Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERMAIN dalam Sandiwara Sastra mengingatkan aktris Christine Natalia Hakim pada masa kecil. Christine teringat kembali kebiasaan pengasuhnya, yang ia panggil Embok, menyetel siaran wayang orang di radio setiap malam sebagai pengantar tidur bagi dia dan keluarganya. “Waktu itu umur saya empat-lima tahun. Itu membawa kesan mendalam buat saya,” katanya, Senin, 6 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Christine, 63 tahun, ikut serta dalam Sandiwara Sastra, yang merupakan program kerja sama Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Yayasan Titimangsa, serta KawanKawan Media. Ceritanya diadaptasi dari berbagai karya pengarang ternama Indonesia, seperti novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, cerita pendek Berita dari Kebayoran (Pramoedya Ananta Toer), novel Helen dan Sukanta (Pidi Baiq), serta cerita pendek Kemerdekaan (Putu Wijaya) dan Mencari Herman (Dewi “Dee” Lestari).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sandiwara tersebut disiarkan dalam bentuk siniar (podcast) @budayakita mulai 8 Juli setiap pukul 17.00. Acara itu juga akan ditayangkan di Radio Republik Indonesia.
Christine akan memerankan salah satu karakter dalam kisah yang diadaptasi dari novel Orang-orang Oetimu karya Felix K. Nesi. Ini pertama kalinya dia terlibat dalam sandiwara radio setelah puluhan tahun berkarya di dunia hiburan. “Terima kasih, ya, lansia sudah diajak terlibat, he-he-he…,” ujar peraih delapan Piala Citra tersebut.
Lukman Sardi. tabloidbintang.com
Terlibat dalam Sandiwara Sastra juga ibarat bernostalgia dengan masa kecil bagi aktor Lukman Sardi. Ia tumbuh di era sandiwara radio menjadi salah satu sumber hiburan masyarakat. “Bukan sekadar suara, tapi kita juga bisa merasakan banyak hal dari sandiwara radio itu. Bahkan ada sandiwara radio yang akhirnya dibikin film,” kata Lukman, 48 tahun.
Bersama Happy Salma dan Reza Rahadian, Lukman menjadi pengisi suara sandiwara berjudul Catatan buat Emak yang diadaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk. Sandiwara ini rencananya ditayangkan pada Rabu, 15 Juli.
Meski dikenal sebagai aktor watak yang serba bisa, Lukman mengaku masih mempelajari hal baru selama mengisi suara. Salah satunya soal teknik pengucapan dialog. “Ini bukan sekadar lu cerita, tapi lu juga memberikan rasa. Bukan cuma suara itu jadi suara, tapi ada rasa dalam setiap titik-koma yang harus disampaikan dengan baik dan benar,” ucap peraih Piala Citra kategori pemeran pendukung pria terbaik Festival Film Indonesia 2007 lewat film Nagabonar Jadi 2 tersebut.
Marsha Timothy di CGV Blitz Grand Indonesia, Jakarta. TEMPO/STR/Nurdiansah
Lukman bahkan mempraktikkan pengalaman baru sebagai pengisi suara itu ketika berinteraksi dengan ketiga anaknya di rumah. “Aku bacain komik ke anak-anak dengan sistem itu, he-he-he…,” tuturnya.
Program sandiwara tersebut juga membangkitkan kenangan aktris Marsha Timothy, 41 tahun, pada kakek-neneknya. Marsha memerankan karakter Helen, perempuan kelahiran Bandung berdarah Belanda, dalam kisah Helen Menunggu di Amsterdam yang diadaptasi dari novel Pidi Baiq, Helen dan Sukanta.
Helen dikisahkan lahir dan tumbuh di Ciwidey serta menghabiskan masa remajanya di Bandung. Ia merasa sedih karena harus pulang ke Belanda. Sebab, ia sudah kadung jatuh cinta kepada tanah kelahirannya.
Kisah Helen tersebut mirip dengan yang dialami kakek-nenek Marsha. Setelah puluhan tahun kembali ke Belanda, ketika sakit dan akan meninggal, kakeknya ingin dibawa balik ke Indonesia. “Saya bisa relate dengan karakter Helen,” ujar peraih penghargaan aktris terbaik dalam Sitges International Fantastic Film Festival, Spanyol, pada 2017 lewat perannya sebagai Marlina dalam Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo