Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rastya-bukan nama sebenarnya—terkejut melihat hasil pemeriksaan gula darahnya melampaui 200 miligram per desiliter. Padahal biasanya gula darahnya cuma mentok di batas akhir angka standar: 130 mg/dL. “Saya baru tahu gula darah saya setinggi itu,” kata Rastya, Rabu, 20 Maret lalu.
Pemeriksaan gula darah ini dilakukan saat Rastya, 47 tahun, hendak menjalani bedah bariatrik, Februari lalu. Dokter yang berpraktik di Medan ini memutuskan menjalani operasi lantaran menderita obesitas sejak usia 20-an tahun. Dengan tinggi 152 sentimeter, bobotnya pernah mencapai 123 kilogram.
Berbagai cara sudah ia tempuh untuk menurunkan berat badannya, dari tak makan nasi sampai ikut program pelangsingan badan di klinik kecantikan. Untuk beberapa saat bobotnya memang turun, tapi kemudian kembali naik, seperti yoyo.
Keluhan kemudian berdatangan. Ia kerap pusing sehingga ke mana-mana mesti membawa minyak angin. Lututnya juga sering nyeri gara-gara osteoartritis. Dokter mengatakan masalah di lututnya ini akan bertambah parah kalau Rastya tak juga mengurangi bobotnya.
“Saya tak mau nanti akhirnya harus pakai kursi roda. Makanya memilih operasi untuk menurunkan berat badan,” ucapnya. Tekadnya makin kuat setelah melihat saudara kembarnya yang juga mengalami obesitas lebih langsing selepas menjalani bedah bariatrik.
Akhir Februari lalu, ia dioperasi. Bobotnya kini sudah turun 8 kilogram. Bonusnya, gula darahnya tak pernah melebihi batas normal. Ia pun tak perlu lagi membawa minyak angin ke mana-mana karena tak lagi sering pusing. Rastya pelan-pelan akan menurunkan beratnya sampai menjadi 60 kilogram. “Satu-dua tahun ini saya akan mengubah kebiasaan makan,” ujarnya.
Bedah bariatrik mulai dikenal masyarakat setelah dua penderita obesitas, Arya Permana dan Sunarti, yang berasal dari Karawang, Jawa Barat, dioperasi dengan cara ini. Arya, bocah 10 tahun yang berbobot 192 kilogram, dibedah pada Juni 2017. Sampai Januari lalu, ia berhasil menyusutkan berat 102 kilogram. Adapun Sunarti, yang berbobot 148 kilogram, dioperasi pertengahan Februari lalu. Namun Sunarti meninggal beberapa hari setelah pulang dari rumah sakit. Belum diketahui penyebab kematiannya.
Selain dilakukan untuk menyusutkan berat badan, bariatrik berfaedah menurunkan gula darah, terutama pada pasien diabetes melitus tipe 2. “Gula darahnya menurun, bahkan sebelum berat badannya berkurang,” tutur dokter spesialis bedah konsultan bedah digestif, Peter Ian Limas.
Pada mereka yang menderita diabetes tipe 2, pankreas tak memproduksi cukup insulin atau sel-sel tubuh resistan terhadap hormon tersebut. Akibatnya, tubuh tak dapat menyerap dan mengolah glukosa dengan maksimal sehingga zat gula itu menumpuk dalam tubuh, yang akhirnya menyebabkan masalah seperti stroke, serangan jantung, impotensi, dan kebutaan.
Nah, operasi bariatrik membuat insulin lebih sensitif. “Insulinnya sedikit, tapi, karena sensitif, jadi efektif sehingga mencukupi kebutuhan,” ucap dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, tersebut. Glukagon, hormon yang bertugas meningkatkan gula darah, juga menurun. Bedah ini juga diyakini bisa memperpanjang harapan hidup dan melenyapkan penyakit lain yang muncul akibat obesitas, seperti tekanan darah tinggi dan depresi.
Ada empat jenis bedah bariatrik: adjust-able gastric banding alias ikat lambung; gastric bypass, yang ditemukan pada 1969; sleeve gastrectomy; dan mini gastric bypass. Tiap jenis punya kelebihan dan kelemahan.
Ikat lambung dilakukan dengan memasang cincin di pintu masuk ke lambung. Metode ini sudah lama ditinggalkan karena setiap pekan pasien mesti mengatur ulang kekencangan cincin sehingga membuat pasien bergantung pada dokter bedahnya. “Juga sering terjadi infeksi di cincinnya,” ujar dokter spesialis bedah konsultan bedah digestif, Reno Rudiman.
Adapun gastric bypass dilakukan dengan memotong lambung. Usus halus dinaikkan ke atas, kemudian disambungkan dengan potongan tersebut sehingga makanan yang tertelan masuk ke usus halus tanpa melewati lambung. Cara ini akan menurunkan berat badan lebih cepat, tapi makanan dan asupan vitamin harus diatur seumur hidup.
Sleeve gastrectomy dilakukan dengan membuang 85 persen lambung. Pusat lapar yang ada di lambung pun ikut dibuang. Lambung yang tersisa tinggal sebesar jari kelingking. Adapun mini gastric merupakan gabungan dari gastric bypass dan sleeve.-
Dari empat jenis bedah ini, sleeve yang paling banyak dilakukan lantaran bisa membantu mengubah gaya hidup. “Lambungnya akan melar lagi, tapi saat itu pola makannya sudah terjaga,” kata Peter. Namun, karena bagian bawah lambung tak dipotong, asam lambung gampang naik sehingga menimbulkan sensasi terbakar di dada.
Rastya dibedah dengan metode ini, juga Mohammad Naufal Abdillah. Naufal, 23 tahun, adalah pasien terberat yang dibedah dengan metode bariatrik di Indonesia. Bobotnya 238 kilogram saat dioperasi, awal Desember 2018. Ia biasanya bisa makan tiga piring nasi goreng sekaligus atau sate seperempat ekor kambing. Setelah operasi, nafsu makan besarnya langsung lenyap. Naufal kini hanya bisa makan dua-tiga suap. “Sekarang kalau ingin makan sesuatu harus mengajak teman karena pasti enggak habis,” ujarnya. Kini bobot Naufal sudah turun 36 kilogram.
Meski bedah bariatrik bisa menurunkan berat badan dengan cepat, operasi tersebut tak bisa dilakukan kepada sembarang orang. Bedah ini hanya boleh dikerjakan kepada pasien yang mengidap obesitas morbid alias lemak yang tertimbun sudah sangat banyak, seperti Rastya dan Naufal. Mereka yang boleh dioperasi bariatrik adalah yang memiliki indeks massa tubuh di atas 37,5 atau di atas 32,5 tapi dengan penyakit, misalnya diabetes.
Di negara lain, seperti Taiwan, bedah bariatrik hanya boleh dilakukan kepada orang yang sudah menjajal diet tapi berulang kali gagal. “Persyaratannya ketat. Enggak bisa datang langsung operasi,” tutur Reno, yang berpraktik di Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Hasan Sadikin Bandung.
Seusai operasi pun pasien mesti menjaga pola makannya dan berolahraga. Bedah hanya dilakukan sebagai pendukung untuk menurunkan berat badan. Kalau pola makan tidak dijaga, operasi yang menyedot isi kocek Rp 50-100 juta tersebut akan sia-sia. “Berat badan bisa kembali naik,” kata Reno.
Obesitas
Si Pemangkas Umur
THE American Medical Association menggolongkan obesitas sebagai penyakit. Berat badan berlebih terbukti menjadi faktor munculnya banyak penyakit, termasuk diabetes, stroke, gangguan jantung, hipertensi, depresi, osteoartritis, dan kanker. “Kejadian kanker lebih banyak pada orang yang obesitas,” kata dokter spesialis bedah konsultan bedah digestif, Peter Ian Limas.
Sejumlah Fakta Obesitas
Harapan hidup
Pria berusia 21 tahun yang menderita obesitas tipe 3 (indeks massa tubuh di atas 40) berkurang sampai 12 tahun.
Perempuan dengan obesitas tipe sama dan umur sama berkurang sembilan tahun.
Risiko kematian
Dua belas kali lebih tinggi jika obesitas dialami pada usia 25-34 tahun.
Enam kali lebih tinggi pada usia 35-44 tahun.
Indeks massa tubuh 20-25 memiliki risiko kematian terendah.
Peningkatan Penderita Obesitas di Indonesia
Satu dari sepuluh orang dewasa (10,5 persen) menderita obesitas (Riset Kesehatan Dasar 2010).
Satu dari tujuh orang dewasa (14,8 persen) menderita obesitas (Riset Kesehatan Dasar 2013).
Satu dari lima orang dewasa (21,8 persen) menderita obesitas (Riset Kesehatan Dasar 2018).
NUR ALFIYAH, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo