"SAYA terharu. Allahu Akbar, kok saya sampai terpilih sebagai
Ibu Teladan", demikian nyonya Soenardi, yang bertubuh sedang dan
selalu mengenakan kudung serta berkain kebaya. Ibu yang satu ini
jauh kelihatan lebih muda dari usianya, 58 tahun. Juga kelihatan
masih sehat. "Mungkin karena saya sering naik sepeda, sehingga
kalau kehujanan atau kepanasan, saya tidak apa-apa", ujarnya
lagi. Ia telah menjanda selama 10 tahun, dan dengan enam orang
anaknya cukup sibuk.
Coba saja menyimak acara rutinnya. Dalam tempo 35 hari, nyonya
Soenardi mempunyai acara dakwah, memberi ceramah di 18 tempat.
"Kalau dijemput ya sukur, kalau tidak, saya naik sepeda", kata
nyonya Soenardi, "kalau jauh, sepeda saya titipkan di Tempel,
untuk kemudian saya naik bis". Dia tinggal di dukuh Gendol,
Sumberrejo, kecamatan Sleman, termasuk kabupaten Bantul. Sering
dipanggil orang sampai ke Magelang dan Semarang. "Saya biasa
berangkat jam 05.00 subuh dan sesekali pulang jam 02.00 tengah
malam. Di mana saja saya kasih dakwah, saya tidak senang untuk
menginap. Biar jauh sekalipun, saya harus pulang rumah".
Rumahnya cukup besar dan dua kali dalam seminggu ia selalu
membuka kantornya di rumahnya. Nyonya Soenardi adalah juga Ketua
BP4 untuk daerahnya. Berkata tentang BP4, ada dia menyebutkan:
"Dulu banyak dibicarakan tentang kenakalan anak-anak. Tapi
sekarang, kenakalan orangtua juga tidak berkurang".
Pendidikan resmi: SD Ibtidaiyah SMP Tsanawiyah dan pernah duduk
di FKIP Medasari setahun. Ia turut dalam kursus-kursus
kependudukan dan mendapat beberapa tanda jasa lokal dan sebagai
anggota Aisyiah. Kini nyonya Soenardi duduk di BP4 Bantul.
Pensiunan Kepala Sekolah SD ini bersama suaminya dulu (yang juga
menjabat guru) pernah mendirikan beberapa sekolah (SD, SPG,
FKIP) dan banyak jasanya dalam mendirikan rumah bersalin
Aisyiah. "Biarpun sibuk, saya yang pernah datang ke rumahnya,
rumahnya tetap bersih dan rapi". ujar nyonya Djazuli
Wangsaputra, yang suaminya jadi Ketua BP4 Pusat.
"Saya memang sudah punya teve", ujar nyonya Soenardi, "jadi
kalau sekarang saya dapat teve lagi, itu bisa saya pakai sendiri
di dalam. Yang satunya, biar saja buat para tetangga, Maklum,
saya tinggal di tempat kecil. Mesin jahit memang telah saya
miliki 2 buah dari orangtua saya dulu, tambah satu lagi bisa
untuk menambah nafkah kami". Nyonya Soenardi, selain pergi
keliling memberi kuliah subuh atau dakwah di langgar dan mesjid,
dia juga memberikan ceramah di berbagai sekolah (SMP dan SKKA).
"Honor dari dakwah atau ceramah inilah yang rupanya menghidupi
keluarganya" demikian nyonya Djazuli, "di samping dia juga
menjajakan selendang atau kerudung hasil jahitannya". Dua dari 6
orang anaknya masih tinggal di rumah. Yang lainnya, sudah
bekerja, sudah menikah atau sekolah di kota lain.
Dari Presiden Soeharto di tanggal 3 Desember, nyonya Soenardi
menerima lagi sejumlah uang Tabanas Rp '00.000. Jumlah uang
Tabanasnya dari Ibu Teladan kini ada Rp 350.000.
"Alhamldulillah, uang itu akan saya gunakan untuk naik haji
tahun depan. Sudah lama saya mempunyai keinginan menunaikan
rukun Islam ke lima. tapi karena materi, belum juga terlaksana.
Keinginan saya naik haji hanya satu: naik haji untuk kepentingan
dakwah".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini