Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Pantang Menolak Cempedak

SEBAGAI pesohor yang kerap mempromosikan diet sehat, desainer Jenahara Nasution, 33 tahun, punya dua kelemahan: durian dan cempedak.

22 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jenahara Nasution. TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Itu yang sering bikin aku cheating,” ujarnya kepada Tempo dalam konferensi pers film Bumi itu Bulat, Senin, 11 Maret lalu.

Sejak Jenahara masih bocah, cempedak menjadi camilan kedoyanan keluarganya. Ibunya, Ida Royani—biduan, aktris, desainer—hampir saban hari menyuguhkan cempedak goreng tepung bertabur gula jawa. Ida menurunkan kebiasaan itu dari ibunya, Siti Aminah Royani. “Jadi kayak tradisi keluarga Royani,” kata Jehan—panggilan Jenahara.

Saat Jenahara kecil, ibu atau ayahnya, Keenan Nasution, tinggal pergi dari kediaman mereka di Cinere ke Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat, untuk mencari cempedak. Seiring dengan menyusutnya kebun di kawasan tersebut karena berganti menjadi permukim-an, buah yang sering disalahpahami sebagai nangka itu makin sulit didapat. Untungnya, warga Betawi di sekitar kedai piza milik Jenahara di Cipete, Jakarta Selatan, ada yang berjualan buah musiman tersebut, meski jarang-jarang. Alternatif lain adalah menitip kepada iparnya yang berasal dari Samarinda.

Tidak seperti susahnya mencari cempedak, Jenahara tidak kesulitan menyalurkan hasratnya akan durian. Ibu tiga anak ini bisa langsung menghentikan mobilnya begitu melihat tukang duren di tepi jalan. Penggila fitness ini punya rumus menikmati durian tanpa mengacaukan dietnya. Dia menyamakan durian dengan sepiring nasi. “Jadi, kalau sudah makan durian, jangan makan siang atau makan malam lagi,” kata Jenahara.


 

Ismail Basbeth. TEMPO/Jati Mahatmaji

 

Menikmati Kemewahan

ISMAIL Basbeth merasa bahagia bisa menyutradarai film Taufiq: Lelaki yang Menantang Badai. Ia mendapat pendanaan lebih besar daripada proyek-proyek sebelumnya untuk menggarap film yang diangkat dari kisah mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Taufiq Kiemas, tersebut. “Biasanya dananya ngepas, ini saya mau minta apa pun ada,” katanya, Rabu, 20 Maret lalu.

Kelonggaran duit hingga tiga kali lipat proyek-proyek sebelumnya itu membuat Ismail, 33 tahun, bisa menggarap film dengan leluasa. Ia antara lain memakai 1.200 pemain figuran untuk berbagai adegan, seperti demonstrasi dan suasana penjara. Ia juga leluasa bekerja sama dengan para ahli, seperti sinematografer Fahmy J. Saad, desainer produksi Ong Hari Wahyu, desainer kostum Retno Ratih Dama-yanti, dan makeup artist Darto Unge.

Lima belas tahun sudah Ismail berkecimpung di dunia film. Ia menyutradarai berbagai film, di antaranya Mencari Hilal (2015), Another Trip to the Moon (2015), Talak 3 (2016), dan Arini (2018). Dalam sebagian filmnya, ia terpaksa menahan diri karena bujet mepet. Ketika menggarap Arini, karena mesti syuting di Jerman, ia harus menurunkan kualitas film itu. Dengan bujet Rp 3 miliar, ia hanya bisa membawa sedikit peralatan sehingga tak banyak pilihan teknik pengambilan gambar. “Dana difokuskan pada pemain dan lokasi, termasuk lokasi di Jerman yang mahal betul. Jadi pengambilan gambarnya berasa lebih raw dan independen,” ujarnya.

Adapun di film Talak 3, kata dia, dana untuk pemain masuk bujet promo, bukan produksi. Pemain dikontrak langsung oleh MD Pictures. “Dana Rp 3 miliar dihabiskan buat produksi film,” tuturnya.

 


 

Anthony Reid. TEMPO/M Taufan Rengganis

 

Gagal Menyamar

MENELURKAN lebih dari 80 buku sejak 1960-an, baru kali ini sejarawan Anthony Reid tidak menggunakan nama bekennya. Nama penulis yang terpampang di Mataram, novel perdananya yang terbit pada akhir 2018, adalah Tony Reid. “Itu nama panggilan saya,” katanya kepada Tempo saat acara bedah bukunya itu dalam International Forum on Spice Route di Museum Nasional, Jakarta, Rabu, 20 Maret lalu.

Profesor Reid, 79 tahun, sejak awal enggan menggunakan nama lengkapnya supaya pembaca, terutama orang Indonesia, tidak salah mempersepsikan novelnya sebagai buku sejarah. Selama puluhan tahun, karya Indonesianis asal Selandia Baru ini menjadi bacaan wajib bagi akademikus dan pencinta sejarah. Salah satunya Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra, yang terbit pada 1986. Saya tak ingin novel ini malah dipajang di rak buku sejarah,” ujarnya.

Seperti novelis J.K. Rowling, yang menggunakan alias Robert Galbraith, Reid sempat memikirkan nama pena yang benar-benar lain dari namanya. Namun sejarawan Australian National University ini menyerah saat sadar bahwa penerbit emoh menerbitkan karya pertama novelis tanpa nama. Ia mengatakan penerbit baru tertarik setelah tahu penulisnya Anthony Reid. Sebagai jalan tengah, dipakailah nama Tony Reid. “Ya, memang penyamaran yang payah,” tuturnya. Ia mengungkapkan, pembaca langsung sadar bahwa Tony dan Anthony adalah  orang yang sama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus