Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RASA duka bercampur marah masih tersimpan di hati Darto. Raibnya 32 ribu eksemplar lebih tesis dan disertasi koleksi Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau PDII-LIPI masih membuat pria paruh baya ini dongkol. Darto-lah yang selama ini merawat koleksi tesis dan disertasi tersebut. “Rasanya seperti rumah kemalingan. Itulah yang saya alami sampai sekarang,” ujarnya di kantornya, Jumat, 15 Maret lalu.
Darto, yang bekerja di PDII-LIPI sejak 1979, tidak tahu bagaimana semua koleksi tesis dan disertasi tersebut menghilang. Pada Jumat, 8 Februari lalu, barang itu masih tersusun rapi di rak-rak di ruang penyimpanan lantai 5 gedung PDII-LIPI di kawasan Gatot Soebroto, Jakarta Selatan. “Hari Senin saya datang sudah tidak ada, rak-rak pada kosong semua,” kata pria yang bekerja di bagian layanan perpustakaan ini.
Menurut Darto, hilangnya koleksi tersebut berkaitan dengan kebutuhan ruangan kantor baru pegawai PDII kawasan Jakarta. Dia menunjukkan memo penyiapan ruangan di Satuan Kerja PDII lantai 5 dari Kepala Rumah Tangga Biro Umum LIPI tertanggal 15 Januari 2019. Memo itu menunjuk Darto dan tiga orang lain untuk memindahkan sebagian koleksi. “Ruangan untuk pegawai kawasan itu tadinya tempat penyimpanan jurnal terjilid dan jurnal lepas,” ucapnya.
Informasi tentang raibnya koleksi tesis dan disertasi itu ramai diperbincangkan di media sosial dan diberitakan di media nasional. Di lingkup internal LIPI pun muncul reaksi pro dan kontra menanggapi kejadian tersebut, sampai akhirnya lembaga itu menggelar diskusi publik bertajuk “Bibliosida Dokumen Ilmiah LIPI” pada Jumat, 15 Maret lalu. Pembicaranya profesor riset politik LIPI, Asvi Warman Adam, dan dosen senior ilmu perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Sulistyo Basuki. Wahyudi Akmaliah, peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, menjadi moderator.
Wahyudi adalah pengguna pertama istilah “bibliosida”, yang ia tulis dalam artikelnya yang dipublikasikan di situs Rumah Baca Komunitas. Menurut Wahyudi, tuduhan “bibliosida” ini bukan rumor, melainkan kebenaran yang sudah diungkap staf perpustakaan PDII yang hadir dalam diskusi. “Itu mereka lakukan bukan karena tugas nurani, tapi ada suatu sistem besar yang membuat mereka melakukan itu,” katanya.
Pelaksana tugas Kepala PDII—sejak 1 Januari 2019 berganti nama menjadi Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah LIPI—Hendro Subagyo membantah melakukan “bibliosida”. Menurut Hendro, apa yang terjadi adalah penyiangan koleksi (weeding). Dia juga menampik kalau penghapusan koleksi tesis dan disertasi itu disebut terkait dengan kebijakan Kepala LIPI Laksana T. Handoko, yakni reorganisasi dan redistribusi LIPI. “Penyiangan itu rutin setiap tahun dan prosesnya sudah berjalan sejak Maret 2018,” tutur Hendro. Dia menambahkan, penyiangan tak pernah dilakukan PDII sejak 2015.
Gagasan penyiangan koleksi, Hendro meneruskan, sudah tercetus ketika ia menjabat Kepala Bidang Dokumentasi pada 2017. “Di ruangan saya itu sudah berantakan dengan dokumen dan koleksi yang tidak terurus. Kapasitas sumber daya manusia kami memang tidak mampu mengurus itu semua,” ujarnya. Usul penyiangan itu, kata Hendro, datang dari bidang diseminasi informasi, yang membawahkan pustakawan, bukan dari dia.
Menurut Hendro, penyiangan koleksi dikoordinasi oleh pustakawan utama dan madya untuk memilah koleksi yang layak disiangi. “Khusus koleksi tesis dan disertasi itu ternyata dikoleksi juga oleh perpustakaan-perpustakaan universitas. Mereka juga sudah mengolah, jadi buat apa juga kita menyimpan dan mengolahnya lagi,” tuturnya.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 44 Tahun 2000, Hendro menjelaskan, perguruan tinggilah yang wajib menyimpan tesis dan disertasi. Adapun PDII, menurut aturan itu, hanya mendapat salinan untuk mendokumentasikan dan menyebarluaskannya. “Jadi yang ada di PDII itu hanya salinannya. Yang asli masih tersimpan di perguruan tinggi asal,” ucapnya.
Dari catatan yang Tempo dapatkan, terdapat 121.912 judul atau eksemplar koleksi tercetak PDII yang terjaring dalam proses penyiangan itu. Selain 32.881 judul tesis dan disertasi, ada 1.601 eksemplar majalah ilmiah Catu dan jurnal internasional yang dilanggan PDII selama 1991-1998, majalah ilmiah dan jurnal nasional 8.000 eksemplar, dan 79.430 laporan penelitian. “Sebagian koleksi itu sudah ditumpuk-tumpuk di lantai 1 dan sudah siap dibuang juga,” kata Darto.
Hendro membantah kabar bahwa koleksi selain tesis dan disertasi yang ditumpuk itu juga akan dibuang. Menurut dia, pihaknya sedang merapikan koleksi atau stock opname. “Ini kan sedang ada perpindahan ruangan penyimpanan dari lantai 5 ke lantai 4. Jadi koleksi itu diturunkan dari rak-rak dan ditempatkan dulu di ruang yang kosong sebelum nanti dinaikkan lagi ke rak,” ujarnya.
Koleksi tesis dan disertasi yang dibuang ternyata belum didigitalkan. Hendro berdalih, PDII tidak berkewajiban mendigitalkan koleksi, selain tidak mampu melakukannya karena keterbatasan. Menurut dia, digitalisasi sudah dilakukan LIPI sejak 2000 dengan merekam tesis dan disertasi ke mikrofis. Digitalisasi lalu menggunakan Docushare pada 2002. “Namun kecepatan kami untuk mengolah itu belum memadai dibanding banyaknya koleksi tesis dan disertasi itu. Akhirnya kami pilih yang paling penting untuk dilestarikan dulu, seperti buku-buku unik bersejarah,” katanya.
Proses penyiangan yang dilakukan PDII juga dikritik lantaran dinilai tidak sesuai dengan prosedur standar operasi. Menurut Sulistyo Basuki, ada empat kriteria yang membuat sebuah koleksi perpustakaan dapat disiangi, yakni fisiknya rusak, isinya sudah tidak relevan, tidak pernah diakses pengunjung selama lima tahun, dan ruang penyimpanan tidak cukup lagi. Menurut Sulistyo, jika melalui prosedur yang benar, untuk koleksi sebanyak 32 ribu itu, proses penyiangan tidak cukup memakan waktu satu tahun. Sulistyo juga menyayangkan penghapusan koleksi tesis dan disertasi tersebut. Menurut dia, koleksi karya ilmiah di PDII bahkan lebih banyak daripada yang dikoleksi Perpustakaan Nasional.
Hendro mengatakan koleksi tesis dan disertasi itu telah ia serahkan kepada petugas bagian Barang Milik Negara di PDII. “Yang melakukan proses penjualan, mengadakan lelang, itu bagian Barang Milik Negara, karena itu bukan tugas dan fungsi saya,” ucapnya. “Tapi saya sudah mendapat laporan bahwa hasil penjualannya sudah disetorkan sebagai pendapatan negara bukan pajak. Besarnya sekitar Rp 12 juta.”
DODY HIDAYAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo