Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

(Tidak) Mendadak Gila

27 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIWA dalam keadaan stres bagaikan gelas kaca di tubir meja, kesenggol sedikit bisa jatuh ke lantai dan pecah berantakan. Menurut Rudi Putranto, ahli psikosomatik dari Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, studi menunjukkan 40 persen kasus stres berujung pada kematian. ”Jadi jangan sepelekan stres,” katanya.

Menurut guru besar Ilmu Kejiwaan Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta, Profesor A. Prayitno, stres itu adalah respons psikologi dan perilaku untuk menyesuaikan diri pada stresor atau hal-hal yang menimbulkan stres. Stresor di sini adalah perubahan kehidupan. Nah, saat stres ada dua akibat yang terjadi, bisa ke penyakit fisik dan juga ke gangguan jiwa.

Gangguan fisik bisa berupa serangan jantung, dan psikosomatis, yang gejalanya antara lain sakit maag, susah tidur, dan sakit kepala. Sedangkan gangguan mental yang sering terjadi berupa depresi, dengan gejala berupa: cepat sedih, susah tidur, pikiran pesimistis, kurang bergairah, hingga muncul ide-ide bunuh diri.

Sebenarnya stres itu belum masuk gangguan jiwa, tetapi masih merupakan respons pada situasi yang terjadi di sekitarnya. Tapi jika sampai depresi, baru menjurus pada gangguan jiwa atau mental. Orang-orang depresi, menurut lelaki kelahiran Semarang 75 tahun lalu itu, tergantung pada kepribadian masing-masing. Ada pribadi yang tahan stres, ada yang kurang tahan stres. ”Riwayat keluarga dan catatan kejiwaan juga merupakan faktor penentu, tak bisa ujuk-ujuk sakit jiwa,” katanya.

Mengutip Sigmund Freud, depresi adalah akibat dari kehilangan. Kehilangan hal yang dicintai, jabatan, harta benda, atau kehilangan sesuatu yang diharapkan atau dijanjikan. Misalnya, calon legislator mengharapkan menjadi anggota legislatif tapi tidak tercapai. Padahal sudah ada sekian banyak biaya dan tenaga yang dihabiskan, tetapi ternyata gagal. Sehingga merasa kehilangan, memicu depresi dan gangguan jiwa. ”Bahkan ada yang sampai bunuh diri, kan,” kata psikiater yang menekuni perihal bunuh diri ini.

Tekanan-tekanan tersebut, menurut dokter Rudi, akan meningkatkan hormon kortisol—hormon pengatur stres—yang berefek pada metabolisme tubuh. Stres akan mempengaruhi keseimbangan saraf otonom dan menekan sistem kekebalan tubuh. ”Tubuh pada dasarnya memiliki sistem yang dapat beradaptasi terhadap stres,” ujarnya.

Ada tiga tahapan respons tubuh ketika menghadapi stres. Tahap pertama disebut alarm. Tubuh merespons stres melalui sistem hormon-hormon. Muncul keluhan, seperti perasaan gelisah, jantung berdebar-debar, susah buang air besar, atau justru diare.

Tahap berikutnya disebut resistensi, yaitu tubuh mulai berusaha menyesuaikan dengan stres yang ada, misalnya dengan mengasingkan diri atau marah-marah dengan orang di sekitarnya. ”Pada tahap ini gejala psikosomatis mulai muncul,” kata Rudi.

Selanjutnya disebut exhaustion. Saat itu tubuh benar-benar kelelahan menghadang gempuran stresor. Sistem pertahanan tubuh sudah ambruk. ”Kalau sudah begini, tidak cuma fisik yang terganggu, tapi juga psikis, seperti depresi, keinginan bunuh diri, dan sindrom kecemasan. Nah, pada saat itulah, stres tidak boleh dianggap sepele,” ujar Rudi.

Menurut data Departemen Psikiatri FKUI/RSCM, minimal ada 480 calon anggota legislatif yang perlu perawatan rumah sakit jiwa. Tapi, menurut Prayitno, itu belum bisa disebut depresi massal. Depresi massal itu, misalnya, bila terjadi bencana alam besar seperti tsunami Aceh, yang menyebabkan banyak orang terkena imbas dan mengalami depresi. Tapi, menurut alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya itu, depresi pada calon anggota legislatif tak boleh diabaikan. ”Jika ada yang terpilih dan masuk Senayan, kan bisa mempengaruhi kebijakan publik,” ujar Prayitno.

AT, Nunuy Nurhayati, Agung Sedayu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus