap tahun.
Beberapa hari setelah pidato Merkel, pemerintah mengumumkan akan meninjau kembali aturan soal imigrasi. Tapi rencana dadakan ini ditanggapi berbeda oleh para menteri bidang ekonomi. Menteri Perekonomian Rainer Brüderle menyarankan agar Jerman mengikuti Kanada dan Australia yang menerapkan sistem penilaian dalam kebijakan imigrasi. Menurut dia, ini akan memudahkan Jerman mendapatkan tenaga terlatih yang mereka butuhkan. Menteri Dalam Negeri Thomas de Maizière, sebaliknya, menganggap ”aturan yang telah ada sudah memadai”.
Pekan ini, rencananya kabinet akan merumuskan aturan baru tentang imigrasi yang lebih ”konkret” dengan fokus antara lain pembelajaran bahasa Jerman. Kemudian pada 18 November mendatang kabinet akan menggelar rapat khusus membahas strategi mendapatkan tenaga terampil.
Lepas dari upaya dia dan partainya mendekati kaum konservatif, Merkel mengakui kekurangan tenaga kerja terampil adalah persoalan yang harus mereka selesaikan segera. ”Jangan sampai perusahaan-perusahaan lari ke tempat lain karena tidak ada lagi orang yang mau bekerja di sini,” katanya.
Philipus Parera (Spiegel Online, Wall Street Journal, Asia Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo