Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEGITU lulus sekolah menengah tingkat atas, Oei Him Hwie sudah punya profesi incaran. Dia ingin menjadi wartawan. Karena itu, ia mengikuti kursus kewartawanan di Universitas Res Publica Yogyakarta dan Pro Patria pada 1962. Hwie lalu melamar ke media Trompet Masjarakat yang berbasis di Surabaya. Ketika itu, Hwie, yang berumur 24 tahun, memasukkan surat lamarannya ke kantor biro Malang yang kebetulan terletak di seberang rumahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Trompet Masjarakat didirikan pada 1947 oleh Goei Poo An, yang sebelumnya aktif di koran-koran peranakan. Harian pagi ini tak hanya mempekerjakan keturunan Cina, tapi juga seorang Jawa. Hwie mengungkapkan, liputannya dulu berkisar pada bidang sosial dan politik. Ia kadang meliput di pengadilan, pernah pula menulis isu korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama menjadi jurnalis, Hwie juga biasa mengikuti kegiatan Sukarno saat sang Presiden berada di Jawa Timur. Ia mengaku sejak usia sekolah dasar mengidolakan sosok Bung asal Blitar, Jawa Timur, itu. “Tapi saya bukan wartawannya Bung Karno. Liputan saya tetap obyektif,” ujarnya saat ditemui pada Selasa, 7 Juli lalu, di Perpustakaan Medayu Agung, Surabaya.
Koran Trompet Masjarakat koleksi Oei Hiem Hwie./Tempo/Kukuh S Wibowo
Kekaguman Hwie terhadap Sukarno tergambar di Medayu Agung. Di perpustakaan itu Hwie menyimpan kaset dan piringan hitam berisi pidato Sukarno. Hwie juga memajang foto dirinya saat muda dengan sang Proklamator. Ada pula foto hitam-putih Sukarno dalam bingkai besar yang dijepret sendiri oleh Hwie pada awal Agustus 1964. Ketika itu dia ditugasi kantornya mewawancarai Bung Karno secara khusus di Jakarta. Di Istana Negara, ia melobi staf presiden dan permohonannya dikabulkan. Menurut Hwie, ketika itu prosedur mewawancarai presiden tidak birokratis. Ia cukup meminta izin staf Istana.
Hwie ingat, wawancara berlangsung pada 7 Agustus 1964 siang di teras belakang Istana. Topik wawancara beragam, termasuk soal perempuan. Hwie bercerita, dia bertanya mengapa Bung Karno seolah-olah mudah terenyuh kepada perempuan. Sukarno menjawab, ia memang mudah terharu bila melihat perempuan menangis. Namun, kalau lelaki yang bersedih, hatinya biasa saja. “Tapi kalau Saudara mau menulis soal ini, (tulisannya) harus di tengah-tengah,” kata Sukarno kepada Hwie.
Seusai wawancara, Sukarno membekali Hwie oleh-oleh berupa arloji berlogo Garuda dan pin. Dua pemberian itu masih dirawat Hwie hingga sekarang. Hwie menuturkan, sekitar setahun setelah itu, kondisi kesehatan Sukarno mulai menurun, dan muncullah Gerakan 30 September 1965.
Sertifikat kursus pendidikan jurnalistik Oei Hiem Hwie./Tempo/Kukuh S Wibowo
Karena pernah berjumpa dan mewawancarai khusus Bung Karno, Hwie pun berniat membuat tulisan sebanyak-banyaknya tentang sang Presiden. Dia juga meriset dari buku, baik yang ia peroleh dari Sukarno maupun milik pribadinya. Hal itu membuatnya dituduh sebagai simpatisan Sukarno sehingga pada 1965 ia ditangkap dan diasingkan ke Pulau Buru, Maluku.
Hwie menuturkan, ia semula tak tahu alasan tentara menciduknya pada suatu siang. Ia merasa tak terlibat gerakan komunisme. Sedangkan di dunia organisasi Hwie menjabat Sekretaris Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia Kabupaten Malang. Dia baru tahu alasan itu saat diinterograsi tentara sebelum dijebloskan ke penjara Lowokwaru, Malang. “Saya dianggap Sukarno-sentris,” tuturnya.
Setelah 13 tahun mendekam di bui, pada 1978 Hwie bebas. Namun ia kehilangan banyak hal. Banyak buku koleksinya yang dirampas tentara, termasuk yang bertutur tentang Sukarno. Hwie juga sulit kembali menjadi wartawan. Trompet Masjarakat dibredel dan sejumlah anggota redaksinya ditahan. Ia akhirnya menumpang di rumah adiknya di Malang sebelum kemudian berjumpa dengan Masagung, bos PT Gunung Agung. Masagung lalu mempekerjakan Hwie di toko bukunya yang bermarkas di Surabaya.
Onie Herdysta, yang membuat penelitian tentang kehidupan Oei Him Hwie untuk skripsinya di Universitas Brawijaya, Malang, mengatakan pemikiran kritis dan semangat Hwie yang menyala-nyala baik sebagai wartawan maupun pustakawan dibentuk lingkungannya. Menurut Onie, Hwie adalah keponakan Oey Hay Djoen, penerjemah yang juga tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat. Pria kelahiran Malang itu juga pernah menjadi tahanan politik di Pulau Buru karena dituduh terlibat G-30-S. Adapun ayah Hwie seorang pedagang. “Ayah Hwie pernah menampung pelarian politik dari Cina,” ucapnya.
KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA), ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo