MULA-MULA dia kaget, lalu mau, kemudian heran. Akhirnya, dia menang. Itulah Niniek L. Karim, ibu dua anak. Kaget, sewaktu ditawari oleh Sutradara Teguh Karya untuk main dalam film Ibunda, dan ia menjawab "mau." Giliran menjadi heran, yakni sewaktu pekan lalu dewan juri FFI 1986 memasukkan pendatang baru ini sebagai salah satu calon pemeran pembantu wanita terbaik. "Baru pertama kali main, kok, masuk nominasi," katanya. Dan bila dia menang, memang Senin pekan ini di TVRI Pusat, Jakarta, dialah pemenang Citra untuk pemeran pembantu wanita. Sebenarnya tak usah diherankan. Berdiri di depan kamera Sri Rochani, demikian nama aslinya, memang baru kali ini. Tapi bermain drama di panggung, sudah kerap kali dan pernah pula menjadi peran wanita terbaik -- yakni sewaktu tergabung dalam kelompok drama Fakultas Psikologi UI, tempatnya kuliah, 1970-an. Lalu apa yang diperoleh dari pengalaman pertamanya? "Gemes," jawabnya. "Kalau main drama, itu 'kan emosi mengalir terus. Tapi di film, nggak. Emosi sedang naik eh, tiba-tiba: cut. 'Kan gemes. Pokoknya, aneh: bermain hanya pendek-pendek, diulang lagi, diulang lagi ...." Menurut sejumlah pengamat film, permainan Niniek, sebagai anak sulung yang ikut membantu materiil maupun moril ibu dan adik-adiknya, bagus. "Itu karena saya juga datang dari keluarga besar," tutur anak bungsu dari sembilan bersaudara ini. Ibu berkulit kuning yang aksen bicaranya Jawa ini -- meski hanya bapaknya yang orang Pekalongan sementara ibunya Padang asli -- kini suka diejek dalam keluarganya. "Biasanya orang jadi bintang film usia 18 tapi kamu sudah tua baru jadi bintang ... ha-ha-ha," tuturnya menirukan olok-olok saudara-saudaranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini