Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah dan DPR sepakat menunda pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Para pegiat hak-hak perempuan mengkritik keputusan tersebut.
Selama 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 800 persen.
GRUP WhatsApp MPI alias Maju Perempuan Indonesia mendadak riuh pada Selasa siang, 30 Juni lalu. Para penghuni grup yang terdiri atas hampir semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat perempuan serta sejumlah pegiat hak-hak perempuan itu sibuk membahas pertanyaan yang diajukan Dian Kartikasari. “Saya mempertanyakan alasan DPR mencabut Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual,” kata Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia itu saat dihubungi Tempo pada Jumat, 10 Juli lalu.
Pertanyaan serupa diajukan para perwakilan lembaga lain. Meskipun sejumlah anggota Dewan memberikan jawaban, Dian tak puas. Dia kecewa terhadap keputusan DPR, yang tak melanjutkan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tahun ini. Ini kekecewaan kedua kalinya. Sebelumnya, draf itu juga terpental pada masa DPR periode 2014-2019. Dian dan koleganya meyakini rancangan tersebut penting untuk segera disahkan buat menjamin perlindungan bagi korban kekerasan.
Hari itu, rapat koordinasi Badan Legislasi dan pimpinan komisi DPR memutuskan RUU PKS masuk daftar 12 rancangan aturan yang dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Rancangan itu akan dimasukkan ke program prioritas tahun depan. Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan penarikan itu dilakukan atas usul Komisi VIII, yang meliputi bidang agama, sosial, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak. “Kami berterima kasih kalau itu bisa dikeluarkan sehingga mengurangi beban program legislasi,” ujar politikus Partai Gerakan Indonesia Raya itu.
Menurut Supratman, masa sidang DPR hanya tersisa sekitar tiga bulan, sehingga tak mungkin membahas banyak RUU. Komisi VIII pada akhir Maret lalu memang berkirim surat ke Badan Legislasi. Isinya menyatakan RUU PKS belum mencapai titik temu dan kemajuan, “Sehingga menjadi beban program legislasi Komisi VIII.” Komisi itu memilih membahas RUU Penanggulangan Bencana dan RUU Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia.
Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily mengatakan RUU PKS terpental karena Badan Legislasi hanya membolehkan dua rancangan masuk Prolegnas 2020. Politikus Partai Golkar ini berujar bahwa RUU Penanggulangan Bencana menjadi prioritas karena Indonesia sedang menghadapi wabah corona. Sedangkan RUU Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia diperlukan untuk mengatur pengelolaan panti jompo dan kegiatan orang lanjut usia.
Dua hari berselang, pada Kamis, 2 Juli lalu, pemerintah pun mendukung penarikan RUU PKS dari program prioritas. Total ada 16 rancangan yang dikeluarkan dari daftar prioritas. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan pencabutan RUU PKS disetujui semua fraksi. “Masih memerlukan pembahasan dan pendalaman lagi karena masih banyak perdebatan,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Yasonna mengatakan salah satu perdebatan dalam RUU PKS adalah soal ancaman pidana. Menurut dia, hukuman pidana yang tertuang dalam RUU PKS belum sinkron dengan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun RUU PKS merupakan hukum khusus atau lex specialis, standar hukumannya tetap perlu mengacu pada hukum pidana. Yasonna tak ingin RUU PKS kembali direvisi jika nanti sanksi untuk pelaku kejahatan seksual tak sesuai dengan hukum pidana.
Sejumlah politikus Senayan di Badan Legislasi dan Komisi VIII DPR yang dihubungi Tempo mengatakan RUU PKS termasuk “barang panas”. Mereka becermin pada DPR periode lalu yang gagal mengesahkan rancangan tersebut. Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang membenarkan kabar bahwa pembahasan rancangan itu di komisinya berjalan alot. “Ada sejumlah fraksi yang menolak,” ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini. Salah satunya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini pada Februari lalu menyatakan menolak rancangan tersebut. Jazuli mengklaim RUU PKS bertentangan dengan Pancasila dan agama.
Meski rancangan itu terlempar dari program prioritas, sejumlah fraksi menyatakan akan mengupayakan RUU tersebut masuk program legislasi tahun depan. Anggota Komisi VIII dari Fraksi PDI Perjuangan, Diah Pitaloka, mengatakan pihaknya akan melakukan perbaikan draf dan naskah akademik lebih dulu. Setelah itu, PDI Perjuangan akan mendorong RUU PKS dalam penentuan legislasi prioritas 2021 yang digelar Oktober mendatang.
Ketua Kelompok Fraksi NasDem di Badan Legislasi, Taufik Basari, mengungkapkan hal senada. Mengklaim rancangan itu sebagai usul Fraksi NasDem, Taufik menyatakan akan menggalang dukungan dari fraksi lain setelah menyelesaikan naskah akademik dan draf baru.
Janji para politikus Senayan tak mampu menghapus kekecewaan kalangan pegiat hak perempuan dan anak. Apalagi jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada Maret lalu menyatakan terjadi 431.471 kasus kekerasan pada perempuan sepanjang 2019. Jumlah itu meningkat 6 persen dibanding tahun sebelumnya, sebanyak 406.178 kasus. Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mengatakan selama 12 tahun terakhir kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 800 persen. “Kondisi perempuan di Indonesia jauh dari rasa aman,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari menyatakan pasal-pasal dalam RUU PKS sesungguhnya berorientasi pada korban kekerasan seksual. Dia mencontohkan, pasal 45 ayat 1 rancangan itu menyebutkan kesaksian seorang korban bisa menjadi alat bukti untuk menjerat pelaku kekerasan seksual. Ketentuan ini lebih maju ketimbang yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. KUH Pidana menyatakan keterangan seorang saksi tidak cukup untuk membuktikan seorang terdakwa bersalah.
Rancangan Undang-Undang PKS, kata Dian, juga mengatur soal pemerkosaan dalam perkawinan atau rumah tangga. Kekerasan seksual didefinisikan meliputi kekerasan yang melingkupi relasi personal ataupun rumah tangga. Ada sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual, misalnya pelecehan, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, dan penyiksaan seksual. Sebaliknya, hukum pidana tak mengatur definisi tersebut.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menilai, makin lama rancangan disahkan, nasib perempuan kian terancam. “Kesulitan pembahasan menurut kami disebabkan oleh tidak adanya political will untuk memberikan keadilan bagi korban," ujarnya.
DEVY ERNIS, BUDIARTI UTAMI PUTRI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo